Korupsi dan Industrialisasi Pilkada
Fenomena kian menyebarnya korupsi di daerah mengindikasikan ada yang keliru dalam sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) selama ini. Pasalnya, selain sistem pemilihan langsung mensyaratkan modal besar yang harus dimiliki seorang calon kepala daerah, pilkada kerap disertai dengan praktek politik uang dan pemakelaran pencalonan kepala daerah. Politik uang dan pemakelaran inilah yang menyebabkan biaya pilkada semakin menggelembung dan ongkos demokrasi semakin tinggi.
Fenomena ini tampaknya memiliki korelasi dengan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), di mana sektor keuangan daerah menjadi penyumbang potensi kerugian negara terbesar akibat kasus korupsi yang terjadi dalam semester pertama tahun 2010, sekitar Rp 596,23 miliar, dari total Rp 1,2 triliun kerugian negara akibat korupsi.
Kondisi seperti ini memunculkan semacam paradoks antara tingginya ongkos pilkada dan tuntutan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Sebab, untuk menjadi seorang gubernur, misalnya, dibutuhkan dana sekitar Rp 100 miliar, padahal gaji gubernur hanya Rp 8,7 juta per bulan. Situasi ini memunculkan pertanyaan penting: mengapa biaya pilkada semakin menggelembung, faktor apa yang menjadi sumber pemicunya, lalu bagaimana solusi jalan keluarnya?
Industrialisasi pilkada
Paling tidak ada satu jawaban tunggal untuk menjawab pertanyaan mengapa ongkos pilkada menjadi sangat tinggi: karena pilkada dimaknai sebagai industri politik yang kental dengan politik transaksional. Logika transaksional ini selanjutnya melahirkan praktek pemakelaran dan menyuburkan praktek mafia dalam pilkada. Paling tidak, ada lima potensi lokus transaksi biaya politik yang menjadi potret tentang fenomena politik transaksional dan industrialisasi pilkada.
Pertama, transaksi antara elite ekonomi (pengusaha penyandang dana politik) dan calon kepala daerah. Kedua, transaksi politik antara calon kepala daerah dan elite partai pendukung untuk membeli “tiket sewa perahu”. Ketiga, transaksi antara tim kampanye (calon kepala daerah) dan penyelenggara atau petugas pilkada di lapangan--praktek kolutif semacam inilah yang mendorong terjadinya kecurangan. Keempat, transaksi antara calon kepala daerah dan konsultan pemenangan. Kelima, transaksi politik antara tim kampanye (calon kepala daerah) dan pemilih. Siklus politik transaksional ini membentuk semacam jaringan “mafia pilkada”, yang aktornya terdiri atas calon kepala daerah, cukong politik (pengusaha penyandang dana), elite partai, penyelenggara atau petugas pilkada, serta tim sukses calon kepala daerah sebagai perantara atau calo politik. Praktek mafia dan siklus balas jasa seperti inilah yang menyebabkan tingginya ongkos politik di pilkada dan memicu maraknya kasus korupsi kepala daerah.
Sumber pemicu
Ada empat sumber pemicu terjadinya praktek politik uang dan tingginya ongkos politik dalam pilkada: imbas dari liberalisasi sistem pilkada; efek dari kegagalan partai dan calon kepala daerah mengikat dan memikat pemilih; dampak dari menguatnya pragmatisme pemilih dan kader partai; serta implikasi dari rapuhnya sistem rekrutmen calon kepala daerah di lingkup internal partai.
Sistem pemilihan kepala daerah yang kian liberal tak hanya menyebabkan biaya penyelenggaraan (KPUD), pengawasan (Panwaslu), dan pengamanan (Kepolisian) menjadi tinggi, tetapi juga memerlukan biaya politik dan kampanye calon kepala daerah yang sangat tinggi. Kegagalan partai dalam mengikat konstituen dan ketidaksanggupan calon kepala daerah memikat pemilih juga menyebabkan semakin tingginya biaya politik di pilkada. Karena akan mendorong para elite partai dan calon kepala daerah menggunakan cara instan melalui politik uang.
