Transparansi Kekuasaan Kehakiman
Sungguh mengejutkan dan memprihatinkan temuan yang disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan Haryono Umar yang menegaskan bahwa respons kalangan hakim untuk melaporkan kekayaannya masih kecil.
Sungguh mengejutkan dan memprihatinkan temuan yang disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan Haryono Umar yang menegaskan bahwa respons kalangan hakim untuk melaporkan kekayaannya masih kecil.
Pada 2007, KPK pernah mengumpulkan 40 hakim di Provinsi Banten untuk menyosialisasikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara, namun hingga saat ini yang melaporkan kekayaannya baru dua orang.
KPK, apalagi publik, tidak tahu persis alasan para hakim enggan melaporkan daftar kekayaannya itu. Menurut Haryono Umar, mungkin mereka takut atau tidak mau tahu atau entah tak bisa atau tak paham cara mengisi formulir daftar kekayaan.
Berita tersebut kian menambah betapa kian sulitnya mengharap adanya transparansi dalam kekuasaan kehakiman kita. Sebelum penegasan KPK itu, publik disuguhi kekukuhan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan yang menolak audit biaya perkara di MA oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Berpedoman pada ketentuan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Tahun 1941 pasal 120, 121, 182, dan 183, MA bersikeras bahwa lembaganya tak bisa diaudit BPK. Padahal, pasal 23E UUD 1945 ayat 1 secara tegas menyatakan, pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dilakukan BPK yang bebas dan mandiri.
Arogansi
Sekalipun diakui bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas adalah salah satu pilar utama negara hukum dan demokrasi, bukan berarti kekuasaan kehakiman bebas dalam segala hal. Sebagaimana pernah ditulis dalam sebuah disertasi di Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Airlangga beberapa tahun lalu bahwa kebebasan hakim mutlak disyaratkan dalam menyidangkan dan mengambil keputusan sebuah perkara, termasuk di dalam menafsirkan bunyi undang-undang.
Namun di luar urusan perkara, kekuasaan kehakiman tidak bebas. Artinya, para hakim dan lembaga kehakiman yang memiliki kekuasaan kehakiman itu tetap tunduk pada hukum administrasi, hukum ketatanegaraan, dan hukum-hukum negara lainnya yang berlaku.
Dengan demikian, bila semua penyelenggara negara diwajibkan melaporkan kekayaannya, hakim pun tidak memiliki imunitas apa-apa untuk dibebaskan dari kewajiban itu.
Bila semua lembaga negara sah untuk diaudit BPK, demikian juga mestinya MA, karena itulah bunyi konstitusi. Lalu, apa imunitas yang dimiliki MA sehingga biaya perkara di MA tidak boleh diaudit BPK?
Banyak kalangan menilai keengganan para hakim melaporkan kekayaannya ke KPK dan penolakan MA diaudit BPK sebagai arogansi kekuasaan kehakiman. Itu mestinya tidak perlu terjadi dalam sebuah negara hukum, yang salah satu pilarnya adalah semua tindakan aparat hukum harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Apalagi benteng keadilan terakhir adalah di pengadilan. Kalau jajaran pemegang tampuk kekuasaan kehakiman enggan melaporkan kekayaannya dan tidak sudi diaudit lembaga yang berwenang untuk itu, sulit diharapkan adanya kultur kondusif untuk pemberantasan korupsi di negeri ini.
Meluruskan Tafsir
Ketua MA memang menyambut baik temuan KPK itu dan bersedia bekerja sama dengan KPK agar jajaran kehakiman mau melaporkan kekayaannya. Kabarnya, MA akan memfasilitasi pertemuan KPK dengan jajaran kehakiman di banyak provinsi guna sosialisasi laporan kekayaan penyelenggara negara.
Bahkan pada kesempatan itu, KPK akan menurunkan pegawainya untuk langsung membantu para hakim mengisi daftar kekayaan mereka. Hal itu dilakukan agar kasus yang terjadi di Provinsi Banten tidak berulang.
Kebutuhan pelaporan kekayaan hakim tersebut sangat mendesak, mengingat pada 10 Maret 2008 presiden menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No 19/2008. Dengan perpres tersebut, semua hakim agung dan hakim pengadilan akan menerima tunjangan kinerja 300 persen dari gaji biasa.
Begitu besarnya kenaikan tunjangan itu dimaksudkan sebagai salah satu strategi reformasi MA agar jajaran kehakiman tidak melakukan korupsi lagi. Sekalipun hal itu tidak menjamin keniscayaan korupsi tidak akan terjadi lagi karena korupsi berkaitan dengan keserakahan (greed) seseorang, adanya pelaporan kekayaan hakim akan ikut mengerem keserakahan. Sebab, KPK dan publik akan tahu jumlah kekayaan para hakim, sebelum dan sesudah menjabat. Dengan demikian, transparansi di kekuasaan kehakiman bisa diwujudkan.
Transparansi itu akan lebih berwujud dan menjamin keadilan bila biaya perkara di MA, yang diduga menjadi lahan subur untuk dikorupsi, sudi diaudit BPK sesuai kewenangannya. Penggunaan pasal-pasal HIR oleh MA sebagai benteng untuk menolak audit BPK dinilai para aktivis antikorupsi sebagai tafsir egosentris MA. Menurut saya, bukan sekadar tafsir egosentris, tetapi malah ada kesalahan tafsir yang mesti diluruskan.
Dalam asas hukum dikenal undang-undang yang tinggi mengalahkan UU di bawahnya (leq superior derogat leq inferior) dan UU yang baru mengalahkan UU yang lama (leq posteriori derogat leq priori).
Dalam stratifikasi perundang-undangan di sistem hukum negeri ini, kedudukan HIR jelas di bawah UUD 1945 serta keberadaan UUD 1945 lebih baru daripada HIR pada 1941. Berdasar dua asas hukum itu, mengedepankan HIR untuk menolak kewenangan BPK mengaudit MA jelas tidak bisa dibenarkan secara hukum. Apabila MA bersikukuh, hal tersebut hanya menunjukkan keengganan MA untuk transparan dan akuntabel. Sesuatu yang bertolak belakang dengan kehendak para petinggi MA sendiri, yang konon ingin mereformasi MA.
Ernanto Soedarno, advokat senior di Surabaya dan ketua Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 2 Mei 2008