Transparansi Biaya Kampanye; Uang Negara Dicurigai
Setelah dipolemikkan, Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Sutanto akhirnya mundur dari jabatannya sebagai Ketua Tim Relawan Susilo Bambang Yudhoyono. Langkah serupa dilakukan Komisaris Pertamina Umar Said, dengan mundur dari anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Yudhoyono-Boediono.
Pada saat yang hampir bersamaan, tim kampanye nasional Yudhoyono-Boediono juga mencoret sejumlah pejabat badan usaha milik negara (BUMN) yang sebelumnya bergabung dengan mereka.
Keberadaan pejabat BUMN di tim sukses kandidat yang bertarung di pemilihan presiden (pilpres) kali ini sebenarnya sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 41 Ayat 2 Poin (d) UU itu secara jelas menyatakan, pelaksana kampanye dilarang mengikutsertakan pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah dalam kampanye.
Pelarangan ini dilakukan karena jika menjadi tim sukses, para pejabat BUMN itu dikhawatirkan akan mengarahkan kebijakan atau dana di perusahaannya kepada kandidat yang didukungnya. Padahal uang yang ada di BUMN ialah uang negara sehingga seharusnya dipakai untuk kepentingan negara dan bukan kelompok atau elite tertentu.
Ibrahim Zuhdhy Fahmy Badoh dari Indonesia Corruption Watch berpendapat, para menteri seharusnya juga dikenai ketentuan serupa. ”Untuk mencegah aliran uang negara dari menteri, departemen, atau BUMN ke kandidat dan tim suksesnya yang bertarung di pilpres, rekening mereka juga harus diawasi,” lanjut Fahmy.
Dana nonbudgeter
Kekhawatiran adanya aliran dari BUMN dan departemen ke para kandidat di pilpres kali ini bukanlah tanpa alasan. Pada tahun 2006-2007 masyarakat pernah dikejutkan oleh pengungkapan korupsi dalam penggunaan dana nonbudgeter di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada tahun 2004, yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dana nonbudgeter yang awalnya diperuntukkan bagi pemberdayaan nelayan itu ternyata ada yang mengalir ke sejumlah politikus, termasuk beberapa calon presiden dan wakil presiden 2004, berikut tim suksesnya. Para politikus penerima mengaku tidak tahu jika uang atau barang serta fasilitas yang mereka terima dibiayai oleh dana nonbudgeter dari DKP.
Namun, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung menegaskan, kampanye pasangan Megawati-Prabowo tidak mungkin memakai dana dari BUMN atau departemen. Juga tidak mungkin ada pejabat BUMN atau departemen yang berani menjadi anggota tim sukses Megawati-Prabowo.
”Kami kan tidak punya akses ke BUMN,” kata Hasto Kristiyanto dari Tim Kampanye Nasional Megawati-Prabowo.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Alie juga mengatakan, tidak ada uang BUMN atau departemen yang mengalir ke pasangan Yudhoyono-Boediono. ”Ngapain juga minta uang ke BUMN?” ujar Marzuki.
Sumber dana kampanye pasangan Yudhoyono-Boediono, lanjut Marzuki, amat beragam. Calon anggota legislatif terpilih yang jumlahnya mayoritas di DPR sudah pasti mau menyumbang besar untuk pasangan calon yang diusung Partai Demokrat. Sumbangan juga berasal dari anggota partai yang memiliki perusahaan.
”Dana kampanye selalu kami kontrol agar selalu sesuai dengan sistem yang telah disepakati dan aturan yang ada. Bahkan, tim Yudhoyono-Boediono berkomitmen, sumbangan dana kampanye yang tidak jelas akan dikembalikan,” kata Marzuki.
Yuddy Chrisnandi dari tim kampanye pasangan Jusuf Kalla-Wiranto juga menyatakan, mereka tidak menerima uang dari penyumbang yang dilarang, seperti dana dari APBN/APBD, BUMN, dana asing, dan dana yang tidak jelas sumbernya.
”Yang bersimpati kepada pasangan Jusuf Kalla-Wiranto banyak dan itu jelas dibenarkan. Pak Jusuf Kalla kan pengusaha dan teman-temannya dari kalangan pengusaha juga banyak. Kalangan pengusaha dan lingkungan dekat beliau mendukung pendanaan kampanye pilpres ini dan itu tidak dilarang oleh UU Pilpres,” tutur Yuddy.
Lewat kebijakan
Namun, perkembangan metode kampanye membuat pemakaian uang negara, seperti yang ada dalam BUMN dan departemen untuk mendukung pasangan tertentu dalam pilpres, tidak hanya dapat dilakukan dengan mengalirkan uang itu ke pasangan atau tim suksesnya yang mereka dukung. Namun, juga dapat dilakukan lewat berbagai kebijakan.
”Misalnya, melalui departemen yang belakangan gemar beriklan di media massa. Padahal, pesan dari iklan itu memiliki konotasi tertentu. Juga lewat program-program stimulus untuk rakyat, seperti bantuan langsung tunai atau gaji ke-13, yang pembagiannya dilakukan menjelang pemilu,” kata Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif.
Jika ingin serius mencegah penggunaan uang negara untuk kepentingan pilpres, lanjut Yudi, hal-hal seperti di atas seharusnya juga dicegah.
Yang juga harus mulai diatur secara ketat adalah pelaksanaan kampanye, seperti pembatasan jumlah sebaran spanduk, baliho, atau bendera partai, dan tayangan iklan di media massa. Jadi biaya berpolitik akan dapat dikurangi.
Biaya politik tinggi
Berbagai pembatasan ini perlu dilakukan karena, selain masih longgarnya peraturan, penggunaan uang negara dalam kegiatan politik, seperti pilpres, mungkin terjadi karena tingginya biaya politik di Indonesia. Adapun pada saat yang sama, potensi keuangan amat terbatas, yang antara lain disebabkan oleh krisis ekonomi global yang belum selesai. ”Dalam kondisi seperti ini, politisi lalu cenderung mencari jalan pintas, misalnya, dengan memakai uang negara,” ujar Yudi.
Tiadanya pembatasan dalam biaya berpolitik juga dapat menjadi preseden buruk dalam demokrasi. Sebab, para kandidat akan lebih memilih jalan pintas, seperti melalui beriklan sebanyak mungkin di media massa, dibandingkan membangun jaringan dan institusi politik.
Selain lebih mudah dan singkat, beriklan juga telah terbukti efektif dalam meningkatkan popularitas. ”Akibat selanjutnya adalah pendidikan politik untuk rakyat yang sebenarnya dapat dilakukan saat pembangunan institusi politik menjadi terabaikan. Demokrasi berubah menjadi seperti pasar,” tutur Yudi. (M HERNOWO/VINCENTIA HANNI) -- Oleh Dewi Indriastuti
Sumber: Kompas, 17 Juni 2009