Menguatnya pragmatisme pemilih dan merosotnya militansi kader partai--yang menyebabkan mesin partai tidak dapat berjalan optimal--juga mendorong suburnya politik uang. Sebab, pendekatan kekuatan uang lagi-lagi dijadikan strategi instan untuk menggerakkan mesin partai atau pengganti kinerja mesin partai dalam kampanye pilkada. Hal ini tentu juga menyebabkan biaya pilkada semakin mahal.
Peluang politik uang dan penggelembungan biaya pilkada juga didorong oleh rapuhnya sistem rekrutmen calon kepala daerah di lingkup internal partai. Sistem perekrutan calon kepala daerah yang tidak dilakukan secara demokratis dan transparan akan memunculkan politik uang dalam proses pencalonan. Para petinggi partai cenderung memasang tarif tinggi dalam pencalonan kepala daerah, karena setoran dari calon kepala daerah sekaligus menjadi sumber pemasukan bagi elite dan organisasi partai.
Keempat faktor inilah penyebab semakin suburnya praktek politik uang dan semakin mahalnya ongkos pilkada. Kondisi ini akan semakin menggerogoti kualitas dan integritas kepala daerah yang terpilih. Sebab, sistem penjaringan calon kepala daerah yang bertumpu pada kekuatan uang akan menjadi pintu masuk bagi perilaku koruptif para kepala daerah. Calon kepala daerah yang mengeluarkan biaya tinggi juga sudah hampir pasti berpikir bahwa biaya politik yang dikeluarkannya harus kembali. Di titik inilah, korupsi keuangan daerah akan menjadi jalan pintas untuk mengembalikan kapital yang telah dikeluarkan para kepala daerah.
Penyederhanaan pilkada
Fenomena maraknya korupsi para kepala daerah akibat tingginya biaya politik di pilkada mengindikasikan perlunya penataan ulang sistem penyelenggaraan pilkada, karena biaya politik perlu ditekan agar tidak menjadi pemicu korupsi. Karena itu, setidaknya ada tiga aspek yang perlu ditata ulang. Pertama, aspek sistem penyelenggaraan, diperlukan penyederhanaan sistem pemilu, yaitu penyatuan pemilu eksekutif dan legislatif di tingkat nasional/lokal dengan penyerentakan pelaksanaan pilkada kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Itu artinya, hanya ada dua kali pemilu, yaitu pemilu nasional (pemilu presiden/wakil presiden dan pemilu DPR/DPD) dan pemilu lokal (pemilihan bupati/wali kota, dan pemilihan anggota DPRD. Sementara gubernur--sebagai perwakilan pemerintahan pusat di daerah--perlu dikaji apakah cukup dipilih melalui mekanisme di DPRD.
Kedua, dari aspek dana kampanye, diperlukan penyederhanaan biaya kampanye melalui aturan pembatasan pengeluaran belanja kampanye calon kepala daerah, agar pelaksanaan pilkada semakin murah dan relatif adil. Hal ini untuk meminimalkan terjadinya praktek korupsi keuangan daerah, karena calon kepala daerah cenderung ingin mengembalikan modal ketika terpilih. Ketiga, dari aspek mekanisme penjaringan, diperlukan penyederhanaan sistem rekrutmen melalui kesadaran internal partai--atau dipaksakan melalui regulasi perundangan--untuk menerapkan sistem penjaringan calon kepala daerah secara demokratis dan transparan. Selain itu, partai-partai harus menjalankan fungsi pendidikan politik bagi kader dan konstituennya. Karena itu, membereskan persoalan bangsa ini, termasuk di pilkada, harus dimulai dengan mereformasi kelembagaan dan perilaku partai politik.
Hanta Yuda A.R., Analis politik The Indonesian Institute
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 23 November 2010