Terbuangnya Vaksin COVID-19 akibat Minimnya Transparansi Tata Kelola Pengadaan dan Distribusi Program Vaksinasi
Vaksin COVID-19 merupakan salah satu barang kesehatan yang proses pengadaannya dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mempercepat penanganan pandemi COVID-19 demi tercapainya herd immunity. Untuk memperkuat landasan hukum dalam proses pemenuhan vaksin COVID-19, Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden No. 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Perpres yang mengatur mekanisme pengadaan vaksin COVID-19 tersebut menunjuk Kementerian Kesehatan sebagai aktor utama dalam menentukan jenis vaksin, kebutuhan vaksin serta penetapan harga dengan jasa penyedia.
Secara garis besar, terdapat tiga mekanisme pengadaan vaksin COVID-19, yaitu (1) penunjukan langsung badan usaha penyedia, (2) penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT BioFarma, dan (3) kerja sama dengan lembaga internasional. Proses pengadaan yang dikecualikan ini diatur pada Pasal 61 Perpres 16/2018 dan Peraturan LKPP Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Yang Dikecualikan Pada Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Pengadaan Barang dan Jasa yang dikecualikan tersebut termasuk dalam komponen pengadaan darurat dimana metode yang digunakan adalah penunjukan langsung badan usaha penyedia dalam pengadaan vaksin secara cepat untuk menanggulangi situasi darurat. Mekanisme pengadaan langsung memiliki potensi korupsi yang besar, terlebih lagi di tengah kondisi jumlah penyedia vaksin yang terbatas, yang diakibatkan oleh kebutuhan global yang sangat tinggi. Adapun risiko korupsi yang terjadi diantaranya adalah potensi ketidakwajaran harga yang ditawarkan oleh penyedia, potensi suap oleh penyedia, dan konflik kepentingan dalam penentuan jenis dan jumlah vaksin (UNODC, 2020).
Pengadaan Vaksin Sebelum Uji klinis III dan Risiko Pemborosan Uang Negara
Melalui pantauan media sosial yang dilakukan oleh koalisi LaporCOVID-19 dan Transparency International Indonesia, Pemerintah Indonesia berhasil melakukan pengadaan sebanyak 3 juta vaksin dengan merk CoronaVac melalui skema pembelian langsung pada tahun 2020, disusul dengan 16,5 juta vaksin bahan baku pada awal tahun 2021 (Transparency International Indonesia, 2022).
Berdasarkan data, jenis vaksin CoronaVac mendominasi pengadaan. Namun, uji klinis vaksin ketiga belum dilakukan sehingga efektivitasnya pun masih diragukan. Dalam konteks ini, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengambil kebijakan secara cepat. Sementara itu, langkah cepat dari Pemerintah Indonesia berpotensi pada pembelian vaksin dengan tingkat efektivitas yang rendah jika dibanding dengan vaksin merek lainnya. Kebijakan tersebut berpotensi menyebabkan kerugian keuangan negara. Berpijak pada kebijakan Pemerintah Indonesia dalam proses pengadaan vaksin COVID-19 tersebut, KPK memberikan rekomendasi perbaikan dengan mengusulkan pembelian vaksin tidak dalam jumlah besar sebelum masa uji klinis ketiga selesai dilakukan (Media Indonesia, 2020). Namun, Pemerintah Indonesia mengambil langkah lain dengan tidak mengakomodir rekomendasi perbaikan yang telah disampaikan oleh KPK. Dimuat oleh Lokataru Foundation, peneliti menemukan bahwa efikasi sinovac menurun menjadi sebesar 50,3 persen setelah uji klinis ketiga yang dilakukan di Brazil (Lokataru, 2021).
Anggaran Besar namun Minim Transparansi Informasi
Pada tahun 2021, pemerintah telah mengalokasikan anggaran vaksinasi COVID-19 sebesar Rp 57,84 triliun. Dari total Anggaran tersebut, sebesar Rp 47,61 triliun diperuntukkan untuk pengadaan vaksin COVID-19. Sedangkan sisanya, anggaran sebesar Rp6,80 triliun digunakan untuk pelaksanaan program vaksinasi (Transparency International Indonesia, 2022). Pada tahun 2022, pemerintah kembali mencadangan alokasi anggaran belanja vaksin sebesar Rp 36 triliun (CNN Indonesia, 2022).
