BPKP dan Pemberantasan Tipikor
"Kontrol itu sejatinya pengendalian dini untuk mencegah, menangkal, dan memudahkan pengungkapan kejadian berindikasi korupsi"
TOPIK korupsi selalu menjadi pembicaraan hangat di ruang publik. Dalam praktiknya, korupsi sangat sukar, bahkan hampir tidak mungkin diberantas, di samping sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi sejak reformasi digulirkan sudah dilakukan lewat berbagai cara, antara lain dengan menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk instruksi presiden.
Selain menerbitkan UU antikorupsi, tahun 2006 pemerintah meratifikasi United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) atau Konvensi Antikorupsi PBB. Bahkan 2008 Indonesia menjadi tuan rumah konferensi internasional tentang antikorupsi. Pemerintah pun membentuk lembaga khusus yang fokus menangani korupsi, yaitu KPK yang juga sebagai trigger mechanism terhadap institusi penegak hukum lainnya.
Namun semua upaya itu belum berdampak secara signifikan, bahkan sering terjadi penegak hukum terjebak konflik antara satu dan lainnya. Penyebab korupsi dapat dikelompokkan dalam aspek institusi/ administrasi, aspek manusia, dan aspek sosial, dan ketiganya saling berinteraksi sehingga menimbulkan potensi terjadinya korupsi.
Aspek institusi/ administrasi biasanya berkaitan dengan perundang-undangan yang tidak realistis dan tidak akomodatif terhadap pencegahan dan penanggulangan korupsi. Aspek manusia berkaitan dengan perilaku yang dipengaruhi oleh tekanan, kesempatan, dan pembenaran. Adapun aspek sosial budaya berkaitan dengan pengaruh negatif terhadap nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat, seperti hubungan kolutif antara politikus, eksekutif, dan kalangan dunia usaha.
Teori Fraud Tree
Ada beberapa cara penanggulangan korupsi, yaitu melalui upaya preventif, edukatif, dan represif. Khusus upaya represif, dalam ranah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah memerangi melalui deteksi, investigasi, dan menindaklanjuti hasil investigasi. Dalam rangka membantu instansi pemerintah mencegah dan mendeteksi fraud , sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2004 khususnya Butir 5, badan itu sudah menyiapkan program untuk melindungi suatu organisasi/ lembaga melalui fraud control plan (FCP).
Aksinya memang mendasarkan pada fraud, bukan korupsi karena cakupannya lebih luas, bahkan korupsi merupakan cabang dari fraud sebagaimana teori Fraud Tree, yang merincinya dalam tiga unsur yaitu penyalahgunaan aset, korupsi, dan fraudulent financial statements.
Jadi, kontrol itu sejatinya adalah pengendalian dini untuk mencegah, menangkal, dan memudahkan pengungkapan kejadian yang berindikasi ke arah itu. Sistem tersebut ditandai dengan adanya atribut yang spesifik yang merupakan penguatan sistem tata kelola tiap lembaga yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masing-masing organisasi.
Atribut spesifik itu merupakan kerangka berpikir FCP, misalnya kebijakan antifraud, yang terintegrasi dan berisi pernyataan sikap organisasi terhadap fraud. Misalnya struktur pertanggungjawaban atas implementasi kebijakan yang dibagi habis kepada pejabat senior. Tanggung jawab tersebut dimulai sejak tingkat pimpinan organisasi sampai dengan tingkat operasional.
Penilaian risiko fraud akan memberikan gambaran terkini pada organisasi mengenai risiko kemungkinan kejadian itu pada area atau bidang tertentu yang memerlukan penyempurnaan aturan atau kebijakan sehingga upaya organisasi bisa lebih terarah dan efisien dalam memanfaatkan sumber dayanya.
Tidak kalah pentingnya adalah kepedulian pegawai, yang seharusnya memahami pengertian fraud dan sigap bertindak bila menjumpai kejadian yang berisiko ke arah itu. Organisasi juga perlu menginformasikan kepada masyarakat dan stakeholder berkaitan dengan nilai-nilai yang dimiliki dan praktik kegiatan yang lazim, hak, serta kewajiban layanan.
Tidak kalah pentingnya adalah perlindungan terhadap pelapor. Dalam konteks ini pimpinan organisasi harus membuat komitmen dan tidak memihak guna mendukung semua upaya pengidentifikasian fraud, termasuk korupsi, pada organisasinya. Setelah tahapan ini, ia perlu memahami bahwa untuk kasus fraud, termasuk korupsi tertentu di lingkungannya, harus dilaporkan kepada instansi berwenang. (10)
Eni Marhaen, auditor pada Bidang Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jateng
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 15 November 2011