Istana dari Pasir
Kita terlalu peduli soal bungkus, jangan-jangan karena kita hampa?” Saya tidak begitu ingat, kapan persisnya Goenawan Mohamad menulisnya. Namun, sindiran tersebut membantu kita membaca realitas hari ini. Seperti fenomena politik kosmetik dalam pemberantasan korupsi.
Indonesia Corruption Watch membaca realitas tersebut pada sembilan aspek, dalam satu tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono jilid II. Pidato, program, dan kampanye pemberantasan korupsi yang melengking ternyata berjalan asimetris dengan hebatnya perlawanan balik koruptor kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Di sisi lain, 660 koruptor pada tahun 2010 mendapat ”maaf” dan potongan hukuman. Mafia-mafia pun masih melenggang.
Soal pernyataan politik, misalnya. Dari 34 pernyataan politik SBY tentang pemberantasan korupsi yang terpantau selama satu tahun ini, 50 persen atau 17 di antaranya tergolong mendukung pemberantasan korupsi. Sisanya, 29 persen, masuk klasifikasi mengkhawatirkan dan 21 persen pernyataan yang datar. Sebuah angka yang positif sebenarnya untuk pemberantasan korupsi. Tapi, tunggu dulu.
Dari 17 pernyataan ”mendukung”, 76 persen di antaranya justru tidak terealisasi. Gambaran ini tampaknya sesuai dengan banyak kritik terhadap pemerintahan SBY yang dinilai terjebak pada politik pencitraan yang dapat disebut ”rancak di labuah”. Sesuatu yang terlihat indah di kulit luar saja.
Aspek lain yang dievaluasi adalah soal strategi besar pemberantasan korupsi. Kemunduran terlihat. Pada periode I kita temukan Rancangan Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009. Namun, pada jilid II pemberantasan korupsi dilakukan dengan peta buta.
”Ganyang Mafia”
Kalaupun pantas disebut strategi nasional, satu-satunya yang dicanangkan adalah program ”Ganyang Mafia”. Hal ini diniatkan menjawab keresahan publik ketika kriminalisasi dan rekayasa proses hukum terhadap dua pemimpin KPK mulai terungkap. Sayangnya, sejak awal slogan ”Ganyang Mafia” itu sangat meragukan.
Keraguan tersebut terbukti. Meskipun Presiden membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (30/12/2009), selang satu tahun ternyata tidak ditemukan hasil yang menggembirakan. Penanganan mafia pajak justru terlokalisasi pada aktor-aktor kecil, demikian juga dengan mafia lembaga permasyarakatan, bahkan mafia hutan belum tersentuh. Satgas dinilai gagal memoles citra SBY.
Masalah ini tidak bisa dipisahkan dari ketidaktegasan Presiden membenahi Kepolisian dan Kejaksaan. Kewenangan Satgas hanya koordinasi. Apakah mungkin lembaga ad hoc ini berkoordinasi dengan pimpinan penegak hukum yang diragukan publik soal pemberantasan mafia? Bahkan, banyak pihak mulai mendesak agar Kepala Polri dan Jaksa Agung saat itu diperiksa terkait rekayasa proses hukum terhadap pimpinan KPK.
Di bagian inilah komitmen pemberantasan korupsi dan mafia hukum Presiden selama satu tahun semakin compang- camping. Upaya pembersihan dilakukan tanpa membaca akar masalah. Becermin dari rekaman penyadapan KPK yang berisi komunikasi Anggodo dengan sejumlah petinggi Mabes Polri dan Kejaksaan Agung, hasil klarifikasi Tim 8, dan sejumlah survei persepsi seharusnya pemerintah paham, salah satu masalah pemberantasan korupsi kita terletak di institusi penegak hukumnya sendiri. Penyelamatan institusi Kepolisian dan Kejaksaan idealnya menjadi prioritas dalam program ”Ganyang Mafia”.
Pelemahan KPK
Salah satu korban praktik mafia hukum adalah KPK. Di saat lembaga extraordinary ini menangani sejumlah kasus yang potensial menjerat para cukong dan para bandit politik, sebuah rekayasa proses hukum disiapkan. Dua pemimpin KPK dituduh melakukan pemerasan terhadap Anggodo dan penyalahgunaan wewenang.
Namun, dalam perjalanannya, satu per satu rekayasa hukum tersebut terkuak. Di Mahkamah Konstitusi, sebuah persekongkolan terungkap, hasil klarifikasi Tim 8 menemukan ada praktik mafia dan fakta persidangan Pengadilan Tipikor semakin menguatkan adanya rekayasa yang dari awal didesain menghancurkan KPK. Beruntung rasa kepemilikan publik sangat kuat terhadap KPK. Masyarakat menunjukkan eksistensinya dalam pemberantasan korupsi melalui gelombang demonstrasi dan perlawanan terjadi di mana-mana.
Namun, masalahnya bukan semata soal teknis rekayasa tersebut. Masalahnya, Presiden ada di mana saat KPK diserang, dituduh, dan dikriminalisasi? Dalam banyak momentum penting, pemerintah dinilai absen. Satu-satunya catatan positif hanyalah pembentukan Tim 8 yang ditugasi mencari fakta kriminalisasi tersebut. Dan, Tim 8 mengatakan ada. Akan tetapi, hingga saat ini kita tahu, sejumlah temuan tersebut gagal dikawal dan diimplementasikan. Satu tahun berselang kepemimpinan SBY-Boediono, KPK tetap tersandera secara hukum dan politik.
Pembacaan di atas tampaknya senada dengan hasil survei kepuasan publik terhadap pemberantasan korupsi di era SBY (Litbang Kompas, 2010). Pada rentang April-Mei 2009 tercatat kepuasan publik berada di angka tertinggi 74,5 persen, tetapi di periode September-Oktober 2010 terjadi penurunan drastis hingga 26,3 persen. Angka ini tentu tidak berdiri sendiri karena ia dibangun dari kekritisan publik (responden) terhadap komitmen pemberantasan korupsi era SBY yang dinilai melemah secara signifikan.
Satu hal yang bisa dipetik dari perjalanan satu tahun pertama ini adalah bahwa masyarakat tidak mungkin tertipu lagi dengan gaya lama politik kosmetik yang mementingkan bungkus ketimbang substansi. Rapuhnya fondasi pemerintah dalam melawan korupsi tidak bisa disembunyikan. Mulai dari tidak dimilikinya strategi nasional, pemberantasan mafia sebatas slogan, hingga pembiaran terhadap kriminalisasi KPK. Kita tahu persis, kalaupun pemerintah selama satu tahun ini sudah mencoba mendirikan sebuah bangunan kebijakan dan kerja pemberantasan korupsi, sebenarnya itu tidak lebih seperti ”istana pasir” yang rapuh dan hanya terlihat indah dari luar.
Febri Diansyah Peneliti Indonesia Corruption Watch, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Tulisan ini disalin dari Kompas, 1 November 2010