Namun, besarnya anggaran ini tidak diikuti dengan keterbukaan informasi kepada masyarakat sipil untuk dapat melakukan pengawasan terkait dengan pengadaan vaksin COVID-19 dan alat logistik pendukungnya. Hingga saat ini, informasi mengenai kontrak pengadaan, harga pembelian dan harga satuan masih belum dibuka ke publik, sehingga berpotensi terjadinya kemahalan harga dalam pengadaan vaksin COVID-19 akibat bargaining power Pemerintah Indonesia yang rendah dengan penyedia vaksin yang jumlahnya terbatas. Sebagai contoh yang terjadi di Afrika Selatan, dimana pemerintah membeli vaksin AZ dengan harga 2 kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan harga pembelian vaksin oleh pemerintah India (Transparency International, 2021).
Merespon dorongan masyarakat sipil, Kementerian Kesehatan memang telah membuka kanal proses pengadaan darurat di laman LPSE, namun sayangnya hingga saat ini (Maret 2023) hanya terdapat satu informasi pengadaan yang dicatat. Akibatnya, warga sipil tidak dapat melakukan pemantauan secara berkala untuk mengidentifikasi risiko penyimpangan dalam konteks pengadaan, seperti peruntukan pengadaan dan juga harga yang terakhir yang dibeli pada saat kasus COVID-19 sudah menurun.
Minimnya Transparansi dalam Program Vaksinasi COVID-19
Peluang adanya korupsi juga terbuka lebar pada proses pengadaan vaksin yang tidak diikuti dengan tata kelola pendataan penerima vaksin yang transparan dan adil. Hal ini berpotensi mengakibatkan jumlah kebutuhan vaksin tidak terpotret secara konkret di lapangan dan pengadaan tidak sesuai dengan kebutuhan. Menurut catatan LaporCOVID-19 misalnya, banyak warga yang tidak mengetahui cara mendapatkan vaksin dosis satu atau kedua, sehingga harus melakukan pendaftaran ulang berkali-kali akibat proses pendataan yang tidak memadai (LaporCOVID-19, 2021). Hal ini berarti bahwa, proses pendataan top-down yang direncanakan di dalam Keputusan Menteri Kesehatan 4638/2021 tentang pelaksanaan vaksinasi tidak berjalan. Selain itu, proses pengadaan tanpa pendataan yang akuntabel ini dapat berujung pada vaksin yang terbuang secara percuma atau kadaluarsa.
Beberapa contoh kasusnya adalah sebagai berikut. Pertama, di Aceh Tenggara, sebanyak 1.921 dosis vaksin Sinovac terbuang karena rusak dan tidak dapat dipakai kembali. Rusaknya vaksin diakibatkan oleh infrastruktur penyimpanan yang tidak memadai dan jarak jauh tempuh untuk sampai ke lokasi (Kompas.com, 2021). Kedua, di Sumatera Selatan, ribuan vaksin terbuang dari sekitar 7 Kabupaten/Kota di Sumsel untuk vaksin Moderna dan Pfizer. Ketersediaan vaksin tidak sesuai dengan target penerima sehingga vaksin yang terbuka harus dibuang karena sudah rusak (AntaraNews.com, 2021).
Berkaca pada kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dengan mendatangkan vaksin COVID-19 dengan jumlah besar tanpa dibarengi dengan tata kelola pendataan dan infrastruktur yang memadai, berpotensi menimbulkan pemborosan. Dengan kata lain, uang publik yang digunakan untuk pengadaan vaksin menjadi sia-sia. Di sisi lain, terdapat dorongan masyarakat sipil untuk membuka transparansi informasi mengenai program vaksin COVID-19, mulai dari distribusi vaksin hingga proses penerimaannya (Indonesia Corruption Watch, 2021).
Tentunya, ketersediaan dashboard yang dapat diakses oleh publik dengan mudah dan menjadi sumber informasi yang aktual menjadi hal yang sangat penting. Harapannya, dashboard tersebut ditujukan tidak hanya untuk memenuhi fungsi monitoring oleh publik, namun juga sebagai rujukan informasi mengenai fasilitas kesehatan yang masih memiliki ketersediaan vaksin. Penting juga untuk fungsi dashboard ini terus diaktifkan oleh pemerintah walau pandemi telah usai agar tata laksana penerimaan vaksin atau barang kesehatan lainnya berjalan dengan transparan dan akuntabel, sehingga pada akhirnya, program kesehatan dapat selalu dilakukan secara tepat sasaran dan kerugian uang negara dapat dihindari.
Penulis,
Amanda Tan,
Mahasiswa S2 Public Policy and Management, Monash University Indonesia & Relawan LaporCOVID-19
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi ICW