Komisi Yudisial harus Blacklist Hakim Penerima Gratifikasi
Polemik Gratifikasi berupa pemberian Ipod kepada tamu yang menghadiri perkawinan anak Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, kembali muncul setelah KPK akan mengeluarkan surat resmi. Dalam surat resminya, KPK menyatakan bahwa pemberian tersebut adalah gratifikasi yang wajib dilaporkan kepada KPK dan dapat disita oleh negara.
“Fatwa” KPK ini dilakukan menyusul karena sebelumnya ada beberapa hakim yang enggan melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK, karena dianggap bukan gratifikasi. Mereka yang berdalih bahwa berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 - 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim disebutkan secara jelas bahwa hakim boleh menerima pemberian yang nilainya tidak lebih dari Rp 500.000,00. Selain itu ada pula yang berdalih menggunakan Surat Himbauan Ketua KPK Nomor B. 143/01-13/01/2013 yang menyebutkan bahwa gratifikasi diberikan dalam perkawinan tidak perlu dilaporkan.
Kedua alasan ini tidak dapat dibenarkan, terutama karena harga Ipod tersebut di pasaran diatas Rp 500.000,00, dan Surat Himbauan Ketua KPK mensyaratkan bahwa penerima dan pemberi gratifikasi tidak berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Dalam peristiwa ini, ada kemungkinan munculnya konflik kepentingan antara Nurhadi sebagai Sekretaris Mahkamah Agung, dengan para tamunya yang mayoritas berprofesi sebagai hakim. Lagipula Pasal 16 Undang-Undang KPK secara jelas mewajibkan pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk melaporkan dalam jangka waktu 30 hari segala bentuk gratifikasi.
Hingga saat ini sudah ada beberapa hakim yang akhirnya bersedia melaporkan gratifikasi tersebut ke KPK. Namun demikian, berdasarkan informasi yang diterima masih ada hakim-hakim yang diduga belum atau bahkan enggan melaporkan gratifikasi ini kepada KPK. Dalam investigasi awal Koalisi terdapat dua hakim G dan A yang tidak bersedia melaporkan gratifikasi tersebut ke KPK. Hal ini sangat disayangkan, mengingat hakim dianggap “Wakil Tuhan di muka Bumi” dan mengemban tuntutan moral dan etika yang tinggi, dan merupakan profesi yang menjadi wajah keadilan Indonesia. Hakim-hakim yang tidak melaporkan gratifikasi ini menjadi preseden buruk dalam upaya mendorong pemberantasan korupsi dan mencederai citra pengadilan di mata publik.
Kalaupun para hakim yang ‘ngotot tidak ingin melaporkan gratifikasi tersebut tidak menimbulkan konflik kepentingan, Undang-Undang Tipikor secara jelas memandatkan KPK sebagai lembaga yang berhak menilai apakah sebuah gratifikasi berpotensi menimbulkan konflik kepentingan atau tidak. Berdasarkan “fatwa” KPK, para hakim yang saat ini belum melaporkan masih punya kesempatan hingga Selasa, 6 Mei 2014 untuk melaporkan penerimaan tersebut. Jika hingga tenggat waktu berakhir dan masih ada hakim yang nekat tidak melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK, maka ia dapat dikategorikan sebagai hakim yang tidak berintegritas dan tidak layak menyandang jabatan sebagai hakim maupun mengikuti proses pemilihan pejabat publik seperti hakim agung.
Berdasarkan hal-hal di atas, kami mendesak Komisi Yudisial untuk melakukan koordinasi dengan KPK dan memasukkan daftar nama-nama hakim yang tidak kooperatif melaporkan dugaan gratifikasi ke KPK dalam daftar hitam Komisi Yudisial, sehingga nama mereka “dicoret” dari daftar nama calon yang layak menjadi hakim agung dikemudian hari.
Jakarta, 30 April 2014
Koalisi Masyarakat Anti Korupsi
(YLBHI, ILR, ICW)