Kejut(k)an Komisi III
Hampir dapat dipastikan, kalangan yang memberikan perhatian bagi KPK menunggu dengan gumpalan pertanyaan: Siapa yang akan terpilih menjadi pimpinan KPK periode 2011- 1015?
Bagi sejumlah pihak yang melihat KPK “sesuatu banget” dalam agenda pemberantasan korupsi, proses voting ibarat menyaksikan partai final sepak bola yang berujung adu tendangan penalti. Setidaknya, suasana menegangkan menyaksikan pemilihan di Komisi III DPR itu saya rasakan di sebuah ruang tunggu di Bandara Soekarno-Hatta. Suasana yang sebelumnya terasa agak gaduh mendadak berhenti.
Begitu fokusnya penghuni ruang tunggu tersebut,panggilan boarding pun tidak mampu mengusik perhatian calon penumpang. Saat penghitungan sampai pada kertas ke 40-an, seorangpenumpangmendekati saya dan berkata, “Yunus tersisih ya?” Tanpa menoleh ke sumber suara itu, saya menjawab,“ Hampir pasti.” Sesaat setelah semua kertas suara dihitung dan empat pimpinan KPK diketahui, saya menoleh ke arah sumber suara yang menanyakan nasib Yunus Husein.
Ternyata, pertanyaan itu berasal dari Prof Kacung Marijan,guru besar Ilmu Politik Universitas Airlangga. Dibanding saya, sepertinya, Kacung jauh lebih cepat mengerti hasil akhir voting di Komisi III tersebut. Meskipun demikian, Kacung masih menanyakan komentar saya atas hasil pemilihan pimpinan KPK.Dengan ringkas saya menjawab,“Hasil yang masih bisa dibilang lumayan.”
Keragaman
Bagi Kacung, jawaban saya memancing dia untuk mengajukan pertanyaan lain.“Kalau begitu, Anda kecewa dengan pilihan Komisi III?”Sebagai seorang anggota Panitia Seleksi, saya hanya merasa tidak begitu happy dengan hasil akhir fit and proper test di Komisi III.Semua ini bukan karena tidak sesuai peringkat yang dihasilkan Panitia Seleksi, melainkan lebih pada pertimbangan kebutuhan KPK.
Bila mau memberikan penilaian secara jujur, pilihan Komisi III dapat dinilai jauh dari ideal.Komposisi ideal itu tidak terpenuhi bukan karena figur, melainkan lebih disebabkan keberagaman latar belakang keilmuan calon pimpinan tersebut. Misalnya, ketika Panitia Seleksi memilih delapan calon, mereka yang masuk ke dalam peringkat 1-4 tidak hanya meraih nilai lebih untuk persyaratan “kepemimpinan”, “integritas”, “pengetahuan”, dan “independensi”, tetapi juga dipertimbangkan pula latar belakang keragaman ilmu calon.
Misalnya untuk Yunus Husein, yang bersangkutan mendapat nilai tambah karena pengetahuan dan pengalamannya dalam soal-soal transaksi perbankan. Tidak hanya itu, bagi Panitia Seleksi, jabatan Yunus sebagai kepala PPATK menjadi nilai tambah yang membedakan dengan calon lain. Begitu pula dengan Handoyo Sudrajat, di antara nilai tambah yang dihitung Panitia Seleksi adalah pengalamannya pernah bekerja sebagai auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Selain itu, Handoyo juga merupakan deputi pencegahan KPK.Sementara itu, meskipun agak sedikit kontroversial, sosok Abdullah Hehamahua potensial menjadi “penjaga moral” di kalangan internal KPK. Tambah lagi, Abdullah telah cukup lama menjadi bagian dari perkembangan dan pertumbuhan KPK. Merujuk hasil pemilihan Komisi III,dapat dikatakan bahwa unsur keberagaman luput dari pertimbangan komisi hukum DPR ini.
Meski demikian, sejak semula sebagian anggota Panitia Seleksi telah menduga bahwa “strategi” peringkat akan mendapat resistensi Komisi III. Bahkan ada di antara anggota Panitia Seleksi yang menduga bahwa sangat mungkin Komisi III memilih semua yang berada di peringkat 5–8. Di antara anggota Panitia Seleksi, saya termasuk yang memperkirakan bahwa Komisi III akan memilih fifty-fifty,dua yang berada di peringkat 1–4 dan dua lagi di peringkat 5–8.
Dengan perkiraan tersebut, saya termasuk yang memperhitungkan bahwa Yunus akan menjadi salah seorang pilihan Komisi III. Selain faktor kebutuhan KPK, pertimbangan saya didasarkan pada suarasuara yang berkembang di kalangan internal Partai Demokrat bahwa pilihan ke Yunus adalah harga mati. Bagi saya, tidak terpilihnya Yunus adalah sebuah kejutan besar Komisi III.Kejadian ini sekaligus menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar Partai Demokrat.
Kejutkan Komisi III
Apakah komposisi yang dihasilkan Komisi III menjadi sebuah pilihan yang aman untuk semua kepentingan politik yangmengitariparaelitepolitik termasuk yang berada di DPR? Saya kira tidak. Sekalipun ada kekecewaan di sebagian anggota Panitia Seleksi, komposisi yang terpilih sangat mungkin menghadirkan kejutan besar dalam desain pemberantasan korupsi ke depan.
Misalnya, Abraham Samad punya utang besar untuk membuktikanucapannya membongkar dan menuntaskan sejumlah megaskandal yang penyelesaiannya masih menggantung di KPK. Keraguan banyak pihak atas keterpilihannya sebagai ketua KPK seharusnya dijawab dengan prestasi monumental. Begitu pula Bambang Widjojanto, sebagai sosok yang diharapkan banyak pihak untuk menjadi salah seorang komisioner KPK,pengalaman panjangnya sebagai salah seorang aktivis antikorupsi akan menjadi modal besar untuk menggerakkan KPK.
Sementara itu, Zulkarnaen dan Adnan Pandu Praja akan menjadi sosok teduh untuk menggerakkan mesin extra-ordinaryKPKdalammemberantas korupsi.Saya percaya, di tengah gumpalan pertanyaan atas pilihan Komisi III,pengalaman satu tahun Busyro Muqoddas memimpin KPK lebih dari cukup untuk membantu KPK periode 2011-2015 untuk bergerak sejak hari pertama pelantikan.
Yang ditunggu publik saat ini, pimpinan KPK periode 2011-2015 tidak terjebak dalam logika elite politik DPR terutama Komisi III. Karena itu, pimpinan KPK harus mampu bertindak luar biasa dalam desain besar pemberantasan korupsi.
Salah satu pembuktian yang ditunggu publik, keberanian membongkar dan menindaklanjuti megaskandal korupsi yang terkait elite politik dan partai politik di Gedung DPR. Apabila itu dilakukan, KPK berpotensi mengejutkan singgasana para politisi di DPR terutama di Komisi III.
SALDI ISRA Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 5 Desember 2011