Upaya Pemberantasan Korupsi Belum Serempak di Kalangan Penegak Hukum
Banyak Koruptor Divonis Bebas di Pengadilan Umum
Banyaknya terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas di pengadilan umum mengundang keprihatinan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud M.D. Menurut Mahfud, vonis bebas itu adalah bukti bahwa upaya pemberantasan korupsi belum serempak di kalangan penegak hukum.
''(Vonis bebas bagi para koruptor, Red) ini belum memberikan harapan apa pun untuk masyarakat,'' ucap Mahfud di Jakarta kemarin (8/9).
Menurut Mahfud, sebaiknya para penegak hukum meniru model yang selama ini diterapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga superbodi itu dinilai Mahfud tidak main-main saat menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Sebelum menetapkan tersangka, KPK terlebih dahulu mengumpulkan bukti-bukti yang akurat dan meyakini bahwa seseorang tersebut bersalah. ''Karena itulah, selama ini siapa pun orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tidak akan lolos di pengadilan,'' katanya.
Guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta itu mengungkapkan, ada beberapa alasan koruptor bisa lolos di pengadilan. Yang pertama, saat menetapkan seseorang sebagai tersangka, penegak hukum belum memiliki bukti yang kuat. ''Kejaksaan, misalnya, punya target bahwa dalam jangka waktu tertentu menetapkan tersangka. Tetapi, banyak yang mubazir,'' tuturnya.
Yang kedua, Mahfud menduga, kepekaan para hakim untuk melawan korupsi tak sama. Ada hakim yang benar-benar komitmen untuk menghukum berat koruptor. Tetapi, tak sedikit hakim yang menganggap biasa kasus korupsi. Atau, yang terakhir, bisa jadi praktik mafia hukum masih tumbuh subur di tubuh penegak hukum dan peradilan.
Data yang dihimpun Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, 54,82 persen terdakwa kasus korupsi divonis bebas di pengadilan umum. Data tersebut dikumpulkan dari hasil pemantauan terhadap semua putusan di pengadilan umum yang meliputi pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), dan Mahkamah Agung (MA) sejak 1 Januari hingga 10 Juli 2010.
Berdasar data itu, 91 terdakwa divonis bebas di antara 166 terdakwa yang disidang di pengadilan umum. ''Jadi, 54,82 persen tedakwa kasus korupsi divonis bebas di pengadilan umum. Ini menciptakan iklim surga bagi para koruptor. Apalagi, ada remisi, asimilasi, dan jenis keringanan hukum lainnya,'' ujar Koordinator Divisi Hukum ICW Febri Diansyah kemarin.
Febri menyebutkan, selain vonis bebas, hakim sering menjatuhkan hukuman badan (penjara) yang relatif ringan kepada terdakwa kasus korupsi. Hukuman penjara terbanyak yang dijatuhkan pengadilan umum berkisar 1-2 tahun. Vonis itu dijatuhkan kepada 38 terdakwa korupsi (sekitar 22,89 persen) pada Januari-Juli lalu.
''Rata-rata vonis hakim di pengadilan umum atas terdakwa kasus korupsi adalah 12 bulan 13 hari. Untuk koruptor, vonis itu termasuk rendah sehingga sangat melukai rasa keadilan publik,'' tutur Febri. MA, lanjut Febri, adalah pengadilan umum yang pernah menjatuhkan vonis bebas, yakni kepada delapan terdakwa.
Selain menyoroti vonis bebas pengadilan umum, ICW membandingkan vonis yang dijatuhkan di pengadilan umum dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pengadilan Tipikor, kata Febri, tidak pernah memutus bebas seorang terdakwa kasus korupsi. Vonis terbanyak yang dijatuhkan berkisar 2-5 tahun.
Dengan fakta tersebut, ICW mendesak MA melaksanakan sejumlah langkah. Antara lain, harus melakukan evaluasi mendasar dan mencari penyebab utama vonis bebas, khususnya atas terdakwa kasus korupsi. ''MA juga harus memberikan tekanan dan arahan agar koruptor divonis seberat-beratnya serta memperkuat Komisi Yudisial untuk menindak hakim yang terlibat mafia hukum,'' saran Febri. (ken/kuh/c4/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 9 September 2010