“Justice Collaborator (JC) Layak Dapat Vonis Percobaan”
-Vonis Ringan untuk Hendra sebagai JC, berdampak positif bagi pemberantasan korupsi -
Pernyataan Pers Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban
Perkara korupsi Videotron di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) sudah masuk masa persidangan, dan dalam waktu dekat akan ada putusan bagi terdakwa Hendra Saputra, office boy yang juga Direktur Utama PT. Imaji Media. Perusahaan ini adalah perusahaan fiktif yang didirikan oleh Riefan Avrian, putra Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Syarif Hasan. Perusahaan ini didirikan untuk memenangi tender pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, setelah perusahaan milik Riefan Avrian, PT. Rifuel, kalah dalam tender pengadaan yang sama. Proyek videotron ini berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara senilai Rp 5 miliar.
Hendra Saputra telah menyampaikan nota pembelaannya (pledooi) pada Kamis, 7 Agustus 2014. Dalam pledooinya, Hendra mengaku dirinya dipaksa untuk menandatangani sejumlah berkas, yang belakangan diketahui untuk mendirikan perusahaan fiktif yang diinisiasi oleh Riefan Avrian. Dalam pledooinya yang berjudul, “Derita Seorang Office Boy”, Hendra menyampaikan pembelaannya sebagai Office Boy yang dijebak dan dikorbankan oleh atasannya sendiri.
Dalam tuntutan yang dibacakan oleh Jaksa, Hendra Saputra dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Tipikor dan dituntut dengan pidana selama 2 tahun 6 bulan penjara dengan pidana tambahan uang pengganti sebesar 19 juta rupiah subsider 1 tahun 6 bulan penjara, dan denda 50 juta rupiah, subsider 6 bulan penjara. Tuntutan ini menjadi pertanyaan, terutama karena Hendra Saputra dinilai merupakan dalah saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara korupsi ini dan dia hanya menerima uang sebesar Rp 19 juta. Selama ini Hendra juga dinilai kooperatif selama dalam pemeriksaan oleh pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan telah mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Sebagai seorang justice collaborator, Hendra Saputra dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Hakim pun terikat untuk memberikan putusan yang berpihak pada justice collaborator. Apalagi karena Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (SEMA 4/2011), memandatkan hal tersebut.
Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU PSK secara jelas menyebutkan:
(1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
(2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Artinya, Hendra dapat memeroleh putusan yang meringankan dirinya sebagai seorang justice collaborator, karena telah membantu mengungkapkan pelaku utama perkara korupsi.
Hal ini diatur pula secara jelas dalam angka 9 huruf c SEMA 4/ 2011. Pasal ini berbunyi, “… atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan penjatuhan pidana sebagai berikut: (I) menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/ atau (II) menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud.”
Perlindungan bagi justice collaborator adalah hal yang mutlak perlu dilakukan demi mengungkap pelaku utama perkara korupsi. Hal ini dapat pula menjadi preseden baik dan mendorong bagi pihak-pihak lain untuk mengungkapkan perkara korupsi lain dengan jaminan yang pasti atas perlindungan dirinya. Paling tidak ada 2 (dua) orang yang tercatat pernah menjadi justice collaborator perkara korupsi, yaitu Agus Condro dalam perkara korupsi suap pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia, Miranda Gultom (dikenal dengan kasus korupsi cek pelawat), dan Kosasih Abbas dalam perkara korupsi Solar Home System Kementerian ESDM.
Sayangnya keduanya tidak mendapat perlindungan hukum yang maksimal sebagai justice collaborator. Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 1 tahun 3 bulan untuk Agus Condro, sedangkan Kosasih Abbas divonis 4 tahun penjara. Keduanya memang divonis lebih ringan dari terdakwa lainnya yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi, tapi tidak cukup melindungi mereka dari vonis hakim. Hakim harusnya berani menjatuhkan vonis paling ringan. Dalam perkara Kosasih Abbas misalnya, vonis yang dijatuhkan bahkan setelah SEMA 4/ 2011 telah diberlakukan.
Vonis terhadap Agus Condro dan Kosasih Abbas menunjukkan bahwa Hakim dan Jaksa belum serius mempertimbangkan peran para justice collaborator dan whistleblower. Ketiadaan kepastian tentang perlindungan bagi mereka justru memutus partisipasi publik dalam mengungkap perkara korupsi, karena dapat terjadi para saksi maupun saksi pelaku yang ingin bekerja sama enggan mengungkap perkara korupsi karena tidak disertai dengan perlindungan hukum atau reward yang pantas bagi mereka.
Hal yang sama tidak boleh terulang dalam perkara korupsi videotron yang menjerat Hendra Saputra. Reward bagi Hendra Saputra sebagai justice collaborator bukan hal yang main-main, terutama karena dasar hukum atasnya sudah jelas dan yang bersangkutan telah bekerja sama selama proses penyidikan dan persidangan dengan tidak memberikan keterangan yang berbelit, dan justru mengungkap pelaku utamanya, Riefan Avrian.
Atas dasar ini, Koalisi Masyarakat Sipil Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan hal-hal sebagai berikut:
- Mendesak Hakim Pengadilan Tipikor untuk memberikan vonis yang progresif yaitu pidana percobaan bersyarat khusus kepada Hendra Saputra sebagai Justice Collaborator yang membantu mengungkapkan pelaku utama perkara korupsi videotron;
- Mendesak Kejaksaan
- untuk tetap memberikan status Justice Collaborator kepada Hendra, hal ini penting agar yang bersangkutan mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat.
- tidak hanya fokus menuntaskan kasus korupsi korupsi videotron namun juga memproses pelaku yang diduga menghalang-halangi proses penyidikan karena telah menyembunyikan Hendra Saputra dari pihak Kejaksaan dalam masa pelariannya. Hal ini diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor, Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Jakarta, 13 Agustus 2014
Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban
--------------------------------------------------------------------
Siaran Pers No: 5/VIII/2014
Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban
Koalisi Minta Pembahasan RUU Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi, Selesai di Periode Akhir DPR Tahun 2009-2014
Pada tanggal 16 Agustus 2014, DPR RI akan memulai masa masa siding ke I , sampai dengan tanggal 30 September 2014. Persidangan ini dapat dikatakan sebagai masa persidangan terakhir anggota DPR Periode 2009-2004. Dalam masa persidangan terakhir ini, tercatat sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi pembahasan memasuki tahap-tahap akhir untuk segera diselesaikan dan disyahkan, diantaranya RUU Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban, yang merupakan Koalisi Masyarakat yang melakukan advokasi untuk masalah-masalah perlindungan saksi dan korban, mencermati bahwa pembahasan RUU Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 seharusnya bisa diselesaikan dan disahkan pada masa persidangan tersebut. Hal ini dikarenakan, proses pembahasan di Komisi III telah berlangsung dan telah ada Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari fraksi-fraksi di DPR. Komisi III juga telah melakukan proses dengar pendapat pendapat dengan berbagai kalangan dan juga mencari masukan dari berbagai daerah untuk memberikan pandangan tentang RUU tersebut.
Koalisi memandang, dari sisa waktu yang tersedia, Komisi III perlu secara serius melakukan proses pembahasan dan pada akhirnya berhasil merampungkan dan mengesahkan segera RUU tersebut. Dalam proses tersebut, Koalisi juga mendesak bahwa perlu ada sejumlah pembahasan mendalam terkait sejumlah masalah dalam DIM yang disusun oleh fraksi-fraksi DPR, diantaranya; i) mengenai kopensasi korban ii) penguatan perlindungan dan reward terhadap Juctice Colaborator ii) perlindungan bagi whistleblower. Beberapa isu tersebut dalam DIM versi DPR tidak banyak dikritisi secara cukup memadai. Sedangkan bagi isu-isu lainnya secara umum DIM DPR sudah banyak memasukkan perubahan substansi. Misalnya tentang cakupan perlindungan saksi, hak-hak saksi dan korban, serta kelembagaan LPSK
Koalisi menyakini Komisi III mampu menyelesaikan berbagai masalah tersebut, dan menghasilkan suatu revisi UU yang semakin memperkuat perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Keberhasilan dalam menyelesaikan proses pembahasan ini, juga menjadikan salah satu warisan (legacy) dari anggota DPR RI Periode 2009-2014, yang akan dikenang publik sebagai bagian penting dari upaya penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Akhirnya, Koalisi berharap bahwa ditengah sekian banyak RUU yang akan dibahas dan diselesaikan oleh Komisi III, RUU Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih menjadi prioritas untuk segera diselesaikan dan disyahkan.
Jakarta, 13 Agustus 2014
Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban
Contact Person:
Supriyadi Widodo Eddyono (ICJR) :081586315499
Zainal Abidin (ELSAM) : 08128292015
Lebih jauh tentang RUU Perubahan UU Perlindungan Saksi dan Korban: www.elsam.or.id