Yusril Siap Penuhi Panggilan;Sisminbakum Tak Gunakan Uang Negara
Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra siap untuk memenuhi panggilan Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum atau Sisminbakum Depkeh dan HAM. Yusril akan memenuhi panggilan pada Selasa (18/11) besok.
Dalam jumpa persnya, Minggu (16/11) di Jakarta, Yusril mengatakan, ia sudah menerima panggilan dari Kejagung. ”Sebagaimana ketika saya juga memenuhi panggilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saya juga akan memenuhi pemanggilan Kejagung sebagai saksi,” katanya.
Sebelumnya, Kejagung menahan tiga tersangka terkait dugaan korupsi Sisminbakum, yaitu mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum dan HAM Romli Atmasasmita dan Zulkarnain Yunus serta Dirjen AHU Syamsuddin Manan Sinaga. Dari penyidikan jaksa, korupsi Sisminbakum diduga merugikan negara Rp 400 miliar.
Perbuatan itu memperkaya PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD), Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman (KPPDK), dan pejabat di lingkungan Ditjen AHU. Jumlah yang diterima Dirjen AHU dari biaya akses Sisminbakum diduga Rp 10 juta per bulan.
Atasi hambatan birokrasi
Yusril mengisahkan latar belakang Sisminbakum yang mulai dibuka tahun 2001. Sisminbakum dibuat untuk mengatasi kelambatan pelayanan birokrasi dalam proses pengesahan perseroan terbatas menjadi badan hukum.
”Hanya ada dua perusahaan yang berminat menanamkan modal di bidang teknologi informasi (TI) saat itu. Setelah dilakukan penilaian, diputuskan PT SRD bekerja sama dengan Koperasi Pengayoman. Ini tidak tender karena bukan uang negara. Saya yang menandatangani perjanjian kerja sama itu,” ungkap dia.
Yusril juga membantah menerima dana biaya akses dari Sisminbakum. ”Saya tidak terima aliran dana. Tidak ada aliran dana yang sampai ke menteri. Itu semua menjadi uang koperasi dan dibagikan rata ke anggotanya setiap tahun,” katanya.
Mengenai dugaan biaya akses Sisminbakum yang tak dimasukkan dalam pendapatan negara bukan pajak (PNBP), ia mengatakan, penentuan itu merupakan kewenangan Presiden. ”Silakan periksa Presiden karena yang berwenang menetapkan PNBP atau bukan adalah Presiden melalui peraturan pemerintah. Bukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Menteri Keuangan,” ungkap Yusril lagi.
Tahun 2003, kata Yusril, BPKP melayangkan surat kepada Menteri Kehakiman dan HAM yang menyarankan agar biaya akses Sisminbakum dikategorikan sebagai PNBP. ”Saya meminta kepada Dirjen AHU Zulkarnain Yunus untuk membahasnya bersama Departemen Keuangan. Semua pihak menyadari, bila biaya akses masuk ke PNBP, negara harus menyediakan dana untuk membangun sistem TI itu atau mengambil investasi swasta dijadikan usaha yang dilakukan negara,” papar dia.
Yusril menambahkan, sejak Sisminbakum didirikan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengeluarkan dua peraturan pemerintah (PP), yaitu PP Nomor 75 Tahun 2005 dan PP Nomor 19 Tahun 2007. Dalam kedua PP itu disebutkan, PNBP dari biaya pengesahan perseroan sebesar Rp 200.000. Biaya akses tak dicantumkan sebagai PNBP.
Secara terpisah, pakar hukum dari Universitas 11 Maret Surakarta, Jawa Tengah, Adi Sulistyono, menilai, langkah Kejagung yang menahan Romli dan tersangka korupsi Sisminbakum terkesan diskriminatif. Kejagung juga terlihat menerapkan standar ganda saat menangani korupsi.
Kejagung, lanjut Adi, terkesan membiarkan jika ada konglomerat yang diduga terlibat korupsi. Mereka tidak ditahan.
Adi menegaskan, Kejagung wajib membuktikan penahanan terhadap Romli yang selama ini aktif dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi adalah tindakan obyektif. (sie/son)
Sumber: Kompas, 17 November 2008