Laporan Akhir Tahun ICW 2023

Bertumbuh dalam Kolaborasi

DEMOKRASI DIKORUPSI

Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Keputusan Nomor 360 Tahun 2024 menetapkan pasangan calon 02 yaitu Prabowo-Gibran memperoleh suara sebanyak 96.214.691 suara (Sembilan Puluh enam Juta Dua Ratus Empat Belas Enam ratus Sembilan Puluh Satu). Jumlah ini berarti menempatkan Pasangan 02 diurutan teratas, diikuti Pasangan 01 Anis Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Pasangan 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Tak butuh menunggu lama Pasangan 01 dan 03 pun mengajukan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dimana salah satu tuntutannya adalah pemilu ulang dengan mendiskualifikasi pasangan 02. Memang sesuai kewenangan yang tertuang dalam UU 24 tahun 2003, MK berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemungutan suara dalam pemilu. Putusan MK diharapkan menjadi jawaban atas sengkarut Pilpres 2024 yang penuh kecurangan dan rekayasa penguasa. 

Pemilu sebagai instrumen prosedural demokrasi yang seharusnya dilalui dengan sukacita ternyata dikotori oleh berbagai penyimpangan baik dari sisi penyelenggara maupun pemerintah. Pada sisi penyelenggara diwarnai oleh mandulnya Bawaslu serta KPU yang terkesan berpihak meloloskan Cawapres Pasangan 02 tanpa merevisi PKPU pasca Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Efeknya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kembali menjatuhkan sanksi kepada Ketua KPU, yang Ironisnya meski sudah berkali-kali terkena sanksi etik peringatan keras tetap enggan mengundurkan diri. 

Sedangkan pada sisi pemerintah direpresentasikan langsung oleh Jokowi yang menyatakan bahwa Presiden boleh berkampanye serta menggelontorkan berbagai bentuk bansos di masa kampanye. Disisi lain terjadi mobilisasi aparatur hingga tingkat desa bahkan indikasi berbagai bentuk intimidasi seperti ancaman kriminalisasi misalnya kepada Kepala Desa.

Aroma pengondisian kekuasaan untuk memenangkan salah satu Paslon memang terlihat jelas terutama sejak MK menerbitkan putusan No.90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan ini sangat kontroversial karena telah menciderai makna demokrasi akibat memberikan karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak Presiden Jokowi melenggang menjadi kandidat Wakil Presiden.

Kuatnya aroma benturan kepentingan dalam putusan MK terkonfirmasi setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK karena terbukti melanggar etik dan tidak mengundurkan diri ketika melakukan pemeriksaan serta pengambilan putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023. Anwar Usman dinyatakan melanggar Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

Sesungguhnya upaya melanggengkan kekuasaan lewat tangan MK hanya puncak gunung es. Jauh sebelumnya juga pernah bergulir wacana tiga periode dan penundaan pemilu yang dihembuskan Menteri-menteri Jokowi. bahkan putusan PN Jakarta Pusat soal sengketa verifikasi partai politik juga memerintahkan KPU menunda tahapan pemilu 2024.  

Berpijak dari situasi saat ini, ternyata lima kali pesta demokrasi yang berlangsung sejak awal reformasi tak kunjung membuat demokrasi di Indonesia beranjak menuju demokrasi substansial. Sebaliknya demokrasi telah dikorupsi karena dibajak oleh oligarki melalui politik dinasti, ruang kebebasan sipil dibatasi dan kritik dikriminalisasi. Pemilu akhirnya membuka jalan para politisi untuk semakin menancapkan cakarnya dalam mengekspolitasi sumber daya bagi kepentingan status quo kekuasaan.

Merujuk dari data Economist Intelligence (EIU) tahun 2022, indeks demokrasi Indonesia sebesar 6,71 dan masuk dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracies). Menyempitnya ruang kebebasan sipil yang paling berkontribusi rendahnya indeks demokrasi tersebut. Situasi pemberantasan korupsi juga setali tiga uang karena terus merosot di periode kedua Presiden Jokowi. 

Indeks Persepsi Korupsi tahun 2022 yang dikeluarkan Transparansi Internasional menunjukan penurunan yang menukik tajam dari 38 menujun 34, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kredibilitasnya tinggi belakangan kehilangan jatidiri setelah pimpinannya Lili Pintauli mengundurkan diri karena dugaan gratifikasi. Puncaknya Firli Bahuri ditetapkan tersangka korupsi kasus Kementerian Pertanian.

Ditengah kondisi regresi demokrasi, MK diharapkan dapat mengembalikan marwahnya dengan memutus sengketa pemilu tidak hanya melihat hasil akhir tapi juga proses yang penuh rekayasa dan ketidakadilan. Semoga putusan MK tidak menjadi episode penutup cerita demokrasi di era reformasi, demokrasi yang dikorupsi oleh kekuasaan untuk melanggengkan politik dinasti.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan