Pemilu Koruptif Biangnya Korupsi
Carut-marut praktik politik uang dalam pemilu, tampaknya sudah mewabah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dan telah mencederai hakikat demokrasi di Indonesia. Politik uang sebagai the mother of corruption, benar-benar telah menjadi “hama penyakit” masyarakat yang menjangkiti bangsa Indonesia. Tradisi buruk praktik politik uang, semakin menggila pada pemilu: pemilihan langsung eksekutif, legislatif dan pilkades. Padahal keberadaan politik uang identik dengan pemilu koruptif, yang menjadikan biangya korupsi di segala sektor kehidupan dalam mengelola keuangan negara.
Survei LIPI pemilu tahun 2019 dan demokrasi di Indonesia mengungkapkan sebanyak 46,7 persen menganggap politik uang sebagai hal yang dapat dimaklumi. (Humas LIPI. 2019) Bahkan jauh sebelumnya pada tahun 2013 hasil survei persepsi publik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis data sebesar 71,72 persen masyarakat menganggap bahwa politik uang sebagai kelumrahan. Begitu juga dengan penelitian Kurniawan dan Krisbintoro tahun 2012 dilaksanakan di beberapa kabupaten dan kota Provinsi Lampung, mengungkapkan sebesar 25 persen pemilih akan mengubah pilihannya dalam pemilu jika diberikan imbalan uang atau barang. (Kurniawan, dan Hermawan. 2019).
Pendidikan Politik Tak Hentikan Politik Uang
Pemilu koruptif terjadi karena ada transaksi politik uang. Ada asumsi yang banyak diigunkan sebagai argumentasi masyarakat bahwa pendidikan politik, akan dapat mengurangi terjadiya praktik politik uang. Dari sudut pandang pencerdasan pengetahuan pemilu dan demokrasi, memang benar secara signifikan bahwa program pendidikan pemilu dapat membuat masyarakat pemilih menjadi pintar, cerdas dan memahami apa yang diajarkan. Namun tidak serta merta dapat menghentikan praktik politik uang. Ranah pengetahuan (cognitive) sering tidak sejalan, tidak berkorelasi, dan tidak linear dengan ranah sikap (apektif) dan perilaku (psikomotor). Banyak orang cerdas, tetapi korupsi melakukan politik uang. Ini artinya bahwa program pendidikan politik hasil capaiannya belum maksimal, dan tidak efektif untuk mencegah politik uang, bila tidak ada substansi dan kompetensi lain yang disinergikan.
Penelitian penulis tahun 2022 tentang transformasi pendidikan politik dalam mencegah politik uang pada pemilihan pemimpin ekseskutif, legislatif dan pemilihan kepala desa, mengungkapkan bahwa capaian domain pengetahuan dalam pendidikan politik dapat dengan mudah difahami oleh masyarakat pemilih. Namun terkait domain sikap dan domain perilaku gagal mencegah politik uang, karena ada faktor lain seperti penegakan hukum lemah, dan tidak ada kompetensi sikap dan perilaku yang diajarakan pada saat sosialisasi pendidikan politik. (Ridhuan. 2023).
Terkait dengan kegagalan program pendidikan politik pemilu dalam mencegah politik uang, maka sekurangnya ada tiga cara yang dihipotesis dapat mengurangi tejadinya praktik politik uang. Pertama kolaborasi dan sinergi pelaksanaan pendidikan politik dan penegakan hukum. Kedua selain transformasi ranah pengetahuan pada program pendidikan politik, harus juga diberikan kompetensi mencakup ranah sikap dan perilaku. Ketiga bila program pendidikan politik tetap seperti yang sudah ada, maka penegakan hukum harus tegas.
Jangan Meracuni Anak Muda
Anak muda, sebagian besar adalah pemilih pemula pemilu nota bene sangat rawan terkontaminasi oleh politik uang, karena mereka berada dalam lingkungan masyarakat yang sudah terbiasa dengan perilaku buruk politik uang pada setiap pemilu. Mereka dipastikan sudah mengetahui dan sering mendengar ada orang-orang yang menerima uang atau barang sebagai sogok politik. Perilaku buruk yang sudah dianggap wajar ini menganggap politik uang sebagai hal yang dapat dimaklumi, lumrah dan akan dapat mengubah pilihannya dalam pemilu jika diberikan imbalan uang atau barang.
