Demokrasi tanpa Korupsi, Mungkinkah?
I
Ada imaji yang terus dihadirkan di ruang publik. Demokrasi di Indonesia sesungguhnya dapat dilakukan tanpa korupsi. Imaji yang dijadikan “tag campaign” ICW, yaitu “Demokrasi Tanpa Korupsi” adalah sesuatu yang sah, legitimate, natural dan bukan tanpa dasar karena ada cukup banyak fakta, demokrasi tengah dan telah “dibajak” secara sistemik untuk dan atas nama kepentingan rakyat serta bahkan demokrasi dikorupsi sehingga secara akontrario justru bertentangan dengan kepentingan kemaslahatan publik.
II
Kita dapat melihat pengalaman dalam sejarah pergerakan Indonesia modern. Pada tahun 1928, ada sekitar 9 orang pemuda menjadi Panitia Kongres, menghadirkan 71 orang pemuda yang mewakili seluruh kepulauan yang merepresentasikan suatu wilayah nusantara. Dalam pertemuan yang juga dihadirii 4 orang golongan Timur Asing sebagai peninjau. Mereka, para pemuda itu, menggadakan Kongres Pemuda serta mengucapkan maklumat yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, dirumah Sie Kong Liong yang terletak di Kramat Raya No.106 Jakarta Pusat.
Para Pemuda itu menghadirkan imaji, kelak ada sebuah nation yang bernama Indonesia dan karenanya mereka bersumpah untuk “bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu” yaitu: tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia. Lebih dari itu, pada tahun yang sama, di suatu persidangan di Den Haag tahun 1928 seorang pemuda Indonesia yang dituduh melakukan pemberontakan membuat pembelaan dengan menyatakan “…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain …”. Kesemuanya itu, para pemuda telah berikrar bahwa kelak akan ada suatu nation yang bernama Indonesia dan bahkan meneguhkan identitas ke Indonesiannya jauh hari sebelum pada akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia dideklarasikan pada tahun 1945.
III
Imaji anti korupsi juga hadir di pembukaan Festival Anti Korupsi 2014 beberapa hari lalu. Ada sekelompok ibu lugu dari desa Prenggan, Kote Gede, Yogyakarta menunjukkan kebolehannya dalam berkesenian. Mereka menggunakan lesung sebagai ekspresi berkeseniannya. Tak sekedar bunyi pukulan dari lesung padi yang terdengar tapi ada irama berupa rangkaian nada yang mengiringi nyanyian para ibu yang memuat pesan anti korupsi.
Ketegasan pesan yang dituturkan dengan bahasa yang lembut dan sederhana, diucapkan para Ibu desa dengan “lugu dan riang” itu, justru, menjadi kekuatan akan kesungguhan untuk membebaskan diri dari sikap dan perilaku korupsi. Lesung ditangan para Ibu lugu yang mengabarkan pesan melalui nyanyian menjadi tak sekedar “noise” tapi sudah berubah menjadi “voice” yang memuat pesan untuk “jujur barengan” sebagai bagian dari pesan moral anti korupsi.
Dalam bentuk yang lebih ekspresif, di acara yang sama di mulai pada sore hari dan di malam harinya, lebih dari 15.000 pemuda Yogyakarta di stadion Kridosono “menggetarkan dan menggelorakan” Yogyakarta dengan mengusung tema kampanye “Gropyokan Korupsi”. Gropyokan adalah istilah dalam Bahasa Jawa yang biasanya digunakan untuk memburu tikus di persawahan secara bersama-sama. Para pemuda itu “membacakan” Proklamasi Rakyat Indonesia Anti Korupsi bersama para musisi yang tergabung dalam Shaggy Dog, Superman is Dead, Gigi dan Yogya Hip Hop Foundation. Naskah Proklamasi itu menyatakan “Sesungguhnya tanpa kita sadari korupsi adalah bagian dari budaya Indonesia; karena itu, kita berjanji untuk memerangi korupsi mulai dari diri sendiri dan keluarga; dan menuntut, memaksa dan akan terus menekan negara, parlemen, pemuka agama dan elemen masyarakat lain untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama”. Dari Yogya untuk Indonesia, itulah pesan para pemuda Yogyakarta paska membacakan Proklamasi Anti Korupsi.
