Tidak Cukup Batalkan Kenaikan UKT, Stop Komersialisasi Pendidikan!

Foto: Koran Linggau Pos/ Diksinasi
UKT Mahal

Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009 membatalkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). UU tersebut digugat ICW dan koalisi pendidikan karena berpotensi melahirkan komersialisasi pendidikan. Kini, komersialisasi pendidikan muncul dan perlu segera disudahi.

Presiden Joko Widodo menyebut Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang batal naik tahun ini kemungkinan akan naik tahun depan. Pernyataan tersebut disampaikan hanya selang sehari setelah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengumumkan pembatalan kenaikan UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI).

Pernyataan presiden seolah menegaskan bahwa pemerintah tidak paham betul akar persoalan yang tengah menjadi kritik publik. Persoalan tersebut pada dasarnya bukan hanya dikarenakan kenaikan secara mendadak, tetapi kemahalan biaya yang harus dikeluarkan publik akibat kebijakan negara yang memantik komersialisasi pendidikan. Tidak hanya itu, pemerintah atau dalam hal ini yaitu Mendikbudristek terkesan bersikap cuci tangan atas polemik yang terjadi.

 

Kenaikan UKT atas Restu Kemendikbudristek

Sebelum UKT disebut batal naik tahun ini, Menteri Nadiem Makarim menyatakan akan mengevaluasi permintaan kenaikan UKT dari perguruan tinggi. Menteri Nadiem Makarim juga menyebut bahwa ia mendengar desas-desus lompatan besaran UKT yang disebutnya cukup fantastis. Pernyataan-pernyataan tersebut adalah pernyataan yang menggelikan untuk dikeluarkan oleh seorang Menteri Pendidikan.

Pasal 6 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan (SSBOP) Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatur bahwa pimpinan PTN Badan Hukum (PTN-BH) menetapkan besaran UKT setelah berkonsultasi dengan Mendikbudristek melalui Dirjen Pendidikan Tinggi. Bahkan PTN selain PTN-BH baru dapat menetapkan besaran UKT setelah mendapatkan persetujuan dari menteri melalui Dirjen Pendidikan Tinggi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa besaran UKT yang naik signifikan ini telah mendapat restu dari Mendikbudristek.

Pernyataan Nadiem Makarim tersebut adalah bentuk cuci tangan Kemendikbudristek terkait polemik UKT, seolah pemerintah tidak punya wilayah intervensi terhadap kenaikan UKT oleh perguruan tinggi. Pernyataan tersebut jelas tidak sesuai dengan Pasal 6 Permendikbud SSBOP Perguruan Tinggi. Bahkan, pasal 16 Permendikbud tersebut mewajibkan pimpinan PTN untuk menyampaikan laporan realisasi pemberlakuan UKT kepada Kemendikbudristek.

Sebaliknya, Kemendikbudristek seharusnya menjelaskan kepada publik perihal bagaimana pasal 6 dan pasal 15 tersebut diimplementasikan:

  1. Bagaimana hasil konsultasi PTN-BH dengan Kemendikbudristek perihal penetapan UKT 2024?
  2. Apa dasar pertimbangan Kemendikbudristek menyetujui besaran UKT di PTN?
  3. Bagaimana hasil monitoring dan evaluasi Kemendikbudristek mengenai laporan realisasi pemberlakuan UKT?

Lebih mendasar dari itu, bagaimana evaluasi Kemendikbudristek terkait dengan PTN-BH?

 

Menyudahi Komersialisasi Pendidikan Tinggi

Persoalan pendidikan tinggi hari ini bukan hanya soal UKT yang melambung, tetapi praktik komersialisasi yang disponsori negara dengan pembentukan PTN-BH. PTN-BH sudah memunculkan kontroversi sejak awal kehadirannya. Setelah lebih dari satu dekade, terlihat bahwa PTN-BH belum berhasil menjadi solusi perguruan tinggi inovatif, salah satunya terkait dengan keuangan. Perguruan tinggi justru mengambil jalan pintas mengumpulkan pendanaan dari mahasiswa.

ICW bersama koalisi pendidikan pada 2009 pernah melakukan Judicial Review (JR) mengenai UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) setelah UU tersebut disahkan pada 17 Desember 2008. Terdapat 5 (lima) dasar pertimbangkan JR tersebut kami ajukan, yaitu BHP dan UU BHP:

  1. Mereduksi kewajiban konstitusional dan tanggung jawab negara untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat diakses oleh seluruh warga.
  2. Mendorong komersialisasi dan liberalisasi pendidikan, yaitu dengan menjadikan penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar.
  3. Memosisikan “modal” sebagai mitra utama penyelenggaraan pendidikan.
  4. Memberatkan masyarakat atau peserta didik karena membuat pendidikan diskriminatif terhadap warga negara tidak mampu.
  5. Mempersempit akses warga negara untuk mendapatkan pendidikan.

MK melalui putusan No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 membatalkan UU BHP dan menyebut bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK tersebut seharusnya direspon pemerintah dengan mendudukkan sistem pendidikan nasional yang lebih baik. Namun lebih dari 15 tahun kemudian, pemerintah justru melahirkan strategi baru komersialisasi pendidikan.

Lima alasan tersebut masih sangat relevan untuk menjadi alasan penolakan komersialisasi pendidikan melalui pembentukan PTN-BH. Sebab, model relasi negara dengan perguruan tinggi tersebut membuat perguruan tinggi menjelma menjadi institusi komersil yang semakin berjarak dari aspek fungsi dan filosofis pembentukannya. Selain itu, model ini membuat ringan peran negara dalam menjalankan kewajiban konstitutional di bidang pendidikan.

Tidak hanya itu, Kemendikbudristek juga perlu melakukan evaluasi atas pemberlakuan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program tersebut membuat perguruan tinggi semakin menjelma menjadi institusi yang lebih dekat dengan pasar dan industri sehingga mencerabut akar filosofis pendidikan yang diembannya.

Atas dasar hal-hal di atas, ICW menilai bahwa pembatalan atau penundaan kenaikan UKT dan IPI belum menjawab persoalan komersialisasi pendidikan tinggi hari. Negara perlu melakukan pembenahan lebih sistematis dengan kembali meluruskan peran dan fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan melihat tantangan hari ini, negara tidak cukup hadir secara signifikan dalam pendidikan dasar dan menengah, tetapi juga pendidikan tinggi, yang salah satunya tercermin dari dukungan anggaran.

Terlebih, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah memandatkan alokasi minal 20% anggaran negara dan daerah untuk fungsi pendidikan. Sudah saatnya anggaran tersebut digunakan sebaik-baiknya (prioritas wajib dan utama) untuk pelayanan pendidikan dasar hingga tinggi dengan rakyat sebagai penerima manfaat utamanya.


 

Jakarta, 28 Mei 2024

Indonesia Corruption Watch
 

Narahubung:

Almas Sjafrina 085770624117





 

 


 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan