Penguatan Auditor: Pengawasan Berbasis Data di Indonesia Untuk Mencegah Potensi Korupsi Pada Sektor Pengadaan Publik
Pengadaan barang dan jasa merupakan sektor yang paling rentan terhadap korupsi di Indonesia. Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 1.586 kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa pada 2016 hingga 2022, dengan total kerugian negara mencapai Rp19,5 triliun.
Pada tahun 2022, Open Contracting Partnership (OCP) mempublikasi sebuah laporan tentang bagaimana pemerintah di Indonesia bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk mengurangi korupsi dengan meningkatkan pengawasan yang tepat waktu terhadap sistem pengadaan barang dan jasa, yang menjangkau lebih dari 600 lembaga pemerintah di berbagai daerah di Indonesia.
Kolaborasi ini mengacu pada platform pemantauan risiko korupsi, Opentender.net, yang dikembangkan oleh ICW dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Sebagai situs yang tersedia dan dapat diakses oleh publik, Opentender telah menjadi platform yang berharga untuk memperkuat warga dalam memantau pengadaan barang dan jasa dengan memanfaatkan data resmi LKPP untuk mendeteksi potensi penyimpangan secara real time. Opentender telah menjadi aplikasi yang inovatif dalam membantu auditor pemerintah terutama dalam memprioritaskan pengadaan mana yang harus diselidiki, mengumpulkan bukti untuk investigasi, dan menindaklanjuti laporan masyarakat terhadap proyek yang mencurigakan.
Sejak laporan terakhir kami, ICW bersama mitra lokal di lapangan, yaitu Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (YASMIB), Bengkel Advokasi Pengembangan dan Pemberdayaan Kampung (Bengkel APPeK), dan Pusat Telaah dan Informasi Regional Semarang (PATTIROS), dan para pembaharu pemerintahan telah bekerja untuk memprofesionalkan audit melalui kemitraan yang inovatif dengan pihak berwenang di dua kota dan satu kabupaten di pulau-pulau kecil, dan juga dengan para pembuat kebijakan di tingkat nasional.
Setelah dua tahun kampanye yang dilakukan oleh ICW untuk melatih APIP di seluruh Indonesia dalam melakukan audit berbasis data, pemerintah Kabupaten Maros dan Kota Kupang secara resmi berkomitmen untuk bekerja sama secara intensif dengan ICW untuk melembagakan pendekatan kontrak terbuka dalam audit pengadaan barang dan jasa pada tahun 2022. Kota Semarang juga melakukan hal serupa pada tahun 2023.
Pemantauan berbasis data kini mulai diterapkan dalam proses audit di daerah-daerah tersebut sehingga proses audit menjadi 'business as usual', dengan adanya panduan untuk memastikan audit dilakukan secara objektif dan dengan standar yang tinggi.
"Setelah bekerja sama dengan ICW, kami mendapatkan kejelasan mengenai tugas dan tanggung jawab para pegawai di inspektorat daerah, terutama dalam menangani pengaduan masyarakat," ujar Henry Sede, Sekretaris Inspektorat Kota Kupang.
Di negara yang sebagian besar audit pengadaan barang dan jasa masih bersifat ad-hoc (jika ada), kemitraan ini merupakan eksperimen yang tidak hanya bertujuan untuk memberikan manfaat bagi pihak berwenang yang terlibat, tetapi juga untuk mengungkap praktik-praktik terbaik guna menginformasikan adopsi audit yang terbuka dan berbasis data dalam skala yang lebih besar.
"OMS sering berkolaborasi dengan dinas teknis, tetapi sekarang ini adalah kolaborasi dengan pengawas internal pemerintah untuk memperkuat sistem mereka. Ini adalah kali pertama terjadi di Indonesia," ujar Kes Tuturoong dari ICW.
Upaya mereka berfokus pada penggunaan pendekatan kontrak terbuka untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penanganan pengaduan masyarakat (dilakukan saat masyarakat melaporkan hasil pemantauan).
Penanganan pengaduan masyarakat
Kemajuan paling signifikan telah dicapai dalam penanganan pengaduan masyarakat, yang dipicu oleh pengaduan masyarakat. Pada tahun 2021, ICW bekerja sama dengan LKPP untuk memetakan proses penanganan pengaduan masyarakat yang kompleks dan menentukan bagaimana proses tersebut dapat diperbaiki.
Pada saat itu, hanya sedikit pengaduan yang disampaikan melalui kanal pengaduan pengadaan barang dan jasa resmi milik LKPP bernama e-pengaduan. Hal tersebut akibat dari tingginya beban pembuktian dari sisi warga agar dapat ditindaklanjuti. Penundaan tidak dapat dihindari karena sistem dan proses untuk memeriksa, menyelidiki, dan menanggapi pengaduan masyarakat terpecah-pecah, yang melibatkan sekitar 600 lembaga pemerintah di tingkat lokal dan nasional. Selain itu, juga terdapat keterbatasan mengenai hasil audit. Semua faktor ini akhirnya melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengaduan.
