Ketidakadilan Ancam Negara
Selasa, empat hari lalu, saat memenuhi undangan warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, saya menemukan fakta penegakan hukum yang menusuk rasa keadilan.
Ditemani Kalapas Giri dan Ketua Warga Binaan Lapas Sukamiskin, saya bertemu orangorang yang dinyatakan terbukti melakukan korupsi di bawah Rp3.000.000, tetapi hukumannya sangat berat. Sementara kita tahu banyak orang yang terbukti korupsi sampai miliaran hanya dihukum ringan. Rubino, pria asal Kulon Progo yang hanya petani penggarap dan seorang penerima bantuan beras miskin, adalah contohnya.
Dia disuruh mengedarkan daftar ganti rugi lahan Saluran Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) untuk ditandatangani oleh para penerima. Untuk itu, dia mendapat imbalan Rp3.000.000. Dia pun diseret ke pengadilan karena tindak pidana korupsi. Pengadilan Negeri Kulon Progo membebaskannya, tetapi Mahkamah Agung––berdasar kasasi kejaksaan–– menghukumnya empat tahun dengan denda Rp200.000.000.
Ada lagi, Abdul Hamid, yang dihukum karena menerima uang transportasi sebagai pengantar surat alias kurir pada Lembaga Penelitian Pengembangan Masyarakat (LPPM). Oleh Pengadilan Negeri Bangkalan, Hamid dibebaskan, tetapi dalam tingkat kasasi dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun enam bulan dan denda Rp200.000.000 karena menerima transportasi sebesar Rp1.500.000 saat menjadi kurir dana bantuan sosial pengembangan ekonomi sosial masyarakat (P2SEM) yang ternyata diselewengkan pengelolanya itu.
Sebenarnya Hamid sudah mengembalikan uang transportasi itu sebesar dua kali lipat atau Rp3.000.000 yang diserahkan melalui jaksa sebanyak dua kali masing-masing Rp1.500.000 dengan kuitansi pengembalian. Adapun Didik Supriyanto divonis lima tahun enam bulan dengan denda Rp300.000.000 oleh Pengadilan Negeri Bangil tanpa tahu tindak pidana yang dituduhkan kepada dirinya.
Didik tukang sapu gudang pupuk yang merasa tidak pernah menerima dana yang dituduhkan. Masih ada delapan nama lain di Lapas Sukamiskin yang kira-kira mengalami nasib yang sama yaitu Sony Yulianto, Amat Muzakhim, Sugiyo Hadi Pranoto, Trisno Raharjo (Pekalongan), Ach Ryadhus Sholihin (Surabaya), serta Jefry Arsand, Arroyyan, dan Supriyo Handayani (Klaten).
Mereka mengalami nasib sama: dihukum berat karena korupsi yang jumlahnya sangat kecil tanpa tahu betul apa kesalahannya atau terjebak dalam korupsi karena diperdaya oleh koruptor yang sebenarnya. Karena kemiskinan atau keawamannya di bidang hukum atau karena tidak punya perlindungan dari orang kuat, mereka tidak tahu dan tidak bisa membela diri mereka sehingga dihukum berat.
Selain tidak mampu membayar denda, mereka juga tak mampu mengurus upaya hukum lain seperti peninjauan kembali atas hukuman yang mereka rasakan tidak adil. Kita tentu tak bisa mengatakan mereka tidak bersalah dan tidak boleh mengatakan hukuman itu tidak benar. Secara hukum, suka atau tidak suka, mereka sudah dinyatakan terbukti bersalah melalui pengadilan yang sah. Yang menjadi persoalan bagi kita di sini bukan soal pengadilannya, melainkan soal terlukainya rasa keadilan.
Dengan kata lain yang kita rasakan adalah hilangnya keadilan sebagai sukma hukum atau menangnya formalitas-prosedural atas keadilan substantif. Rasa keadilan terlukai karena tertumpuk fakta di depan mata kita keanehan-keanehan dalam penegakan hukum korupsi di Indonesia. Tepatnya, banyak sekali kasus korupsi yang peristiwanya sudah terjadi, tetapi koruptornya sulit untuk diseret ke pengadilan karena punya kekuatan uang dan politik.
Selain itu, banyak juga koruptor dengan nilai miliaran yang bisa diseret ke pengadilan, tetapi hukumannya sangat ringan. Logika kita akan sulit memahami bila membandingkan nilai korupsi dan hukuman yang dijatuhkan kepada Rubino dan Hamid jika dibandingkan dengan nilai korupsi dan hukuman yang dijatuhkan kepada Angelina Sondakh, Waode Nurhayati, dan sebagainya.
Maka itu, menjadi tak terhindarkan muncul kesan kuat bahwa ketidakadilan muncul karena perbedaan status subjek hukum sebagai terdakwa. Mereka yang lemah secara ekonomi dan politik mudah sekali dijatuhi hukuman berat, sedangkan mereka yang kuat secara politik dan ekonomi banyak yang lolos atau hanya dihukum ringan. Restorative justice yang sebenarnya menjadi akar filosofi dalam penegakan hukum berdasarkan Pancasila menjadi lenyap.
Kita harus segera membangun kesadaran kolektif tentang ketidakadilan ini. Kalau ini tak diatasi, eksistensi negaralah yang dipertaruhkan. Ketidakadilanitu mengancam kelangsungan berbangsa dan bernegara. Pada Ramadan ini kita sering mendengar dai mengutip Hadits Nabi (SAW) bahwa ”Hancurnya bangsa-bangsa dan negara-negara terdahulu terjadi karena kalau adaorangkuat melanggarhukum dibiarkan saja, tetapi kalau ada orang lemah melanggar hukum langsung dijatuhi hukuman”.
Kita sering juga mendengar dai mengutip Sayyidina Ali yang pernah mengatakan, ”Akan kokoh dan abadilah suatu negara kalau diperintah dengan adil meskipun pemerintahnya kafir. Sebaliknya, akan hancurlah suatu negara yang diperintah dengan tidak adil (zalim) meskipun pemerintahnya Islam”.
Saat-saat ini kita sedang menyongsong peringatan hari kemerdekaan. Baik juga kalau diingat bahwa kita memerdekakan negara karena akan menegakkan perikemanusiaan dan perikeadilan. Nasionalisme kita ke depan harus berbasiskan penegakan keadilan agar negara ini bebas dari ancaman atas keberlangsungannya.
MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
Sumber: Koran Sindo, Minggu 04 Agustus 2013