Tim Evaluasi Harus Dibentuk
Pemerintah diminta segera membentuk tim evaluasi keberadaan pengadilan tipikor daerah. Hal ini sebagai tindak lanjut usulan pembubaran pengadilan tersebut.
Tim itu juga harus difungsikan menyelidiki banyaknya vonis bebas terdakwa koruptor yang dikeluarkan pengadilan tipikor daerah.Pasalnya, putusan itu dinilai telah melukai rasa keadilan masyarakat. Hal itu ditegaskan pengamat hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Ganjar Laksmana Bonaparta.
Menurut dia, tim evaluasi tersebut harus bekerja cepat untuk menjawab apakah putusan bebasnya para terdakwa di pengadilan tipikor daerah bisa dipertanggungjawabkan atau karena ada pengaruh mafia hukum. Tim ini, lanjut dia, harus dipimpin Mahkamah Agung (MA) karena hanya lembaga inilah yang bisa melakukan evaluasi yudisial terhadap putusan yang diambil para hakim.Sementara lembaga lain, seperti Komisi Yudisial,kejaksaan,kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, melakukan evaluasi pada aspek lain mulai penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan.
”Putusan Pengadilan Tipikor Bandung dan Samarinda, kita evaluasi. Tim evaluasi yang resmi boleh difasilitasi oleh Kemenkumham, tapi yang utama MA harus mengevaluasi proses yudisialnya,”ujarnya. Evaluasi putusan ini,menurut Ganjar, bisa membongkar pandangan-pandangan hakim atas perkara-perkara yang disidangkan, terutama pada Pengadilan Tipikor Bandung. Putusan bebas pada Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Mohamad inilah yang dianggap paling janggal,karena mementahkan penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK.
Padahal, selama ini KPK dinilai lembaga yang kuat dalam melakukan penyidikan, penuntutan, hingga pembuktian perkara korupsi. Jika pandangan hakim terhadap perkara tersebut bisa diketahui, tim bisa memberi rekomendasi perbaikan terhadap pengadilan tipikor di daerah. Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjelaskan bahwa pengadilan tipikor merupakan salah satu bagian dari skema pemberantasan korupsi secara nasional. Harapannya, pengadilan tersebut menyidang secara objektif dan sejalan dengan spirit antikorupsi, dengan menjatuhkan hukuman maksimal terhadap terdakwa korupsi.
”Memberantas korupsi itu perlu pola, (pengadilan) tipikor itu perlu atau tidak? Dua opsi tersebut sama-sama membutuhkan regulasi,” terangnya. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nurkholis Hidayat menilai sebaiknya pengadilan tipikor cukup berada di kota-kota besar saja.
”Sejak pembahasan undangundang tindak pidana korupsi dulu, LBH Jakarta meminta supaya pengadilan tipikor cukup di Jakarta, Medan, dan Makassar.Semua kekhawatiran kita kini terbukti,” paparnya di Jakarta kemarin. mnlatief/nurul huda
Sumber: Koran Sindo, 9 November 2011