Diskriminasi Guru Penyebab Turunnya Hasil UN
PRESS RELEASE
“Gubenur dan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta melepas tanggung jawabnya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kegagalan ujian nasional. Pemprov dan wakil rakyat justru melemparkan tanggung jawab itu kepada guru. Mereka sibuk mencari kambing hitam. Padahal, merekalah yang seharusnya bertanggung jawab. Sikap seperti ini patut disayangkan. Sebab, Gubernur telah alpa bahwa kebijakannya telah mendiskriminasikan guru, tidak pernah memperhatikan peningkatan kualitas guru dan kesejahteraan guru. Pemprov harus didemo dulu baru mendengar aspirasi guru. Ini menyedihkan. Kini, ketika hasil UN jeblok, Gubernur dan Dewan ramai-ramai menuding kualitas guru sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Gubernur dan Dewan perlu mengevaluasi diri sebelum bicara. Jangan diskriminasikan guru lagi,” tegas kata Retno Listyarti koordinator Koalisi Tolak Diskriminasi Guru (FMGJ, Aliansi Orangtua Peduli Pendidikan, ICW, IBC, Koalisi pendidikan dan LBH Jakarta) dalam konferensi pers di kantor ICW, 10 Mei 2010.
Kelulusan ujian nasional siswa SMP/MTs/SMP Terbuka tahun ini, seperti juga jenjang SMA, mengalami penurunan. Berdasarkan data Kemendiknas, pada UN tahun ini terdapat 267 (1,62%) SMA/MA yang tingkat kelulusannya 0% dengan perincian 51 sekolah negeri dan 216 swasta. Sekolah yang tingkat kelulusannya 0% antara lain terdapat di Provinsi DKI Jakarta 10 sekolah, Kalimantan Tengah (20), Kalimantan Timur (39), Sulawesi Tenggara (26), Maluku Utara (20) dan Gorontalo (14). Bahkan, “kota pelajar Jogyakarta” yang jumlah peserta UN SMA/MA 2010 sebanyak 19.505 siswa, dari jumlah itu, siswa yang harus mengulang 4.623 (23,70%). Ranking Jogjakarta di bawah propinsi Papua dan Papua Barat (atau ranking 27 dari 33 propinsi).
Sedangkan pada tingkat SMP/MTs/SMP Terbuka pada tahun ini lebih memprihatinkan, tercatat 561 sekolah memiliki tingkat kelulusan 0% dengan jumlah 9.283 siswa. Sebanyak 350.798 siswa atau 9,73% dari 3.605.163 peserta dinyatakan mengulang. Jumlah terbanyak ada di propinsi Nusa Tenggara Timur (39,87%), Gorontalo (38,80%), dan Bangka Belitung (34, 69%). Tingkat kelulusan 0% juga terjadi di DKI Jakarta, sebanyak 1.039 siswa dari 51 sekolah dinyatakan mengulang.
Guru, kata Retno, dibebani persoalan-persoalan di luar tupoksinya. Guru harus memperjuangkan sendiri kesejahteraannya. Guru juga memperjuangkan sendiri peningkatan mutu dirinya. Padahal, semua ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah mutlak dan wajib membangun kapasitas guru dengan serius dan professional.
a. Pemerintah juga mestinya memperhatikan dan terus meningkatkan kesejahteraan guru dengan sungguh-sungguh, bukan mendeskriminasi guru pada setiap kebijakan soal tunjangan daerah sehingga tidak menimbulkan kecemburuan antar sesama pegawai. Jangan menuntut guru untuk berkarya setinggi-tingginya, namun diberi penghasilan serendah-rendahnya. Pemprov DKI masih menempatkan penghasilan guru sama dengan tukang sapu di Balikota. Inikah profil pemerintahan DKI dalam meningkakan kesejahteraan guru?? Patut dipertanyakan.
b. Perguruan tinggi yang memproduksi guru mestinya mendapat perhatian serius dari pemerintah, dipikirkan dan dibangun kualitasnya dengan berbagai cara sehingga mutu lulusannya memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam menghadapi persaingan global.
c. Mengenai lemahnya management sekolah bukan kesalahan guru yang mengajar di sekolah tersebut, namun semestinya pemerintahlah yang paling bertanggungjawab terhadap sekolah-sekolah tersebut, bukankah ijin mendirikan sekolah ditentukan oleh pemerintah. Mengapa sekolah tak layak tetap dibiarkan beroperasi.
