Vonis Banal Edhy Prabowo
Ahli hukum Jerman, Gustav Radbruch, pernah berujar bahwa setiap produk hukum harus memenuhi tiga nilai dasar, yakni, keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Alih-alih terpenuhi, vonis Mahkamah Agung (MA) terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo, justru bertolak belakang dan menabrak nilai dasar hukum tersebut. Bagaimana tidak, setelah diperberat hingga 9 tahun penjara pada tingkat banding, MA melalui putusan kasasinya justru memangkas hukuman Edhy menjadi 5 tahun penjara. Dari sini, komitmen antikorupsi lembaga kekuasaan kehakiman semakin layak dipertanyakan.
Sebagaimana diketahui, akhir November tahun 2020 lalu Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan menetapkan enam orang sebagai tersangka, salah satunya Edhy. Mantan anggota DPR RI itu dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap berkaitan dengan ekspor benih lobster. Ironi, di tengah masyarakat yang sedang berjuang menghadapi pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19), Edhy malah melanggengkan praktik korupsinya.
Hukuman Ringan bagi Koruptor
Pada dasarnya, korting hukuman para pelaku korupsi ini bukan hal baru lagi. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), tren pemidanaan ringan sudah berulang kali terjadi. Bisa dibayangkan, sepanjang tahun 2020 saja rata-rata hukuman pelaku korupsi hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Belum lagi ditambah fenomena “jalan pintas” pemotongan hukuman melalui jalur peninjauan kembali. Padahal, korupsi sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang juga menuntut adanya tindakan ekstra untuk memberikan efek jera, salah satunya dengan hukuman maksimal.
Tak cukup itu, Pasal 5 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga secara tegas menyebutkan bahwa saat menjatuhkan suatu putusan, hakim wajib menggali rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Pertanyaan sederhananya, dengan mengacu pemotongan hukuman Edhy, maka keadilan siapa yang sebenarnya dipertimbangkan oleh majelis hakim? bukankah menghukum maksimal dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat selaku korban praktik korupsi?
Ada sejumlah hal yang sepertinya luput dari putusan mantan Menteri KKP tersebut. Misalnya, hakim tidak mempertimbangkan status pekerjaan Edhy saat melakukan kejahatan. Patut dicermati, Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah memberikan dasar yang konkret bagi hakim untuk memperberat putusan tersebut. Sebab, regulasi itu menyebutkan bahwa setiap pejabat publik yang melakukan kejahatan, hukumannya diperberat sepertiga, bukan justru dikurangi. Selain hal tersebut, Edhy juga diketahui melakukan praktik korupsinya di tengah pandemi Covid-19. Keadaan semacam ini semestinya menggerakkan majelis hakim untuk menghukum maksimal Edhy, minimal 20 tahun penjara atau bahkan seumur hidup. Diperparah lagi, hingga menjelang akhir proses persidangan pada tingkat pertama, Edhy juga tidak kunjung mengakui perbuatannya. Atas dasar itu, kemudian pengadilan tingkat pertama dan banding membenarkan dakwaan penuntut umum.
Merujuk pertimbangan majelis kasasi yang mengurangi hukuman Edhy, terdapat hal-hal ganjil. Pertama, secara spesifik majelis hakim menyebutkan bahwa Edhy saat menjabat sebagai Menteri KKP sudah bekerja dengan baik. Dalil semacam ini sangat mudah untuk dipatahkan. Misalnya, apa landasan hukum yang membenarkan MA untuk menilai kinerja seorang Menteri? Bukankah itu merupakan kewenangan Presiden selaku kepala pemerintahan? Kedua, MA mengatakan langkah Edhy yang mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PerMen KKP) No 56 Tahun 2016 dan menggantinya dengan PerMen KKP No 12 Tahun 2020 telah memberi harapan dan menyejahterakan masyarakat. Penting untuk ditegaskan, MA dalam kapasitasnya sedang menyidangkan suatu perkara pidana, bukan menguji suatu peraturan. Maka dari itu, tidak salah jika kemudian masyarakat berbondong-bondong mengecam putusan ganjil Edhy tersebut.
Batas pemeriksaan pada tingkat kasasi sebenarnya sudah dijelaskan dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketentuan itu menyebutkan setidaknya ada tiga objek pemeriksaan, diantaranya, penerapan aturan hukum, cara mengadili, dan kewenangan pengadilan dalam menyidangkan perkara. Jadi, hal-hal di luar itu dilarang untuk turut dipertimbangkan oleh majelis hakim. Mengacu pada pengurangan hukuman terhadap Edhy, jelas dan terang benderang melenceng dari ketentuan KUHAP.
Peran KPK terkait Hukuman Ringan Edhy
Hanya saja, dalam isu pemotongan hukuman Edhy, MA bukan lembaga tunggal yang layak untuk dipersalahkan. Sebab, kinerja KPK juga terlihat tidak maksimal dalam menangani perkara suap ekspor benih lobster ini. Pertama, KPK diduga tidak menindaklanjuti pemanggilan Sekretaris Jenderal (Sekjen) KKP, Antam Novambar. Padahal, sejak awal, lembaga antirasuah itu sudah menyampaikan informasi perihal adanya dugaan perintah dari Edhy kepada Antam untuk mengurus penarikan bank garansi dari para eksportir melalui Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan. Pasca panggilan pertama pada pertengahan Maret 2021, KPK tidak memanggil kembali Sekjen KKP tersebut.
Kedua, Pimpinan KPK memberhentikan sebagian pegawai yang turut bergabung dalam tim penyidikan Edhy melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Tiga diantaranya, Novel Baswedan, Yudi Purnomo Harahap, dan Ambarita Damanik. Dari sini timbul pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa Pimpinan KPK sebenarnya enggan untuk memproses hukum Edhy sehingga para pegawai tersebut diberhentikan secara paksa dan melanggar hukum dengan cara menggelar TWK. Ketiga, seperti yang dikeluhkan oleh masyarakat, tuntutan KPK kepada Edhy sangat rendah dan mencoreng rasa keadilan. Sebab, mantan Menteri KKP itu hanya dituntut lima tahun penjara. Padahal, pasal yang digunakan KPK (Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) kepada Edhy memungkinkan untuk menjerat dengan hukuman 20 tahun penjara atau bahkan seumur hidup.
Vonis banal MA ini semakin menambah catatan kelam bagi upaya pemberantasan korupsi. Bisa dibayangkan, lembaga pemberantas korupsi seperti KPK dilemahkan, ditambah dengan rentetan vonis ringan oleh pengadilan, belum lagi ke depan pelaku akan sangat mudah mendapatkan remisi saat menjalani masa pemidanaan. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia?
Penulis: Kurnia Ramadhana
Editor: Siti Juliantari