IV
Performance para Ibu di atas serta proklamasi yang dibacakan para pemuda Yogyakarta itu menjadi menarik dan kian bermakna bila dikaitkan dengan hasil dari proses serius pertemuan Mufakat Budaya Indonesia awal Desember 2014. Pada pertemuan yang dihadiri sekitar 150 an budayawan dan berbagai latar belakang profesi lainnya itu mengemukakan Deklarasi Teluk Jakarta yang membuat suatu imaji Indonesia dalam perspektif kebudayaan.
Indonesia seyogianya menjadi pusat peradaban bahari dunia sehingga perlu dilakukan revitalisasi peradaban kepulauan sebagai dasar budaya bangsa. Salah satu pesan kuat yang dikemukakan dalam Deklarasi serta mempunyai relevansi dengan isu demokrasi dan korupsi, adanya sinyalemen “…produk elit politik hanya menghasilkan penumpulan hukum … dan kompetisi kekuasaan yang menghamba pada kepentingan komparador. Itu sebabnya, rekomendasi yang diajukan menegaskan “perlunya menumbuhkan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik, serta perlunya dilakukannya restorasi kebudayaan, selain memperjuangkan budaya integratif”.
V
Ditengah berbagai imaji dan sikap ekspresif yang dilakukan begitu banyak elemen masyarakat, gagasan yang diajukan ICW, yaitu “Demokrasi tanpa Korupsi” menjadi material dan sangat relevan dalam kondisi saat ini. Kendati ada cukup banyak studi dan tulisan yang mengkaji isu demokrasi dan juga perihal korupsi tapi sedikit sekali studi yang memberikan fokus pada korupsi di dalam proses demokrasi itu sendiri. Definisi minimalis mengenai demokrasi adalah suatu sistem yang dilembagakan dimana rakyat mengekspresikan prefersensinya melalui pemililihan umum (Shumpeter, 1950 dalam Working Paper, Does Democracy Reduce Corruption?, Ivar Kolstad & Arne Wiig, 2011, CHR Institute).
Bilamana korupsi difahami sebagaimana arti sejatinya sesuai asal kata corruptio yang secara umum dimaknai sebagai suatu tindakan yang bersifat buruk, curang, busuk, dan memutarbalik fakta maka ada cukup banyak ahli, pengamat dan sebagian masyarakat menyimpulkan, demokrasi di Indonesia berkelindan dengan korupsi.
Dalam proses demokrasi, kita memang memerlukan partai, parlemen, anggota parlemen dan proses pemilihan legislatif, selain masyarakat dan pemerintah. Yang menjadi pertanyaan, sejauhmana masing-masing elemen tersebut memberikan kontribusi yang secara kualitatif dalam meningkatkan proses demokrartisasi. Untuk itu perlu diajukan pertanyaan refplektif, yaitu: kesatu, apakah semua partai yang terlibat dalam proses demokatisasi di Indonesia telah berkhidmat secara amanah pada maksud kehadirannya?. Kedua, seberapa banyak anggota parlemen yang memahami makna parle secara utuh, tidak hanya sekedar “representasi atau hak untuk bicara” tetapi sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan fundamental dari rakyat yang menjadi konstituennya;
Ketiga, adakah proses timbal balik yang diakomodasi oleh sistem pemilihan yang akuntabel dimana pemilih punya pengetahuan dan kesadaran atas siapa yang layak dipilihnya; serta keempat, adakah rakyat sebagai bagian penting dari proses demokrasi, memantaskan keterlibatannya sehingga akan senantiasa meningkatkan kompetensi, memahami tantangan yang dihadapinya serta “taklik” pada alasan dan tujuan untuk apa dia terlibat dan memilih; kelima, sejauhmana otoritas pemerintahan menggunakan kewenangan publiknya untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan social; keenam, apakah organisasi kemasyarakatan dan LSM selalu melakukan refleksi atas peran strategisnya dan juga melakukan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas keterlibatannya.
Tentu saja, ada hal penting lain yang diperlukan dalam proses berdemokrasi, apakah kita mempunyai kejujuran dan keberanian untuk menentukan sejauhmana level proses demokratisasi yang kini tengah ditempuh. Hal ini penting dilakukan agar kita dapat menentukan langkah dan strategi untuk berupaya terus menerus memperbaiki dan bahkan meningkatkan kualitas proses demokratisasi di Indonesia.
Korupsi demokrasi acapkali terjadi pada fase awal pelembagaan dan konsolidasi demokrasi. Salah satu ciri dari korupsi demokrasi adalah tindakan exclusion dari “penguasa” atas keterlibatan publik, kepentingan dan norma yang ada dalam masyarakat dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan.
