Vonis Rendah Memprihatinkan
Komisi Pemberantasan Korupsi telah berusia tujuh tahun. Namun, sebagai superbody, keberadaannya belum memengaruhi pengadilan umum, polisi, dan jaksa untuk membuat perkembangan positif dalam pemberantasan korupsi. Hal itu setidaknya terlihat dari masih tingginya vonis bebas untuk terpidana korupsi dan tidak maksimalnya hukuman terhadap koruptor.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan hal itu di Jakarta, Senin (6/9). Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch mencatat, pada periode 1 Januari 2010-10 Juli 2010 sebanyak 54,82 persen terdakwa kasus korupsi justru dibebaskan oleh pengadilan umum (Kompas, 6/9).
Mahfud menilai, rendahnya vonis untuk koruptor memang menjadi keprihatinan semua pihak. Pemberantasan korupsi belum dilakukan secara serempak di kalangan penegak hukum.
Ia menduga dibebaskannya terpidana korupsi bisa jadi karena alat bukti belum meyakinkan. Ada beberapa alasan, di antaranya adanya target penanganan kasus korupsi oleh Kejaksaan Agung yang harus dilakukan oleh kejaksaan negeri di daerah. ”Ada kemungkinan saat menetapkan tersangka, jaksa-jaksa belum mempunyai bukti kuat. Hanya target, tahun ini ada berapa (kasus korupsi yang ditangani),” tutur Mahfud.
Mahfud juga mempersoalkan rasa keterancaman terhadap bahaya korupsi yang tidak merata di kalangan hakim. Ia juga menduga masih adanya penyakit hukum, seperti perkara yang bisa dibeli. Orang lebih senang diperiksa polisi dan kejaksaan dibandingkan dengan diperiksa KPK.
Ketua Muda Bidang Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko mengakui adanya kecenderungan untuk menghukum pelaku korupsi dengan hukuman minimal. Kecenderungan ini dilakukan oleh hakim-hakim di tingkat pertama. Rata-rata mereka menjatuhkan pidana antara satu dan dua tahun penjara.
Terkait hal itu, Djoko mengatakan, pihaknya membentuk kelompok kerja (pokja) yang diketuai hakim agung Komariah Embong Sapardjaja. Salah satu tugas pokja adalah membuat pedoman pemidanaan yang akan dijadikan acuan untuk para hakim di seluruh Indonesia ketika menjatuhkan hukuman. ”Semangatnya untuk memaksimalkan hukuman. Kami tidak tutup mata dan telinga. Memang (hukuman untuk koruptor) terlalu ringan, kita akui itu,” katanya.
Ditanya soal ukuran yang akan dijadikan pedoman pemidanaan, Djoko menjelaskan perpaduan antara delik (perbuatan pidana) dan tingkat kerugian negara. ”Yang jadi pertimbangan utama adalah kerugian negara. Nanti akan ditentukan; untuk kerugian negara sekian, hukumannya sekian. Misalnya untuk kerugian di atas Rp 5 miliar, hukuman sekian. Yang paling ringan hukumannya berapa,” tutur Joko.
Pengajar Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting, yang melakukan penelitian terhadap 160 putusan MA pada kasus korupsi, mengungkapkan, ada kecenderungan hakim tidak menjatuhkan putusan maksimal. Hakim lebih senang menggunakan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ancaman hukumannya jauh lebih rendah dari Pasal 2 UU sama.
”Ancaman hukuman minimal pada Pasal 3 adalah satu tahun, sedangkan Pasal 2 empat tahun dan hukuman maksimal hukuman mati. Namun, ini tidak pernah diterapkan meskipun tindak pidana itu unsur-unsurnya memenuhi delik Pasal 2,” papar Jamin.
Berdasarkan vonis MA antara 2001-2009, Jamin menemukan hukuman koruptor yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama di Jabodetabek jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di luar Jabodetabek. ”Bedanya bisa tiga atau empat tahun. Mungkin karena interes masyarakat untuk mengawasi hakim di Jabodetabek lebih tinggi,” katanya. (ANA)
Sumber: Kompas, 7 September 2010