Tersangka Korupsi KBRI Cina Dua Orang
Kasus ini awalnya ditemukan Inspektorat Jenderal Departemen Luar Negeri.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendi menyatakan, ada dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Cina selama 2000-2004. "Namanya masih rahasia, segera kami akan umumkan," kata Marwan saat dihubungi Tempo kemarin.
Menurut Marwan, penyidikan atas kasus ini telah dimulai kemarin. "Kami mengupayakan penyidikan masalah ini secepatnya."
Kasus dugaan korupsi ini terjadi dalam pungutan biaya kawat untuk setiap pemohon visa, paspor, dan surat perjalanan laksana paspor. Besarnya biaya kawat 55 yuan atau US$ 7 untuk setiap pemohon. Pungutan itu dilakukan sejak Mei 2000 hingga Oktober 2004. Nilainya mencapai 10.275.684,85 yuan dan US$ 9.613.
Uang yang dipungut itu seharusnya masuk kas penerimaan negara bukan pajak. Hasil pungutan tersebut tidak disetorkan ke kas negara. "Melainkan digunakan untuk keperluan oknum di Kedutaan," kata Jasman Panjaitan, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum, Kejaksaan Agung.
Pungutan itu juga dinilai bertentangan dengan sejumlah undang-undang, antara lain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Jasman mengingatkan, pungutan yang membebani masyarakat harus didasarkan pada undang-undang. Itu berarti harus disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, dan hasilnya disetorkan ke negara.
Marwan mengatakan, dua orang itu menjadi tersangka karena keterlibatan mereka, antara lain, dalam pembuatan surat keputusan mengenai penerimaan negara bukan pajak di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Cina. Hingga saat ini, menurut dia, Kejaksaan Agung belum menetapkan pencekalan atas keduanya.
Departemen Luar Negeri sudah mengetahui kasus itu. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah, menyatakan, dugaan penyimpangan biaya kawat itu awalnya ditemukan Biro Inspektorat Jenderal Departemen Luar Negeri. "Masalah itu memang telah diketahui oleh Biro Inspektorat Jenderal," kata Faizasyah dalam konferensi pers mingguan di Departemen Luar Negeri kemarin.
Faizasyah mengatakan, yang dimaksud biaya kawat adalah biaya visa dan lainlain, yang dalam konteks keimigrasian ada pembebanan tambahan. “Tampaknya prosesnya waktu itu seperti itu,” ujarnya. Dia mengaku tidak tahu persis jumlah kerugian negara serta kronologi peristiwanya. Sejauh mana pembiayaan tersebut menyimpang atau merupakan kesalahan, ia belum bisa memberikan penjelasan. FAMEGA SYAVIRA | SUTARTO | TITIS SETIANINGTYAS
Sumber: Koran Tempo, 13 Oktober 2008