Setidaknya, ada 3 (tiga) jenis korupsi yang terjadi dalam proses demokrasi di Indonesia bila menggunakan makna korupsi tersebut di atas, yaitu antara lain: kesatu, korupsi di dalam partai. Partai sebagai suatu instrumen penting dalam proses demokrasi mempunyai kedudukan yang sangat strategis untuk menentukan kualitas demokratisasi.
Tingkat kualitas koruptif dalam partai potensial terjadi ketika partai tidak mampu mengendalikan dirinya dan bersifat oligarkis dimana sumberdaya partai hanya dikuasai beberapa elit politik tertentu. Yang sangat menguatirkan, bila partai dan elitnya membiarkan dirinya dikuasai kepentingan konglomerasi hitam yang secara diametral memiliki tujuan yang bertolak belakang dengan maksud pendirian partai dan justru menegasikan kepentingan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Pada konteks seperti ini, partai tidak memiliki indikator, mekanisme dan sistem yang transparan dan akuntabel dalam mengelola sumber daya partai, termasuk sistem keuangannya. Partai juga tidak memiliki sistem rekruitmen dan pengkaderan bagi para anggotanya sehingga sifat kolusif dan nepotistic kerap terjadi dalam penempatan orang-orang partai pada jabatan strategis di pemerintahan maupun kelembagaan negara lainnya.
Untuk itu, penguasa, elit dan penggenggam otoritas kebijakan partai harus mempunyai kesadaran, kemampuan, sistem dan mekanisme untuk membebaskan dirinya dari sikap dan perilaku nepotistik, kolusif, favoritisme dan politik uang di dalam menentukan kebijakan partai yang berkaitan dengan kepentingan perwujudan kemaslahatan publik seperti yang dikehendaki konstituennya. Bila hal itu tidak dilakukan maka penguasa dan elit partai sesungguhnya telah secara sengaja membajak proses demokrasi di dalam sistem dan tubuh partainya sendiri.
Kedua, korupsi dalam penyelenggaran kekuasaan. Pilihan pada sistem proporsional terbuka yang dipakai sebagai sistem pemilihan legislatif di Indonesia dikaji kembali. Sistem ini, faktanya, menyebabkan biaya politik menjadi tinggi dan proses kompetisi sangat terbuka tetapi tidak disertai dengan mekanisme kontrol yang kuat dan ketat atas proses kontestasi sehingga dapat menyebabkan, para calon dari satu partai dalam suatu daerah pemilihan melakukan apa saja untuk memenangkan dirinya.
Pemegang otoritas kekuasaan yang sesungguhnya adalah Pejabat Publik sudah harus memilik Key Performance Index yang berbasis pada kepentingan kemaslahatan publik yang dirumuskan dalam visi, misi dan berbagai programnya untuk mengukur keberhasilannya. Tidak boleh lagi terjadi proses “pembodohan” dimana seorang pejabat publik yang tidak perform dalam menjalankan tugas dan kewajibannya tetap dipilih dan diangkat “berulangkali” atau bahkan diberikan posisi yang lebih tinggi.
Kita juga harus berani menyebut telah terjadi korupsi politik ketika suatu sistem yang sudah diketahui kelemahannya dan bahkan sudah timbul akibatnya atau sistem yang dipaksakan keberadaannya tetapi sistem itu tetap terus dibiarkan, dipertahankan dan secara sengaja “dipelihara” keberlanjutannya karena menguntungkan kepentingan tertentu yang justru merugikan kepentingan kemaslahatan publik maka sesungguhnya kekuasaan telah secara sengaja dan bersama-sama melakukan tindak keburukan dan kecurangan.
Semoga saja, akal sehat dan kesadaran untuk membangun sistem penyelenggaraan kekuasaan yang lebih baik segera dilakukan karena bila tidak, sesungguhnya, penyelenggaran kekuasaan telah dikorupsi. Lebih-lebih bila sistem, mekanisme dan instrumen penyelenggaraan kekuasaan telah secara sadar dan sengaja dibuat untuk tidak menghasilkan kualitas outcome yang menghasilkan kemaslahatan bagi proses demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, pada situasi seperti ini, potensial terjadi, penyelenggara kekuasaan yang “banyak bicara”, tidak ada prestasinya dan bahkan diindikasikan berperilaku koruptif, ternyata, tetap terpilih lagi; dan orang yang baik, berdedikasi serta relatif bersih malah tersingkir dan tidak terpilih.
