Transparency: Polisi Miliki Potensi Suap Tertinggi
Survei Transparency International Indonesia (TII) menyatakan, kepolisian menjadi institusi dengan tingkat suap tertinggi. Menurut Manajer Riset dan Kebijakan Transparency, Frenky Simanjuntak, praktek penyuapan di kepolisian mencapai 40 persen. Jumlah ini dihitung berdasarkan rasio total transaksi responden dan pelaku bisnis terhadap institusi kepolisian. ”Jumlah transaksi suap rata-rata mencapai Rp 2,3 juta,” ujar Frenky kepada wartawan di Jakarta kemarin.
Survei Transparency dilakukan pada 2008. Total sampel survei, menurut Frenky, sebanyak 3.841 responden. Mereka berasal dari pelaku bisnis sebanyak 2.371 responden, tokoh masyarakat 396 responden, dan pejabat publik 1.074 responden.
Frenky menjelaskan, indeks prestasi suap menggambarkan tingkat kecenderungan terjadinya suap di 15 institusi berdasarkan pengalaman kontak antara pelaku bisnis dan institusi terkait. Indeks ini mengukur tingkat suap secara nasional dan tidak dilihat per kota. Adapun 15 institusi yang dijadikan tolok ukur di antaranya kepolisian, Bea dan Cukai, kantor imigrasi, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, Badan Pertanahan Nasional, pengadilan, Departemen Hukum dan HAM, dan Angkasa Pura.
Survei Transparency juga memaparkan, transaksi suap cukup besar terjadi pula di pengadilan. Meski kemungkinannya hanya 30 persen, jumlah transaksinya bisa mencapai Rp 102,4 juta. ”Seluruh kelompok responden menyatakan, institusi pengadilan dan kejaksaan harus diprioritaskan dalam pemberantasan korupsi, kemudian disusul polisi dan legislatif," ujar Frenky.
Menanggapi hal ini, polisi meminta Transparency menyerahkan hasil surveinya agar ditindaklanjuti. "Polri sebagai penegak hukum ingin institusinya bersih dari oknum yang suka menerima suap," kata juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira, kemarin. Kendati begitu, Abubakar mempertanyakan metode survei tersebut. Ia mengimbau masyarakat agar tidak memberikan suap dengan alasan ingin mempercepat pelayanan. ”Sebab, yang memberi dan menerima sama-sama salah,” ujarnya. CHETA NILAWATY | DESY PAKPAHAN
Sumber: Koran Tempo, 22 Januari 2009