ICW Juga Dipanggil (ke Cikeas)
Betapa indahnya sebuah proses pemilihan pejabat publik setingkat menteri jika para aktivis antikorupsi juga dipanggil presiden dan wapres terpilih. Katakanlah, seperti fokus perhatian pekan ini, mereka dipanggil ke Cikeas.
Di sana, mereka dimintai masukan tentang rekam jejak tokoh-tokoh partai dan profesional yang sedang dipertimbangkan, tentu dari sisi keterlibatan atau posisi antikorupsinya. Dengan demikian, presiden dan wapres akan mendapat lebih banyak masukan, yang mungkin lebih murni daripada sekadar dorongan para elite partai politik.
Ini akan menjadi sebuah terobosan baru, sekaligus pencitraan yang sebenarnya dari proses seleksi komunikasi politik. Apalagi ini seleksi oleh pasangan presiden-wapres yang menjunjung tinggi dan mengusung keberhasilan memberantas korupsi tanpa pandang bulu.
Panggil mendadak
Namun, bayangan indah ini belum terjadi. Yang sedang terjadi justru sebaliknya. Dua aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari, dipanggil polisi karena dijadikan tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik pejabat negara (Kompas, 13/10).
Tentu saja, beberapa kalangan curiga penetapan tersangka ini terkait sikap kritis ICW, terutama kedua aktivis itu, dalam persoalan konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kepolisian. Kecurigaan ini direkam Kompas dari beberapa kalangan yang cukup komprehensif. Ada peneliti hukum ICW, Febri Diansyah, Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid, dan seorang penasihat hukum KPK, Alexander Lay. Jadi, ada pengamatan dari dalam ICW, perwakilan hukum KPK, dan tokoh independen dari komunitas intelektual.
Gejalanya hampir sama, janggal dengan peristiwa yang sudah-sudah. Kedua unsur pimpinan KPK, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, mula-mula dikenai pasal penyalahgunaan wewenang. Setelah pasal itu mencuatkan kontroversi serius, baik menurut Ketua Mahkamah Konstitusi maupun publik sadar-hukum, tuduhan berubah jadi pemerasan dan suap dalam konteks pencekalan. Celakanya, pada tanggal yang ”dituduhkan”, Bibit sedang ada di Peru. Lebih parah lagi, orang yang diproyeksikan sebagai ”pemberi suap” pun telah menyangkal.
Untuk kasus dua aktivis ICW, polisi menerima laporan pengaduan dari jaksa Widoyoko, 7 Januari 2009, atas berita di harian Rakyat Merdeka edisi 5 Januari. Intinya, ICW mempersoalkan klaim Kejaksaan Agung yang mengaku berhasil menyelamatkan uang negara senilai Rp 8 triliun. ICW merujuk temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada semester II tahun 2008 bernilai triliunan rupiah yang belum diselesaikan Kejagung.
Luar biasanya, menurut Febri, tidak terjadi proses pemeriksaan selama rentang Januari hingga awal Oktober 2009. Mendadak muncul penetapan tersangka dalam waktu bersamaan saat ICW sangat intens mengkritisi oknum di kepolisian.
Diskusi politik
Bagaimana sebetulnya harapan publik terhadap posisi pemerintah dalam kontroversi semacam ini? Lambe & Reineke (Journal of Communication, 59, 2009) memaparkan sebuah hasil riset berjudul Public Attitudes about Government Involvement in Expressive Controversies. Ternyata, hanya kalangan yang giat melakukan diskusi politik cenderung mengetahui dan menolak secara signifikan intervensi pemerintah.
Sedangkan publik yang minim pengetahuan politiknya lebih mudah tergiring ke arah memercayai pemerintah, apalagi pemerintah yang baru saja memenangkan kepercayaan publik (melalui pemilu misalnya). Ujaran seperti ”serahkan kepada proses hukum” cukup efektif untuk meredam daya kritis publik atas intervensi pemerintah.
Di sisi lain, riset ini mengingatkan peneliti selanjutnya untuk memerhatikan sikap konglomerasi media. Perlu dibedakan antara yang konsisten memberitakan kontroversi itu demi kesadaran politik publik dan yang menyensor substansinya dengan cara tertentu.
Antitesis
Adakah usaha yang bisa dilakukan pemerintah untuk memenangkan hati publik?
Di sinilah peran diskusi politik dan teori pencitraan yang riil bisa bertemu. Dan itu mendorong kita berandai-andai, presiden memanggil juga ICW atau elemen masyarakat sipil ke Cikeas. Bukan untuk memberi kesan ICW mohon perlindungan, tetapi presiden berkenan mendengar semua pihak di tengah seleksinya dan berdiskusi tentang situasi mutakhir (dengan Kapolri dan Jaksa Agung, Presiden SBY tentu sudah sering bertemu).
Riset Hewes (dalam Goran, The Influence of Communication Processes on Group Outcomes: Antithesis and Thesis, pada Human Communication Research, 35, 2009) justru menekankan perlunya kehadiran semacam pemikiran antitesis guna melahirkan suatu pertimbangan yang komprehensif. Apalagi, jika yang memimpin berbagai pertemuan di Cikeas—misalnya—tokoh yang sedang berpengaruh, dan cenderung akan didukung tanpa catatan oleh peserta pertemuan.
Akhirnya, para pencinta pencitraan dalam komunikasi politik yang riil seyogianya menunggu ICW dipanggil ke Cikeas, sebelum dipanggil polisi. Dengan itu Presiden SBY memiliki peluang untuk memperlihatkan kesungguhan plus kesuksesan agenda antikorupsinya.
Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI
Tulisan ini disalin dari Kompas, 15 Oktober 2009