Antikorupsi, Bisa Didiagnosis, Bukan Utopia
Anggota DPR dari Fraksi PAN, Abdul Hadi Djamal, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama staf dari Departemen Perhubungan. Tidak lama kemudian, kepala Dinas Perhubungan dan Komunikasi Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, juga ramai diberitakan media melakukan korupsi serta pemerasan.
Yang bisa dipotret dari contoh buruk tersebut, institusi pemerintahan belum cukup serius mengantisipasi terulangnya kasus korupsi. Institusi pemerintahan seolah terjebak dalam semangat formalisme untuk memerangi korupsi. Antikorupsi menjadi ungkapan pemanis bibir, tidak keluar dari lubuk hati terdalam. Belum terbangun sistem integritas.
Padahal, berbagai upaya, termasuk slogan dan deklarasi antikorupsi, dibuat di berbagai tempat. Tapi, korupsi tidak pernah habis. Sekadar membuka kembali ingatan kolektif bangsa ini bahwa pada peringatan Hari Antikorupsi 9 Desember 2008, hampir semua gubernur menyerukan slogan antikorupsi. Demikian pula, pada akhir Februari 2009, semua partai politik berikrar untuk tidak melakukan korupsi.
Karena itu, pertanyaan mendasarnya adalah mengapa pelaku (potensial pelaku) korupsi tidak pernah jera dan tiada habisnya terjadi di Indonesia? Tentu banyak pendapat dan analisis yang mampu menjelaskannya dan bahkan sudah diketahui publik.
Toh, menurut saya, dalam perspektif hukum dan pemerintahan belum banyak dibicarakan bagaimana mengangkat korupsi ke tataran aktual sekaligus implementatif. Sebab, bila tidak demikian, arahan dan strategi pemberantasan korupsi sangat mungkin berjalan di tempat.
Ada tiga alasan utama yang memperkuat pendapat tersebut. Pertama, pemahaman dan acuan yang beragam tentang korupsi dari partai politik dan antar penyelenggara negara. Hasil monitoring dan evaluasi (monev) Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (Kempan) mengindikasikan bahwa Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi belum dipatuhi penyelenggara negara secara konsisten.
Bahkan, masih banyak departemen/daerah yang belum memiliki rencana aksi nasional/daerah pemberantasan korupsi (RAN/D-PK), apalagi menjalankannya. Diferensiasi seperti itu rentan terhadap berkembangnya bahaya laten korupsi.
Karena itu, hasil monev seperti ini perlu dijadikan rujukan untuk membangun kembali semangat antikorupsi dalam institusi pemerintahan dan tangan besi pemerintah seolah menjadi kebutuhan kontemporer pemberantasan korupsi dan keharusan sejarah bangsa ini untuk mewujudkan nilai-nilai konstitusi, khususnya kesejahteraan rakyat, sebagaimana mimpi para founding fathers dalam pembukaan UUD 1945.
Kedua, tidak adanya ''blue print'' pemberantasan korupsi yang komprehensif dan aplikatif yang melibatkan elemen-elemen masyarakat. Tidak ada penetapan status korupsi, sehingga seluruh agenda pemberantasan korupsi dianggap absah. Padahal, status korupsi akan menjadi titik tolak dalam melakukan berbagai kebijakan pemberantasan korupsi. Tidak mungkin semua rencana bisa dilakukan.
Karena itu, perlu menentukan prioritas, sehingga aksi yang dilakukan efektif dan berdampak signifikan. Hal tersebut juga ditujukan untuk mempermudah evaluasi hasil upaya pemberantasan korupsi.
Ketiga, antarinstitusi penegak hukum terkesan saling mengabaikan bahkan menegasikan tindakan yang dilakukan salah satu institusi. Tidak ada sinergisitas yang bisa dijadikan best practice.
Contoh yang paling mudah dilihat sewaktu Jaksa Agung Hendarman Supandji mengangkat Kemas Yahya Rahman serta M. Salim sebagai koordinator dan wakil koordinator I Satuan Khusus (Satsus) Supervisi dan Bimbingan Teknis (Bimtek) Tuntutan Perkara Tipikor, Perikanan dan Ekonomi. Padahal, diduga kuat mereka terlibat skandal Urip yang ditangani KPK.
Berbagai realitas tersebut merupakan benang kusut kompleksitas persoalan korupsi yang patut diurai sebagai tantangan sekaligus peluang. Yakni, tantangan bagi institusi pemerintahan dan bangsa ini untuk menghambat laju korupsi dan membuat bangsa ini bermartabat serta peluang untuk membuat kesejahteraan rakyat bukan sebagai sesuatu yang utopis.
Karena itu, pertama, harus ada ruang yang lebih luas bagi masyarakat, baik nasional maupun lokal, untuk berpartisipasi. Partisipasi tersebut diwujudkan dengan terlibat dalam penyusunan kebijakan maupun pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pemberantasan korupsi.
Kedua, perlu merumuskan dan menentukan status korupsi di Indonesia. Ibarat gunung api yang siap meletus, ada siaga satu, dua, tiga, dan seterusnya; ada early warning system; ada pelatihan evakuasi bagi masyarakatnya; dan sebagainya. Status itu penting untuk memperjelas strategi yang akan digunakan, instrumen yang diperlukan, dan mekanisme evaluasi yang akan dilakukan di berbagai sektor/bidang. Dengan demikian, target untuk meningkatkan peringkat CPI (corruption perception index) dan atau GCB (global corruption barometer) menjadi terukur.
Ketika itu semua dilakukan, sesungguhnya bangsa dan negara ini sedang terlibat dalam kesibukan substantif terhadap warganya dan sedang menganyam masa depan bangsa yang berpengharapan.
Antikorupsi bukan utopia, tapi bisa didiagnosis sebagaimana penyakit lainnya. Kalau negara-negara seperti di Skandinavia atau Swiss dapat melakukannya, mengapa kita tidak? Semoga jawabannya ada pada pemerintahan berikutnya. ***
*. Henry Siahaan, penggiat antikorupsi, bekerja di Kemitraan, Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 12 Maret 2009