Ketiga, korupsi kewenangan konstitusional. Yang agak menguatirkan, ditengah kondisi dimana sistem kekuasaan yang masih “bermasalah” dan belum sepenuhnya demokratis, ada intensi yang tak terbantahkan, terjadi apa yang disebut sebagai tendensi “Legislative Heavy”. Ada cukup banyak kewenangan eksekutif yang “diambil-alih” parlemen yang potensial menyebabkan terjadinya absolutism power ditangan legislatif.
Lihat saja, misalnya, rekruitmen pejabat publik dan penyelenggara Negara juga dilakukan oleh parlemen kendati tidak ada kewenangan konstitusional yang secara eksplisit memberikan mandat itu. Padahal sudah ada Panitia Seleksi yang justru telah melibatkan unsur masyarakat dan mendorong keterlibatan publik lebih luas untuk terlibat dalam proses rekruitmen itu. Kita pernah mempunyai pengalaman dimana terjadi pemusatan kekuasaan atau “executive heavy” yang pada akhirnya menjadi cikal bakal perilaku koruptif dan kolusif dari kekuasaan.
Hal serupa juga potensial terjadi di kekuasaan pemerintahan bilamana sistem yang transparan dan akuntabel tidak diterapkan secara konsisten dan konsekwen. Pemerintah diharapkan menyusun prioritas berupa “National Interest” yang melibatkan partisipasi publik dalam proses pelaksanaannya. Pada sektor dimaksud juga dikembangkan suatu sistem yang dapat meminimalisir potensi korupsi sehingga kelak bisa didapatkan suatu “cerita sukses” guna membangun optimisme dan kepercayaan pada publik.
VI
Seluruh uraian di atas menegaskan bahwa ada potensi dan fakta korupsi dalam proses demokrasi. Kendatipun demikian, imaji untuk mewujudkan Demokrasi tanpa Korupsi bukan suatu ilusi.
Bila demokrasi dimaknai sebagai keterlibatan publik dan sekaligus penolakan tindakan exculsion dari kekuasaan berkaitan dengan keterlibatan publik, kepentingan dan norma yang ada dalam masyarakat dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan maka fakta yang ada di dalam Festival Anti Korupsi di Yogyakarta menunjukan adanya salah satu modal sosial. Ada begitu banyak elemen masyarakat di berbagai pelosok nusantara dan sebagian penyelenggara kekuasaan yang memiliki keinginan kuat untuk menaklukan korupsi, ada cukup banyak ide, gagasan, cara, alternatif dan upaya untuk membangun inisiatif anti korupsi serta mengalirnya dukungan yang begitu masif dari publik.
Kiprah dan keberadaan media yang ditandai dengan adanya independency of media yang sebagiannya mengembangkan jurnalisme invetigasi dapat menjadi salah satu pilar penting untuk mewujudkan demokrasi tanpa korupsi. Bisa saja, sebagian pemilik media menjadi bagian dari “political parties” tetapi kini juga kini berkembang citizen journalist yang mempunyai kepedulian sangat tinggi atas berbagai isu yang terjadi di masyarakat sebagai bagian dari kontrol sosial maka itu dapat menjadi suatu pertanda bahwa proses demokratisasi akan terus di kawal oleh salah satu pilar pentingnya.
Adanya keterlibatan berbagai strategic communities seperti: Komunitas Blogger, Komunitas Kata dan Kartunis, Komunitas Film dan Animasi, Asosiasi Profesi dan Pengusaha dan berbagai kolmpok masyarakat lainnya dalam berbagai isu strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal ini akan sangat berguna untuk memastikan dan menjamin bahwa setiap putusan dari penyelenggaraan kekuasaan hanya ditujukan untuk kepentingan kemaslahatan publik.
Semoga kian banyak champion yang berasal dari penyelenggara negara yang bertindak sebagai agent of change karena mendedikasikan setiap kewenangan publik yang dimilikinya hanya untuk kepentingan peningkatan kualitas pelayanan publik yang prima.
Jika suatu ketika kelak, keterlibatan dan peran serta masyarakat telah tumbuh dan berkembang secara baik dalam setiap proses perumusan dan keputusan kebijakan publik serta kompetisi kekuasaan berpijak dan berpucuk pada kepentingan kemaslahatan, kesejahteraan dan keadilan sosial serta elit politik dan penyelenggara kekuasaan bekerja sesuai mandate yang diberikan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat maka sesemuanya itu menjadi pertanda Era Demokrasi tanpa Korupsi telah terbit di ufuk timur.
Depok, 14-12-2014
Bambang Widjojanto, Komisoner KPK