Vonis Setya Novanto Tidak Menjerakan
Vonis yang dijatuhkan hakim terhadap Setya Novanto sangat disayangkan, sepatutnya SN divonis pidana seumur hidup atas perbuatannya dalam perkara korupsi KTP-El. Selain pidana penjara yang kurang memuaskan, pidana tambahan uang pengganti yang dijatuhkan terhadap Setya Novanto juga tidak merepresentasikan jumlah kerugian negara yang terjadi akibat korupsi KTP-El yaitu sebesar 2,3 Triliun Rupiah. Jumlah pidana tambahan uang pengganti yang dijatuhkan terhadap Setya Novanto hanya sekitar 22,69% dari total keseluruhan kerugian negara korupsi KTP-El.
Setnov divonis 15 tahun penjara, denda sebesar 500 juta rupiah subsider 3 (tiga) bulan kurungan, pidana tambahan sebesar 7,3 juta USD dikurangi 5 miliar rupiah yang sudah disetorkan ke negara, dan pencabutan hak politik 5 (lima) tahun pasca pidana badannya selesai. Vonis ini tidak berbeda jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut umum, yang menuntut Setnov dengan pidana penjara 16 tahun, denda 1 miliar rupiah subsider 6 (enam) bulan kurungan.
Setya Novanto sudah sepatutnya dijatuhi vonis maksimal, mengingat perilakunya yang tidak kooperatif sepanjang proses hukum, vonis ini dikhawatirkan tidak menjerakannya, dan dapat menjadi preseden buruk bagi terdakwa korupsi lainnya. Dukungan publik untuk menjatuhkan pidana maksimal berupa penjara seumur hidup ini dapat dilihat dari hasil jajak pendapat (japat) yang dilansir oleh akun Twitter @SahabatICW.
Pada 23 April 2018, ada 77% peserta japat menyatakan bahwa pidana penjara seumur hidup merupakan hukuman yang pantas dijatuhkan terhadap Setya Novanto. Masih dari akun Twitter @SahabatICW, pada 24 April 2018 56% peserta japat menyatakan ketidakpuasannya terhadap putusan Setya Novanto.
Putusan melampaui tuntutan jaksa bukan hal yang baru. Dalam pemantauan tren vonis ICW, pada semester I 2017 saja, ada paling tidak 15 terdakwa yang diputus di atas tuntutan jaksa, dari keseluruhan 352 terdakwa yang perkaranya dipantau. Dengan demikian, putusan hakim untuk tidak menghukum Setya Novanto dengan pidana maksimal seumur hidup, sangat disayangkan, mengingat yang bersangkutan sudah secara terang-terangan bersikap tidak kooperatif sepanjang proses hukum.
Namun demikian, pertimbangan hakim untuk mengabulkan tuntutan jaksa dan menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Setya Novanto, patut diapresiasi. Sebagaimana diketahui, penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik masih jarang diterapkan terhadap terdakwa perkara korupsi, Beberapa terpidana perkara korupsi yang juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik antara lain, Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq; Mantan Ketua MK, Akil Mochtar; Mantan Kakorlantas, Irjenpol Djoko Susilo, dan Mantan Ketua DPD, Irman Gusman.
Dalam sidang pembacaan putusan Setya Novanto tadi, terdapat fakta-fakta persidangan yang patut ditelusuri lebih jauh oleh KPK. KPK sendiri masih memiliki banyak pekerjaan rumah terkait penyelesaian korupsi KTP-El pada waktu-waktu ke depan. Untuk itu, ICW mendorong agar:
1. KPK menelurusi dan menindaklanjuti informasi terkait sejumlah nama yang kembali disebutkan karena diduga menerima sejumlah uang dalam “pengaturan” proyek KTP-El di DPR RI;
2. KPK juga masih harus menyidik dugaan TPPU yang dilakukan oleh Setya Novanto; dan
3. KPK harus menyidik dugaan keterlibatan korporasi sebagai pelaku atau instrumen yang digunakan untuk melakukan korupsi dalam proyek KTP-El
Jakarta, 24 April 2018
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW
Tama S. Langkun – Lalola Easter