Rezim Jokowi: Riwayat Kebebasan dan Kritik Publik

Gambar: instagram.com/sahabaticw
Gambar: instagram.com/sahabaticw

Pasca terpilih sebagai presiden pada pemilu 2014, wajah Jokowi muncul di sampul majalah Time dengan tajuk utama: “A New Hope” – Harapan Baru. Banyak orang di luar negeri menyejajarkan Jokowi dengan Barack Obama, presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat. Obama populer karena berasal dari kelompok minoritas. Sedangkan Jokowi populer karena terkesan datang dari kelompok bawah (Portal-Islam.id: 2021). Jokowi dipersepsi sebagai sosok populis. Dia dekat dengan wong cilik dan pembawaan dirinya yang sederhana adalah antitesa dari mayoritas pemimpin dan pejabat publik yang sangat elitis. Maka, tidak heran jika majalah Time memasang tajuk “A New Hope” karena portofolio Jokowi yang membangkitkan optimisme akan hadirnya sebuah pemerintahan yang pro rakyat dan berkomitmen penuh pada demokrasi. Namun, optimisme yang menyeruak di awal kepemimpinan Jokowi ternyata tidak lebih dari sekadar utopia. Jokowi, di penghujung kekuasaannya justeru secara vulgar dan terang – terangan melakukan pengangkangan terhadap nilai – nilai demokrasi. Jokowi ikut menjustifikasi tesis Levitsky dan Ziblat bahwa matinya demokrasi bukan lagi di tangan orang – orang bersenjata, melainkan di tangan pemimpin terpilih  - presiden atau perdana menteri yang membajak proses yang membawa mereka ke kekuasaan.

Rezim Jokowi: Menekan Kebebasan-Mematikan Kritik

Kita tidak pernah bisa menggandeng demokrasi, tanpa mengikutsertakan kebebasan bersamanya. Kebebasan merupakan salah satu prinsip fundamen dan substantif dalam demokrasi. Dengan kebebasan, publik dimungkinkan untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, termasuk dalam perumusan kebijakan publik dan pengawasan terhadap kekuasaan lewat kritik publik. Kritik adalah sebuah keniscayaan dalam demokrasi. Kritik bertujuan untuk – menyitir Popper - mengurangi terjadinya pemerintahan yang salah. Demokrasi tanpa kebebasan dan kritik publik adalah kebohongan dan jalan menuju bencana, sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru. Di bawah rezim otoriter Orde Baru (1966-1998) kebebasan berekspresi di arena politik sangat dibatasi. Aktivis politik dan pemimpin oposisi ditangkap dan dihilangkan. Negara menempatkan kontrol ketat pada media serta pembatasan hukum pada gerakan oposisi atau non-konformis. Kekuasaan terpusat pada Soeharto dan berjalan tanpa kontrol. Akibatnya, korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Hukum dipakai sebagai alat kekuasaan semata. Kebijakan -kebijakan publik dibuat untuk melayani kepentingan penguasa dan kroni – kroninya. Sementara rakyat diintimidasi dan direpresi supaya “diam” di hadapan pentas kebobrokan tersebut.

Rezim otoritarian Soeharto yang membentang panjang selama 32 tahun akhirnya runtuh di ujung abad ke-20, tepatnya pada 12 Mei 1998. Indonesia pun memasuki babak baru, era Reformasi. Transisi demokrasi ini membuka kran kebebasan yang mampet selama 32 tahun kekuasaan Soeharto. Namun, pada dekade demokrasi kedua telah terjadi pengikisan kebebasan baru, yang dikikis secara perlahan – lahan dalam berbagai bentuk.Naasnya, pengikisan ruang kebebasan dan pelemahan terhadap demokrasi tersebut justeru dibidani oleh seorang pemimpin yang lahir dari rahim reformasi, Joko Widodo. Rezim Jokowi justeru berusaha mereproduksi Orde Baru jilid II dengan cara mencekik ruang kebebasan  dan membasmi kritik publik terhadap jalannya roda kekuasaan. Maka, tak heran jika Edward Aspinall dan Marcus Mietzner menilai demokrasi Indonesia di era Jokowi mengalami kemunduran dan berada di titik terendah sejak era reformasi. Klaim Aspinall dan Mietzner ini didukung oleh data dari Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam rilis terbarunya, EIU mencatat skor Indeks Demokrasi 2023 Indonesia sebesar 6,53. Angka tersebut turun dari 2022 yang kala itu sebesar 6,71.

Penurunan skor itu sejalan dengan penurunan peringkat Indonesia. Jika tahun 2022 Indonesia menempati posisi 54, tahun 2023 Indonesia menempati posisi 56 dari 167 negara. Dengan skor dan peringkat tersebut, EIU masih mengelompokkan Indonesia sebagai negara flawed democracy atau demokrasi cacat. Dari kelima indikator penyusun Indeks Demokrasi, - pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, kebebasan sipil, dan budaya politik - penurunan yang dialami Indonesia terjadi pada kebebasan sipil. Pada tahun 2022, EIU mencatat skor indikator kebebasan sipil Indonesia sebesar 6,18, sementara pada tahun 2023 turun ke angka 5,29.

