"Doorstoot Naar Bali"
Pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions 2010 di Bali menyisakan cerita lain yang sama sekali jauh dari dunia tenis. Cerita lain tersebut terkait kehadiran seorang penonton mirip tersangka mafia pajak, Gayus HP Tambunan.
Begitu foto penonton ”istimewa” mirip Gayus itu menyeruak ke ruang publik, beredar kabar Divisi Profesi dan Pengamanan Polri telah melakukan pemeriksaan atas petugas keamanan di Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua. Tak menunggu lama sembilan penjaga tahanan diumumkan telah dibebastugaskan. Tindakan itu menjadi indikasi kuat, kehadiran Gayus di Bali sulit dimentahkan.
Dalam konteks penegakan hukum, mengikuti spektrum skandal pajak yang melibatkan Gayus, kejadian ini pasti membuat banyak pihak geleng-geleng kepala. Selain sulit menerima kenyataan tahanan dengan kategori kakap berkeliaran bebas, dugaan kehadiran Gayus di Bali menjadi bukti tambahan betapa bobroknya wajah penegakan hukum di negeri ini.
Fenomenal
Sejak megaskandal pajak yang melibatkan Gayus terkuak ke permukaan, pegawai golongan III di Direktorat Jenderal Pajak ini dapat dikatakan sosok fenomenal. Menilik cara dia ”mencetak” dan meraup pendapatan (maaf, bukan gaji), Gayus pasti punya ”nyali” luar biasa. Oleh karena itu, meski berpangkat rendah, Gayus pasti punya keahlian khusus ketika ”berhadapan” dengan pembayar pajak, terutama yang bermasalah.
Merujuk jumlah rekening tidak wajar Gayus, mudah ditebak, pegawai golongan III ini merupakan ”anak manis” mereka yang sengaja menghindar dari keharusan membayar pajak secara normal. Bagi mayoritas pegawai negeri, jumlah kekayaan Gayus tidak mungkin dicapai meskipun semua gaji mereka tidak dibelanjakan sampai pensiun. Fakta ini membuktikan bahwa kantor pajak merupakan salah satu sumber ”mata air” di negeri ini.
Menilik perjalanan kasus ini, yang terbilang amat fenomenal adalah kemampuan Gayus membuat garis demarkasi bahwa rekayasa pajak yang dilakukannya seperti tak melibatkan pihak lain. Padahal, berdasarkan pangkat dan masa kerjanya, sangat tak masuk akal Gayus bekerja sendiri. Sejauh yang bisa diamati, Gayus mampu memosisikan dirinya sebagai pelaku tunggal dalam rekayasa skandal pajak ini. Dengan kemampuannya melokalisasi masalah, amat mungkin pihak lain yang menjadi barisan Gayus tidak akan pernah tersentuh proses hukum.
Bahkan, penilaian fenomenal makin sulit dipatahkan jika dipahami cara Gayus mendapatkan izin keluar rutan. Sebagaimana informasi yang dihimpun harian ini, Gayus meninggalkan rutan sejak Rabu (3/11). Setelah selesai mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu siang, dia menghubungi kepala rutan melalui telepon untuk minta izin tidak kembali ke tahanan (Kompas, 10/11).
Melihat cara Gayus mendapatkan izin meninggalkan rutan, teringat kembali cara Artalyta Suryani pada skandal suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan dan peran Anggodo Widjojo dalam skandal kriminalisasi Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah. Kedua kejadian ini cukup untuk menjelaskan betapa mudahnya penegak hukum membangun ”kontak” dengan para mafia hukum. Dalam batas-batas tertentu, cara Gayus minta izin untuk tidak kembali ke rumah tahanan lebih dari cukup menguatkan lagi penjelasan itu.
Keropos
Sesungguhnya apakah yang salah dengan penegak hukum di negeri ini? Jawabannya pasti tak sederhana. Apalagi, kasus keluarnya Gayus dari rutan terjadi dalam lingkup amat terbatas. Namun, merujuk banyak pengalaman sebelumnya, secara sederhana dapat dikatakan, mental sebagian besar penegak sangat keropos. Merujuk penanganan kasus-kasus sebelumnya, publik menyaksikan betapa mudahnya penegak hukum bertekuk lutut menghadapi bermacam godaan, terutama yang berujung pada keuntungan finansial.
Oleh karena itu amat masuk akal jika ada dugaan, faktor uang jadi amat dominan dalam pemberian izin kepada Gayus. Dalam hal ini, penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengindikasikan, Gayus mengucurkan uang pelicin Rp 50 juta per bulan untuk oknum petugas (Suara Karya, 11/11). Jika penelusuran itu benar, betapa mudahnya petugas menggadaikan kewenangan untuk meraih keuntungan finansial.
Berdasarkan kasus ini, terlihat nyata, problem sesungguhnya penegakan hukum adalah kegagalan membangun aparat penegak hukum. Dalam hal ini, mungkin ada benarnya pandangan yang mengatakan substansi hukum yang masih mengandung kelemahan amat mungkin berjalan baik apabila dilaksanakan penegak hukum yang bermoral tinggi. Namun, substansi hukum yang baik tidak akan memberi banyak pengaruh jika dijalankan oleh penegak hukum dengan moral keropos.
Dalam konteks itu, sebagai sebuah skandal yang menyita perhatian publik, harusnya petugas di rutan tak melakukan kesalahan dalam bentuk apa pun. Pertanyaan besar yang mengiringi ngacirnya Gayus: apabila skandal yang menyita perhatian luar biasa publik saja masih terjadi penyimpangan, bagaimana dengan kasus-kasus lain yang jauh dari perhatian publik? Dalam konteks itu, langkah membebastugaskan sembilan anggota polisi yang bertugas menjaga rumah tahanan tersebut pasti jauh dari cukup.
Kalau mau mengambil pelajaran, kasus Gayus harusnya dijadikan starting point untuk membongkar mafia yang bekerja di lingkungan rutan. Oleh karena itu, selama kesalahan selalu diletakkan pada level pejabat terendah atau petugas lapangan, pelaku mafia hukum rutan tak akan pernah bisa dibongkar sampai ke akar-akarnya. Dengan hadirnya foto ”mirip” Gayus, kita tengah menyaksikan betapa keroposnya penegakan hukum di negeri ini.
Ketika heboh berita Gayus hadir di Bali, saya tengah membaca bagian akhir buku Julius Pour, Doorstoot Naar Djokja. Dengan senyum kecut saya berguman, Gayus tengah melakoni peran menembus Bali (doorstoot naar Bali). Jika lakon itu mau ditulis secara lengkap, menarik mengemasnya dalam buku yang berjudul: Doorstoot Naar Bali, Petualangan Mafia Pajak Gayus HP Tambunan.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
Tulisan ini disalin dari Kompas, 12 November 2010