Akselerasi Penegakan Hukum
Penegakan hukum bukan hanya pilar bagi tegaknya demokrasi. Hukum yang adil dan tertib adalah prasyarat utama sebuah good governance, pemerintahan yang baik. Maka, menegakkan hukum dan memberantas korupsi merupakan bagian inheren dari ikhtiar membangun Indonesia menuju negara demokratis dan berkeadilan.
Alasannya dua hal. Pertama, hasrat akan keadilan adalah harapan setiap individu manusia dan karena itu menjadi cita-cita bagi pembentukan sebuah negara-bangsa. Kedua, tata kelola pemerintahan sebuah negara meniscayakan berlakunya hukum sebagai panglima, agar pemerintahan itu bisa stabil, efektif, dan mencapai sasaran: terciptanya masyarakat yang sejahtera.
Apalagi, demokratisasi yang kini berlangsung pasca-runtuhnya Orde Baru belum dapat dikatakan selesai. Setidaknya terdapat dua kelemahan mendasar yang menjadi indikator demokrasi kita belum terkonsolidasi secara penuh: lemahnya penghormatan terhadap hak-hak sipil, terutama hak-hak minoritas, dan lemahnya penegakan rule of law dalam setiap sendi kehidupan bernegara.
Jika tak segera diatasi, kedua hal tersebut dapat menjadi hambatan bagi konsolidasi demokrasi yang tengah berjalan. Maka, tak ada tawaran untuk menghapus rintangan tersebut selain menjadikan hukum sebagai permainan satu-satunya (the only game in town). Penegakan hukum amatlah penting untuk menjaga kualitas demokrasi dan iklim ekonomi yang sehat dan mensejahterakan.
Visi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sadar betul akan pentingnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi ini. Ia menjadikan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sebagai salah satu dari lima agenda utama pembangunan nasional yang dicanangkannya.
Selain itu, pemerintah SBY menjadikan program penegakan hukum sebagai satu dari tiga sasaran pembangunan 2009-2014. Dalam kaitan dengan ini, pemerintah mengupayakan reformasi kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan. Elemen-elemen penegak hukum yang bersih, jujur, dan dipercaya menjadi prasyarat mutlak bagi tercapainya kepastian hukum dan keadilan.
Tak berhenti sampai di sini. Tiga belas prioritas dan program aksi pembangunan nasional 2009-2014 mencanangkan penegakan hukum sebagai salah satu program yang harus diimplementasikan. Program tersebut dicapai dengan memperbaiki law enforcement, memperkuat kinerja kepolisian dan kejaksaan, memperbaiki peraturan yang menyangkut penegakan hukum, mendukung perbaikan administrasi dan anggaran di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya, serta penindakan korupsi secara konsisten dan tanpa tebang pilih. Pokok-pokok tersebut setidaknya memberikan gambaran visi-misi pemerintahan SBY dalam aspek penegakan hukum. Suatu cita-cita good governance yang diagendakan dan langkah-langkah yang dirumuskan untuk menggapai cita-cita itu.
Di antara contoh konkret pelaksanaan visi penegakan hukum itu adalah dukungan kuat SBY atas keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tengah suara-suara yang ingin mengubur KPK. Selain itu, pemerintah juga membentuk tim ad hoc yang penting bagi penegakan hukum, yaitu Satuan Tugas (Satgas) Anti-Mafia Hukum. Dan dalam rangka reformasi birokrasi, pemerintah membentuk Unit Kerja Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan.
Potret korupsi
Tentu saja, untuk melihat apakah cita-cita besar penegakan hukum yang telah digariskan itu sudah tercapai atau belum, kita perlu melihat realitas yang ada di lapangan. Potret korupsi terkini di negeri ini menjadi salah satu indikator yang penting untuk dilihat.
Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa tren korupsi di Indonesia pada semester I tahun 2010 meningkat. Indikasinya adalah naiknya jumlah kasus, tersangka, dan kerugian negara akibat korupsi dibandingkan dengan semester 1 tahun 2009. Pada semester itu, menurut Laporan ICW, terungkap sebanyak 86 kasus korupsi, dengan 217 tersangka dan kerugian negara sebesar Rp 1,17 triliun. Sedangkan pada pada semester 1 tahun 2010 ini terungkap sebanyak 176 kasus korupsi, dengan 441 orang yang dijadikan tersangka, dan dengan kerugian negara mencapai Rp 2,1 triliun.
Selain itu, catatan Litbang Kompas menunjukkan bahwa jumlah kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) yang terseret kasus korupsi dalam lima tahun terakhir sebanyak 75 orang. Mereka telah divonis dan menjalani hukuman. Dari jumlah itu, sebanyak 51 orang (68 persen) merupakan kepala daerah yang berasal dari luar Jawa.
Tentunya, berbagai kasus korupsi dan mafia hukum yang melibatkan oknum di dalam aparat penegak hukum—kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan—akan menambah angka merah dalam rapor penegakan hukum kita. Kasus Susno Duadji, Anggodo, Gayus Tambunan, rekening gendut oknum petinggi polisi, dan berbagai kasus lain yang melibatkan oknum penegak hukum menjadi bukti masih terdapatnya jarak yang cukup jauh antara cita-cita pemberantasan korupsi dan kondisi riil di lapangan.
Akselerasi
Dengan fakta yang mengemuka tersebut, selayaknya pemerintah meninjau ulang reformasi hukum yang tengah dijalankan. Ini dalam rangka akselerasi penegakan hukum yang sekarang sedang dijalankan. Membuat lembaga-lembaga ad-hoc untuk membantu institusi penegak hukum yang ada memang penting. Tetapi penguatan dan optimalisasi lembaga-lembaga yang sudah ada agaknya jauh lebih penting.
Dalam rangka akselerasi itu, ada dua hal yang agaknya perlu dilakukan pemerintah SBY. Pertama, memperbaiki peraturan yang menyangkut penegakan hukum, termasuk menyangkut aturan aparat penegak hukumnya. Aturan main yang tegas terhadap pelanggaran oknum penegak hukum akan memberi jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Kedua, memperbaiki mutu dan integritas aparat penegak hukum, baik di kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Seleksi personel dan pejabat struktural yang strategis selayaknya dilakukan secara baik dan tepat. Termasuk dalam hal ini, oknum aparat penegak hukum yang tidak produktif, bahkan kontraproduktif dengan penegakan hukum, harus digantikan oleh orang-orang yang mendukung visi penegakan hukum, dalam perilaku dan kebijakannya.
Jika kedua langkah di atas dapat diimplementasikan, akselerasi penegakan hukum akan tercipta. Dan keraguan-raguan masyarakat tentang penegakan hukum yang setengah hati, tebang pilih, dan cenderung lembek akan terjawab oleh visi pemerintah yang jelas, sikap yang tegas, serta tindakan yang berani dan radikal.
Asmar Oemar Saleh, Ketua Departemen Pemajuan dan Perlindungan HAM DPP Partai Demokrat, mantan Deputi III Kantor Menteri Negara HAM RI
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 31 Agustus 2010