ICW bekerja sama dengan kelompok warga dan mitra lokal di 16 provinsi menyusun laporan aduan pengadaan barang dan jasa yang memiliki potensi risiko tinggi akan terjadinya kecurangan. Dengan memanfaatkan pengalaman mereka yang luas dalam memantau pengadaan barang dan jasa selama lebih dari satu dekade, ICW membangun kapasitas lokal untuk menggunakan data yang tersedia di Opentender untuk menginvestigasi kontrak-kontrak pemerintah dan mengidentifikasi masalah-masalah yang ada, serta melaporkan temuan-temuannya melalui saluran e-pengaduan LKPP. Mereka mengukur beberapa perbaikan dalam proses penanganan pengaduan masyarakat. Data terbaru yang tersedia menunjukkan:
- Peningkatan kualitas pengaduan: Tingkat penolakan aduan oleh LKPP menurun dari 78% di tahun 2021 menjadi 39% di tahun 2022
- Meningkatnya jumlah pengaduan yang diselesaikan oleh APIP: naik dari 53% di tahun 2021 menjadi 63% di tahun 2022
- Meningkatnya kecepatan dalam menyelesaikan pengaduan: Rata-rata waktu penyelesaian pengaduan untuk APIP turun dari 338 hari di tahun 2021 menjadi 262 hari di tahun 2022 (76 hari lebih cepat)
Namun, melaporkan pengadaan yang mencurigakan hanyalah setengah dari perjuangan. APIP yang menerima pengaduan juga perlu memahami apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, ICW bekerja sama dengan lembaga pemerintah menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengaduan,
Berdasarkan SOP tersebut petugas LKPP yang menerima aduan memahami jika harus melibatkan auditor berarti masalahnya bersifat administratif. Sedangkan jika masalahnya bersifat pidana maka akan melibatkan penegak hukum. Pedoman ini mencakup rincian seperti kerangka waktu yang direkomendasikan, siapa saja yang bertanggung jawab atas tugas-tugas tertentu, dan proses menyeluruh untuk menyelesaikan pengaduan.
"Kami ingin meminta pertanggungjawaban pemerintah. Namun sebelum kami dapat melakukan hal itu, kami perlu membantu mereka memahami apa saja aturan dan prosedurnya. SOP ini tidak hanya akan menjadi panduan bagi para auditor untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, namun juga bagi warga negara untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah," ujar Wana Alamsyah dari ICW.
Untuk meningkatkan koordinasi antar lembaga, Kelompok Masyarakat Sipil berhasil mengadvokasi agar para auditor diberi akses langsung ke database e-pengaduan LKPP untuk meninjau atau menanggapi pengaduan untuk pertama kalinya. Hal ini memberikan transparansi bagi semua pihak yang terlibat dalam mengelola proses dengan cara yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya ketika pengaduan dikirimkan secara manual antar instansi melalui email. Per April 2024, 120 kantor inspektorat di seluruh Indonesia telah memiliki akses ke sistem ini, meningkat dari 35 kantor pada tahun 2023.
"Kami membantu auditor internal dalam menguji sistem pengaduan dan memungkinkan mereka untuk menindaklanjuti pengaduan yang masuk," ujar juru bicara Direktorat Penanganan Permasalahan Hukum LKPP.
Di Maros dan Kupang, 34 warga telah dilatih untuk menggunakan Opentender untuk mengumpulkan bukti dan menyampaikan pengaduan melalui e-pengaduan.
Pada tahun 2023, mereka melaporkan 4 (empat) kasus senilai sekitar Rp13 miliar untuk diselidiki lebih lanjut oleh pihak berwenang. Proyek tersebut dipilih berdasarkan peringkat dalam 10 besar kontrak paling berisiko di wilayah tersebut, menurut Opentender, dan bukti tambahan yang dikumpulkan dari sumber-sumber terbuka dan penelitian lapangan. Tiga dari kasus-kasus tersebut terkait dengan pekerjaan, perbaikan dan peningkatan jalan. Pada kasus pertama, pemasok yang menang memiliki rekam jejak yang buruk pada kontrak sebelumnya di wilayah lain. Pada kasus kedua, jalan yang akan diperbaiki baru dibangun pada tahun 2016 dan masih dalam kondisi baik. Kasus ketiga, material yang digunakan berkualitas buruk. Kasus terakhir terkait dengan serangkaian penyimpangan untuk merenovasi rumah.
"Saya senang dengan kualitas laporan yang dibuat oleh masyarakat sipil tahun lalu karena laporan tersebut diteruskan oleh LKPP ke APIP. Ini adalah perubahan besar dari masa lalu, ketika ada sejumlah laporan yang tidak dapat diteruskan," kata Wana Alamsyah dari ICW.
Nantinya, proses pelaporan akan disederhanakan sehingga pengaduan masyarakat yang masuk melalui Opentender dapat terhubung secara otomatis ke sistem e-pengaduan milik LKPP. Integrasi ini - yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2024 setelah peningkatan sistem e-pengaduan selesai dilakukan oleh pemerintah - akan memungkinkan ICW untuk memantau pengaduan yang disampaikan dan diselesaikan oleh pemerintah Indonesia, dan pada gilirannya, menilai kinerja inspektorat dalam menanggapi pengaduan masyarakat.
Artikel asli dapat dibaca di sini