Strategi pemberangusan ruang kebebasan dan kritik publik yang dikerjakan oleh Jokowi tentu saja berbeda dengan Soeharto. Jokowi mungkin tidak menghilangkan aktivis atau tokoh oposisi, tapi Jokowi juga memakai instrumen hukum dan non hukum untuk menyempitkan ruang kebebasan dan mematikan kritik publik. Salah satu produk hukum yang dipakai oleh rezim Jokowi untuk membungkam kritik dan perbedaan pendapat adalah Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Undang – Undang ini, yang pada awalnya dimaksudkan untuk memerangi kejahatan siber, telah digunakan untuk menangkap dan memenjarakan jurnalis, aktivis, dan warga negara biasa yang mengkritik pemerintah. Amnesty International Indonesia mencatat ada 316 kasus penyalahgunaan UU ITE sepanjang Januari 2019 – Mei 2022. Rumusan pasal – pasal karet memungkinkan untuk digunakan sebagai justifikasi dalam menekan kebebasan berekspresi dan memberangus perbedaan pendapat. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak warga atas kebebasan berbicara dan kebebasan pers.

Di samping memakai perangkat hukum, Jokowi juga mengadopsi cara – cara non-hukum untuk mengamputasi kebebasan dan kritik publik yakni lewat pemberangusan oposisi politik dan depolitisasi gerakan kritis. Rezim Jokowi, terutama pada periode kedua, nyaris tanpa kontrol dari oposisi.  Jokowi dengan kemampuannya dalam melobi para elite politik, berhasil membangun koalisi gendut yang membuat prinsip check and balance hampir tidak berjalan sama sekali. Bahkan, Prabowo Subianto yang menjadi lawan Jokowi dalam dua kali pertarungan pilpres dan diharapkan menjadi oposisi yang konsisten, pada akhirnya luluh juga dengan bujuk rayu Jokowi untuk bergabung dalam pemerintahannya. Matinya oposisi politik di era Jokowi terekam jelas lewat mulusnya pembahasan dan pengesahan sejumlah produk undang – undang yang kontroversial dan mendapat penolakan dan kecaman dari publik, seperti UU Cipta Kerja dan Revisi UU KPK. Sementara itu, depolitisasi gerakan atau suara kritis ditempuh Jokowi dengan cara mengakomodasi akademisi ke dalam pemerintahan. Banyak akademisi yang dikasih jabatan oleh Jokowi. Konsekuensinya, suara kritis mereka menjadi padam. Para akademisi tersebut menjelma jadi operator kekuasaan yang sibuk membela dan membenarkan setiap  langkah dan gerakan kekuasaan atau dalam bahasa Gramsci disebut intelektual tradisional, mereka yang bertugas sebagai kepanjangan tangan dari kekuasaan untuk mengarahkan publik agar menyepakati ide dan kehendak kekuasaan.

Demokrasi sebagai Deliberasi Publik

            Penyempitan ruang kebebasan dan kritik publik oleh rezim Jokowi adalah bagian dari upaya absolutisasi kekuasaan. Jokowi ingin mengendalikan kekuasaan seorang diri. Ini tentu tidak beda dengan yang dilakukan oleh Soeharto semasa Orde Baru dan tentu saja berekses buruk bagi demokrasi.  Pemberangusan kebebasan dan pembredelan kritik publik adalah langkah awal menuju otoritarianisme. Meskipun rezim Jokowi pada akhirnya memang tidak berkuasa absolut seperti Soeharto yang memonopoli kekuasaan selama 32 tahun, namun, bencana demokrasi yang terjadi pada masa Jokowi ini patut menjadi perhatian serius.

Hemat saya, berhadapan dengan berbagai langkah kekuasaan untuk mengebiri kebebasan dan mengamputasi kritik, publik tidak boleh tinggal diam. Justeru dalam situasi tersebut, suara kritis publik harus terdengar lebih kencang. Publik mesti berani tampil sebagai advocatus diaboli yang dengan lantang menggonggong kesemena -menaan kekuasaan. Rakyat yang diam di hadapan represi ruang kebebasan sedang bersepakat dengan kekuasaan untuk mewujudkan rezim otoritarian. Namun, sebenarnya tanpa sadar rakyat juga berkontribusi bagi lahirnya rezim Jokowi yang agak berwatak otoriter lewat pengkultusan terhadap sosok Jokowi.Jokowi dicitrakan sebagai orang baik dan tidak pernah salah. Pengkultusan ini membuat rakyat sulit menilai Jokowi secara objektif dan sukar mengajukan kritik terhadapnya. Situasi ini dimanfaatkan dengan sangat  baik oleh Jokowi untuk melaksanakan berbagai ambisi terselubungnya, termasuk memusatkan kekuasaan di tangannya dengan cara membatasi kebebasan sipil dan memadamkan kritik publik. Jokowi kemudian mendefinisikan dirinya sebagai pemilik tunggal kebenaran. Sementara dalam demokrasi, klaim pemegang kebenaran tunggal adalah sebuah bencana. Itu hanya berlaku dalam rezim otoriter. Karena itu, penting untuk memperkuat demokrasi sebagai sebuah proses deliberasi publik atau dalam bahasa Habermas disebut demokrasi deliberatif.

.

Penulis,

Smith Sahputa

Mahasiswa Filsafat di IFTK Ledalero, NTT

 

 

*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi 2024

 

 

 

 

             

.

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan