Etika Pimpinan KPK
Komite Etik yang menelisik pelanggaran etika pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menyelesaikan tugasnya pada Rabu pekan lalu. Dalam putusan Nomor 01/KE-KPK/4/2013 Tanggal 3 April 2013, Komite menyatakan Ketua KPK Abraham Samad melanggar etika. Adapun Wakil Ketua Adnan Pandu Praja dinyatakan melakukan pelanggaran ringan karena mencabut paraf atas persetujuan penetapan tersangka kepada mantan Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Untuk kesekian kalinya Keputusan Pimpinan KPK Nomor KEP-06/P.KPK/02/2004 tentang Kode Etik Pimpinan KPK telah ditegakkan. Belum pernah ditemukan di institusi lain badan etik internal menghukum pimpinannya sendiri. Untuk poin ini, bolehlah KPK dan Komite Etik diapresiasi.
Apa yang penting dari putusan Komite Etik itu? Sebelum bicara lebih jauh, kita perlu mencermati dua hal. Pertama, pemisahan proses hukum dugaan korupsi terhadap Anas Urbaningrum dengan proses di Komite Etik KPK. Apa pun hasil Komite Etik, kasus Anas harus jalan terus. Kedua, titik rawan dalam perjalanan kasus Anas justru terkait dengan pelanggaran yang dilakukan pimpinan KPK.
Khusus bagian kedua, banyak pihak agaknya tak sadar betapa berbahayanya fakta temuan Komite Etik poin ke-20 jika dikaitkan dengan sejumlah fakta lain. Dalam laporan itu disebutkan ”Abraham Samad tidak pernah menyampaikan kepada Pimpinan yang lain mengenai hasil ekspose Tim Kecil Kedeputian Penindakan tersebut”. Coba bandingkan dengan Fakta nomor 13, yang menunjukkan seolah-olah ada penguasa tunggal di KPK yang dengan paksa dapat mengambil alih penanganan sebuah perkara. Hal ini tidak sehat jika diletakkan dalam konteks sifat kolektif kepemimpinan KPK seperti diatur Undang-Undang KPK.
Seperti diketahui, prinsip kolektif kepemimpinan KPK dibentuk untuk menghindari Komisi dari intervensi dari luar. Jika ada pimpinan yang mendapat ”titipan”— baik untuk menjerat pihak tertentu maupun melindungi orang tertentu atau alasan lain—mekanisme kolektif akan menghadangnya.
Berdasarkan runutan waktu, terlihat hasil ekspose yang tidak disampaikan oleh Ketua KPK kepada empat pemimpin lain adalah ekspose tim kecil 7 Februari 2013, yang menyimpulkan berkas kasus Anas telah memenuhi syarat ditingkatkan ke penyidikan. Tim kecil adalah tim internal KPK yang mencari pendapat hukum kepada sejumlah akademikus universitas. Tanpa berkoordinasi dengan pemimpin lain, Ketua KPK meneken surat perintah penyidikan. Kekeliruan itu fatal dan tidak boleh terulang.
Pimpinan KPK tak boleh bertindak ”one-man show”. Keberhasilan KPK sesungguhnya terletak pada berjalan atau tidaknya mekanisme institusi dan tidak boleh bergantung pada orang per orang.
Aksi main ”selonong” pernah pula terjadi ketika mantan Wakil Sekjen Partai Demokrat Angelina Sondakh diumumkan sebagai tersangka pada 3 Februari 2012. Saat itu, Ketua KPK tanpa pemimpin lain mengumumkan penetapan Angelina sebagai tersangka dugaan suap pembangunan Wisma Atlet. Beberapa bulan kemudian, di pengadilan, KPK gagal membuktikan penerimaan suap kepada Angelina dalam kasus Wisma Atlet. Beruntung, tim penyidik dan jaksa KPK berhasil mengkonstruksikan dakwaan terhadap penerimaan uang pengurusan anggaran beberapa perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional. Proyek yang terakhir juga ditangani oleh Grup Permai—kelompok usaha yang menyuap Angelina. Tak terbayangkan betapa malu dan rusaknya KPK jika saat itu jaksa hanya menuntut suap Wisma Atlet lalu terdakwa bebas di pengadilan.
Benar bahwa publik ingin KPK bekerja keras dan cepat menjerat koruptor. Benar bahwa kita marah dan benci kepada koruptor. Tapi hal itu bukan alasan bagi KPK untuk sembrono. Kekeliruan KPK justru akan menguntungkan koruptor. Mereka bisa lepas dari jerat hukum karena KPK tidak hati-hati mengkonstruksikan fakta, bukti, dan argumentasi hukum.
Saya membandingkan Komite Etik dengan badan etik sejenis di institusi lain, seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pemeriksa Keuangan, serta Dewan Perwakilan Rakyat. Semua institusi tersebut memiliki mekanisme yang khusus tentang penegakan etika dan kehormatan.
Dari aspek kelembagaan, kewenangan Komite Etik KPK cenderung terbatas dibanding lembaga lain. Di delapan institusi lain, badan etik atau majelis kehormatan dapat merekomendasikan pemberhentian anggota. Tapi kewenangan tersebut jarang dipakai.
Sebut saja DPR dengan Badan Kehormatan yang bahkan diatur sebagai alat kelengkapan tetap. Keanggotaan yang hanya berasal dari dalam menjadikan lembaga ini lemah dan kompromistis. Demikian juga dengan Polri dan Kejaksaan. Belum pernah ada jenderal polisi yang dinyatakan bersalah. Pemeriksaan internal terhadap rekening gendut 17 perwira Polri menyimpulkan rekening itu wajar-wajar saja.
Dari aspek desain kelembagaan dan karakter persidangan, apa yang terjadi di Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu menarik diamati. Dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, anggota Dewan Kehormatan berasal dari unsur KPU dan unsur lain, termasuk empat perwakilan tokoh masyarakat. Persidangan dan keputusan Dewan dilakukan secara terbuka. Komite Etik KPK melibatkan unsur eksternal, tapi mekanisme sidang masih dilakukan tertutup.
Perlu disadari, KPK adalah lembaga yang dibidik para koruptor. KPK tak boleh hanya kuat melawan hantaman dari luar, tapi juga harus kuat melawan ”musuh dalam selimut”.
FEBRI DIANSYAH, PEGIAT ANTIKORUPSI, PENELITI HUKUM DI INDONESIA CORRUPTION WATCH (ICW)
Tulisan ini disalin dari Majalah Tempo, 14 APRIL 2013