Ketika praktek politik uang terjadi, tidak menutup kemungkinan diketahui para pemilih pemula, pemuda. Mereka mengetahui bahwa pemberian uang atau barang sebagai sogok politik yang diberikan oleh tim sukses adalah agar para penerima sogok politik : uang atau barang tersebut memilih calon yang mereka arahkan baik dalam pemilu eksekutif, legislatif maupun kepala desa. Pada hal perilaku politik uang sebenarnya merupakan perbuatan curang, culas, haram dan kejahatan dalam Pemilihan Umum (Pemilu), yang hakikatnya sama dengan korupsi. (Satria. 2019).
Modus pendistribusian uang atau barang sogok politik dilakukan oleh tim sukses dengan berbagai cara. Satu diantaranya, dengan cara serangan fajar, dimana tim sukses memberikan uang atau barang kepada pemilih yang didistribusikan pada waktu fajar, di kala subuh atau sebelum mata hari terbit. Modus ini dilakukan agar bisa mengelabui para pengswas : aparat penegak hukum polisi, komisioner Pawaslu, atau tim sukses dari pihak lawan politik yang mengingtai dan mengawasi kalau ada aktivitas mencurigakan, yang diduga melakukan pemberian uang atau barang kepada calon pemilih. Pada saat pendistribusian uang atau barang tersebut yang diberikan kepada masyarakat pemilih yaitu kepada keluarga-keluarga tertentu, dimana dapat dipastikan bahwa ada diantara keluarga-kelauarga terebut memiliki anak-anak remaja, pemuda yang menyaksikan dan atau mendengar ceritanya.
Cerita tersebut direkam di otak para pemuda, sehingga secara langsung mendapatkan pengetahuan “jelak” dari lingkunganya. Pembelajaran “jelek” yang diterima dari lingkungan akan membangun persepsi dikalangan pemuda, sehingga menganggap bahwa pemberian uang atau barang sogok politik adalah sebagai hal biasa, tidak melanggar norma dan mungkin lebih parah lagi menganggap hal tersebut sebagai perbuatan tidak berdosa. Perilaku buruk seperti ini akibat sikap egois, rakus dan ambisi kandidat, dan tim sukses menghalalkan segala cara untuk merebut kemenangan. Jelas membangun citra demokrasi buruk, menyebarkan wabah korupsi dan menularkan kepada pemuda, yang seharusnya diberikan contoh demokrasi yang benar, pemilu yang juju, adil dan taat aturan hukum. Bukan perilaku kotor politik uang,dan pemilu koruptif.
Sikap Ambigu pada Pemilu Koruptif
Bisakah pemilu mendatang tidak koruptif? Para pemilih pemula, pemuda yang secara tidak disadari telah mendapatkan pembelajaran buruk dari lingkungan tentang politik uang pemilu, nantinya pada saat pemilu tiba bisa jadi akan meniru perilaku politik uang. Faktor lain dalam rangka pemenuhan kebutuhan jangka pendek, tak jarang para pemilih mau menerima uang atau barang sebagai sogok politik meskipun harus dibarter dengan suara (vote) yaitu memilih kandidat tertentu. Kondisi seperti ini membuat masyarakat menjadi ambigu dalam menentukan sikap, yang pada akhirnya membuat politik uang sulit untuk dicegah, apa lagi dihilangkan di masyarakat.
Sikap ambigu masyarakat pemilih, tidak terkecuali terjangkit kepada para pemilih pemula, pemuda dan menjadi masalah serius dalam membangun demokrasi dalam pemilu yang demokratis. Permasalahan tersebut membuat para pemilih, khususnya pemilih pemula pemuda menjadi sangat dilematis. Para pemuda yang masih idealis itu, secara moral masih sangat polos, masih jernih dalam berpikir dan masih taat azas dalam bertindak, tetapi tidak akan banyak dapat berbuat untuk mempertahankan idealismenya ketika dihadapkan dengan kondisi empirik, yaitu adanya politik uang dalam pemilu yang koruptif. Idealisme pemuda harus dirawat dengan moralitas yang tinggi agar tidak terkontaminasi oleh politik uang.***
Penulis
Syamsu Ridhuan
Dosen Universitas Esa Unggul
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi ICW