Berdagang Pengaruh Politik ...
Beberapa waktu lalu, Presiden Partai Keadilan Sejahtera ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia diduga terlibat dalam korupsi terkait impor daging sapi. Kasus ini menyentak kesadaran publik, tak hanya bagi kader partai yang dikenal sangat ideologis, tetapi juga bagi masyarakat umum.
Dari perspektif politik, banyak hal bisa dibaca. Mulai dari runtuhnya legitimasi agama dalam kehidupan politik, prediksi larinya pemilih PKS, sampai pada isu konspirasi yang dijadikan kambing hitam. Namun, dari aspek hukum, yang menarik adalah pernyataan pemimpin KPK bahwa LHI diduga memperdagangkan pengaruhnya sebagai presiden PKS. KPK menggunakan Pasal 12 a/b, Pasal 5, dan/atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apa yang dimaksud dengan memperdagangkan pengaruh?
Berdagang pengaruh
Merujuk pada Konvensi PBB Melawan Korupsi yang disahkan di Merida, Meksiko, tahun 2003, aturan trading in influence terdapat pada Pasal 18. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 pada 19 September 2006. Secara keseluruhan, per Desember 2012, tercatat 165 negara tercantum sebagai negara pihak dalam konvensi PBB melawan korupsi ini.
Sebelumnya, negara-negara di Eropa juga telah mengenal delik korupsi ini. Bahkan, yang menarik, dari publikasi Council of Europe (CoE) tahun 2000, Trading in Influence and the Illegal Financing of Political Parties, kriminalisasi memperdagangkan pengaruh dihubungkan dengan pendanaan politik secara tidak sah. Ia dikenal dengan jenis korupsi kerelasian trilateral dengan pelaku tidak hanya pejabat negara, tetapi juga warga negara biasa melalui pemberian hadiah atau janji. Deskripsi yang sama terjadi di Inggris melalui Prevention of Corruption Act (Willeke Slingerland, 2010: 3).
Sepintas, aturan ini mirip dengan unsur-unsur suap atau gratifikasi. Tujuannya juga sama. Namun, jika dicermati lebih jauh, pasal-pasal suap yang kita kenal di UU Tindak Pidana Korupsi saat ini sulit menyentuh pelaku yang bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Dalam kasus LHI mungkin tidak akan ada masalah berarti karena ia diproses ketika masih menjabat sebagai anggota DPR. Namun, bagaimana jika pelakunya bukan penyelenggara negara? Elite partai politik, misalnya. Padahal, bukti-bukti menunjukkan ia menerima setoran dari perusahaan agar menggunakan pengaruhnya menekan kementerian yang dipimpin oleh kader dari partainya untuk melakukan sesuatu. Bisakah ia dijerat UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
Secara substansi, perbuatan yang dilakukan elite politik tersebut jelas salah. Bahkan, secara teoretis, inilah induk korupsi. Apalagi, di survei Transparency International, partai politik sebagai institusi paling korup memang menjadi tren negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Pengaruh dan posisi partai yang sangat kuat dapat membuat menteri atau pejabat tertentu melakukan perbuatan yang menguntungkan pihak yang memberikan setoran kepada si elite partai.
Modus ini tentu sangat mungkin dikembangkan pada model pendanaan ke institusi partai. Pengusaha dan pihak lain yang ingin mendapatkan proteksi, memuluskan proyek atau kepentingan apa pun, dapat memelihara partai politik melalui dukungan dana politik. Tentu saja kita tidak sedang berbicara tentang aliran dana resmi yang tercatat pada kas partai atau yang dilaporkan kepada Komisi Pemilihan Umum.
Bisakah praktik suap swasta di atas dijerat dengan UU Pemberantasan Korupsi yang ada saat ini? Kita memang memiliki UU No 11/1980 tentang Suap yang mengatur suap terkait dengan kepentingan umum. Namun, suap swasta ini tidak dikategorikan korupsi sehingga sulit bagi KPK menanganinya.
Idealnya, tentu dalam revisi UU Tindak Pidana Korupsi, klausul ini dimasukkan sebagai salah satu norma baru selain ketentuan tentang pemerkayaan gelap dan suap bagi pejabat publik asing. Sayangnya, dalam kondisi politik hari ini, penguatan terhadap pemberantasan korupsi nyaris menjadi utopia. Apalagi, hampir 50 kader partai yang duduk sebagai anggota DPR telah dijerat KPK.
Pembentukan hukum
Ada beberapa klausul yang bisa dikembangkan. Ambil contoh kasus korupsi M Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat. Putusan yang telah in kracht di Mahkamah Agung ini menyinggung isu ”pengaruh politik” terkait suap yang diterima. Meskipun Nazaruddin anggota Komisi III DPR, sedangkan proyek yang diurus dibahas di Komisi X DPR, hubungan Nazaruddin sebagai bendahara Partai Demokrat dengan Menpora Andi Alifian Mallarangeng yang berasal dari partai yang sama menjadi salah satu pertimbangan penting. Nazaruddin kemudian divonis tujuh tahun penjara dan dijerat Pasal 12 huruf a UU Tipikor. Jika bendahara umum saja memiliki pengaruh kepada menteri yang berasal dari partai yang sama, bagaimana dengan ketua umum atau presiden partai?
Namun, sekali lagi, pertanyaan yang masih menggantung adalah bagaimana jika Nazaruddin saat itu bukan anggota DPR? Ada beberapa pendekatan yang bisa dikembangkan KPK. Belajar dari otoritas di Swedia, berdagang pengaruh dapat dijerat dengan pasal suap biasa (Slingerland, 2010: 4).
Di Indonesia, KPK bisa meneliti lebih dalam peluang perluasan norma melalui penerapan ketentuan penyertaan di Pasal 55 Ayat (1) ke-1 dan ke-2 KUHP. Ada dua hal sederhana yang perlu dipertimbangkan. Pertama, pelaku yang turut serta, misalnya ikut menerima setoran bersama tersangka yang merupakan anggota DPR dan secara sengaja memengaruhi kementerian atau pejabat tertentu untuk menunjuk perusahaan importir daging tertentu. Logika yang sama bisa diberlakukan untuk semua kasus korupsi sejenis.
Kedua, ketika semua pelaku bukan penyelenggara negara. Kita perlu membuka ulang asal-muasal pembentukan Pasal 55 Ayat (1) ke-2 KUHP. Pasal ini ternyata tidak ditemukan dalam KUHP Belanda. Ia ditambahkan dalam KUHP Indonesia karena ingin menjerat orang-orang yang tidak mempunyai jabatan kenegaraan, tetapi memiliki pengaruh, seperti tetua adat dan pemimpin keagamaan.
Menurut Jonkers, orang-orang tersebut termasuk orang yang dapat menyalahgunakan pengaruhnya (AZ Abidin dan Andi Hamzah: 436). Pelaku menggerakkan pihak tertentu melakukan kejahatan. Akan tetapi, penerapan aturan ini tentu perlu didukung dengan bukti dan analisis yang rinci.
Kasus Nazaruddin, LHI, dan kasus lain yang menjerat elite partai haruslah memberikan pelajaran penting untuk penguatan pemberantasan korupsi. KPK sebagai institusi independen yang ditugasi memimpin pemberantasan korupsi harus mampu menemukan cara terbaik untuk memangkas akar korupsi yang salah satunya dilakukan dalam bentuk memperdagangkan pengaruh politik.
Febri Diansyah Pegiat Antikorupsi, Peneliti Hukum ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 13 Februari 2013