d. Untuk level SMP, yang banyak tidak lulus adalah para siswa yang berasal dari Sekolah Terbuka. Sekolah Terbuka adalah proyek pemerintah sebagai upaya meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) yaitu angka partisipasi murid masuk sekolah. Proyek ini tidak serius dikelola oleh pemerintah sehingga terkesan berjalan asal-asalan (asal ada sekolah, asal ada murid, asal ada guru, asal belajar). Jadi kalau angka tak lulusnya tinggi adalah hasil sebab akibat. Hal ini merupakan kesalahan pemerintah bukan guru yang mengajar.
e. Mengenai tingginya tingkat kesulitan soal harus dikaji, apakah soal memenuhi unsur validitas dan reliabilitas, BSNP yang paling bertanggungjawab terhadap soal. Para guru disekolah sudah mengajar sesuai tuntutan kurikulum dan juga merujuk pada standar kelulusan. Namun saat UN, yang mengevaluasi dan mengetest kemampuan siswanya bukan si guru yang mengajar tersebut, namun pemerintah melalui tangan BSNP. Jadi jangan buru-buru menyalahkan guru yang mengajar ketika hasil UN rendah.
Menanggani pernyataan Mendiknas bahwa hasil UN akan digunakan sebagai pemetaan dan intervensi kebijakan. Kalau tujuannya itu, maka:
(a) Kemendiknas tidak harus melakukannya pada ujian akhir, artinya SD bisa saja dilakukan di kelas 4, SMP di kelas VIII dan SMA di kelas XI, toh hanya untuk maping kemampuan dan kondisi sekolah.
(b) Seharusnya UN tidak menjadi penentu kelulusan siswa dan jangan menjadi alat evaluasi.
(c) Pemerintah seharusnya tidak menyandarkan keberhasilan UN pada sekolah dan guru sehingga tidak terus menerus menyalahkan dan mengkambinghitamkan sekolah dan guru. Guru juga merupakan korban dari kebijakan UN ini.
(d) Rumusan pelaksanaan UN seharusnya memperhatikan kekuatan atau kualitas pendidikan tiap wilayah Indonesia, sehingga memenuhi asas keadilan. Selain itu hasil UN seharusnya menjadi upaya memperbaiki mutu pendidikan di semua daerah dan sekolah di Indonesia.
(e) Mestinya pemerintah berprinsip, bahwa setiap guru di Indonesia adalah mitra generasi muda untuk membangun sebuah bangsa besar yang berpikir. Oleh karena itu, secara bersama-sama, pembinaan guru harus diarahkan kepada realisasi tugas yang sangat terhormat ini. Hanya guru yang profesional, dan dengan dukungan pengelola yang faham dan yang sadar akan posisi serta potensinya, yang dapat kita jadikan tempat menaruh harapan. Apakah kita sudah satu disini?
Sekali lagi, pemerintah patut berkaca pada dirinya sendiri sebelum menuding pihak lain atau mencari kambing hitam atas rendahnya kelulusan UN tahun ini. Pemprov DKI juga seharusnya berkaca masihkah Pemprov mendiskriminasikan guru dengan memberinya tunjangan kesejahteraan yang sama seperti tukang sapu di Balaikota, masihkah menganggap guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” sehingga terus-menerus dimarginalkan dan didiskriminasikan. Saatnya Pemprov DKI berbenah diri.
Tinggalkan kebijakan diskriminasi kepada guru. Beri tunjangan kesejahteraan guru sesuai jati dirinya sebagai pahlawan yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan sebagai pendidik yang professional. Saatnya Pemprov DKI menganggarkan dana sebesar-besarnya demi peningkatan mutu guru.
Jakarta, 10 Mei 2010
KOALISI DUKUNG GURU TOLAK DISKRIMINASI
FMGJ (081389890613) - ICW (Cp Ade Irawan 081289486486) - LBH Jakarta
(Cp. Alghif 08128066410) – IBC (Cp. 081341670121) - Koalisi Pendidikan
(Cp. Bambang Wisudo 0811932683), Aliansi Orangtua Peduli Pendidikan (Cp.Jummono: 085215327964) - IER Univ. Paramadina (Cp. Utomo
0811815322)