Duka (Nawa) Cita Pemberantasan Korupsi
Bukan Nawa Cita, tapi duka cita bagi pemberantasan korupsi. Begitulah gambaran lemahnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo selama setahun. Nawa Cita, yang digadang-gadang bisa membawa perubahan, ternyata belum mampu memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Sebaliknya, fondasi antikorupsi yang dibangun pada awal masa pemerintahan ini sangatlah rapuh. Hampir belum ada janji politik dalam pemberantasan korupsi yang direalisasi dengan serius oleh Presiden Jokowi.
Jika kita buka lembaran janji politik Jokowi, komitmen antikorupsi itu telah sering kali diucapkan dalam berbagai kesempatan. Komitmen itu diungkapkan dalam satu kalimat pendek, yakni keberpihakan pada pemberantasan korupsi. Keberpihakan itu diwujudkan dalam bentuk keberpihakan kepada legislasi yang mendukung pemberantasan korupsi, mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi, mereformasi lembaga penegak hukum, serta memprioritaskan penanganan korupsi di sektor penegak hukum, politik, pajak, bea-cukai, dan industri sumber daya alam. Jokowi juga berjanji membangun sistem pencegahan korupsi di birokrasi.
Tapi pemerintah tampak belum serius menuju ke arah pemenuhan janji-janji tersebut. Yang tampak justru langkah mundur: berbagai usaha pelemahan dan penghancuran gerakan pemberantasan korupsi, termasuk kriminalisasi terhadap pemimpin KPK dan pegiat antikorupsi. Upaya kriminalisasi tersebut sampai saat ini tidak bisa dihentikan oleh Presiden Jokowi.
Dasar hukum pembentukan KPK juga diganggu-gugat. Ada upaya untuk membubarkan KPK secara perlahan dengan menggunakan kewenangan legislasi. Bergulirnya isu revisi Undang-Undang KPK (RUU KPK) merupakan bagian dari usaha tersebut. Maka, jangan heran jika dalam draf revisi UU KPK terdapat pasal yang mengatur batas umur KPK hanya 12 tahun. Ini semakin memperjelas gagasan untuk membunuh KPK. Presiden Jokowi terlihat tidak berani untuk tegas menolak ide ini. Buktinya, pemerintah hanya menunda pembahasan RUU KPK, bukan menolaknya.
Presiden Jokowi juga gagal membangun fondasi antikorupsi yang kuat di kejaksaan dan kepolisian. Dua institusi penegak hukum tersebut secara struktural langsung berada di bawah perintah Presiden. Baik atau buruknya pemberantasan korupsi sebuah rezim pemerintahan dapat dilihat dari kinerja kedua institusi tersebut. Lagi-lagi, Presiden melakukan blunder dengan mengisi pejabat di kedua institusi itu dengan pimpinan yang penuh catatan kontroversial.
Kita tentu masih ingat bahwa calon kepala kepolisian yang dijagokan Jokowi menjadi tersangka korupsi di KPK dan Jaksa Agung M. Prasetyo disorot publik sebab berlatar belakang politikus Partai NasDem. Banyak pihak kemudian mempertanyakan integritas dan rekam jejak petinggi lembaga penegak hukum tersebut.
Publik belum melihat ada kinerja serius dari kedua institusi penegak hukum itu untuk ikut mewujudkan komitmen antikorupsi Presiden. Tidak ada capaian pemberantasan korupsi yang signifikan dari kejaksaan dan kepolisian. Hingga saat ini, dalam berbagai survei, publik masih menganggap kedua lembaga tersebut sebagai lembaga yang tidak kredibel. Butuh upaya luar biasa untuk melakukan reformasi di kedua lembaga penegak hukum itu.
Presiden Jokowi tidak punya pilihan selain kembali ke cita-cita mulia Nawa Cita yang menunjukkan keberpihakannya kepada pemberantasan korupsi. Butuh langkah tegas dan kebijakan konkret. Jangan sampai pada tahun-tahun berikutnya Nawa Cita berujung menjadi duka cita bagi pemberantasan korupsi.
Oce Madril, Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada