Terganjal karena Harus Izin Presiden

Penegakan hukum terhadap kepala daerah yang bertindak pidana korupsi memang sering menemui batu sandungan. Selain faktor munculnya konflik kepentingan, prosedur izin dari presiden untuk menyidik kepala daerah tidak jarang menjadi faktor lamanya penyelesaian perkara.

Batu sandungan itu disebutkan dalam pasal 36 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemda. Yakni, penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan dari presiden atas permintaan penyidik.

Selanjutnya, pasal 36 ayat (2) UU itu menyebutkan, bila persetujuan tertulis tersebut tidak diberikan pre­siden dalam 60 hari sejak diterimanya permohonan, penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

Dalam SE (surat edaran) dinyatakan, pasal 36 ayat (2) tersebut harus ditafsirkan, ada tidak­nya per­mintaan persetujuan yang dila­kukan penyidik, jika sudah ada surat permintaan dan telah lewat wak­tu 60 hari, izin persetujuan presi­den menjadi tidak relevan lagi.

Ketentuan 60 hari sejak diterimanya permohonan pemeriksaan memang menimbulkan penafsiran beragam. Apakah itu dihitung sejak diterima oleh Sekkab atau sejak diterima presiden?

Selama ini, aturan tentang izin pemeriksaan itulah yang menjadi alasan belum bisanya dilakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah. ''Izinnya belum ada. Masih diproses Sekkab,'' begitu jawaban yang sering meluncur dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy.

Keluarnya surat edaran dari Mahkamah Agung bisa menjadi angin segar bagi para penegak hukum. SE No 9 Tahun 2009 tentang Izin Pemeriksaan terhadap Kepala Daerah dan Anggota DPR/DPRD itu memberikan penafsiran tentang batas 60 hari tersebut. Jumlah hari itu dimulai sejak diajukannya izin pemeriksaan.

Peneliti hukum ICW Febri Diansyah menyatakan, dengan adanya SE MA itu, izin pemeriksaan dari presiden menjadi tidak mutlak dipenuhi. Jika lewat batas waktu 60 hari sejak diajukan izin tak kunjung turun, penyidikan bisa terus dilakukan. ''Klausul izin tersebut tidak bisa lagi memperlambat proses hukum kasus korupsi kepala daerah yang ditangani jaksa dan polisi,'' ungkapnya.

Selama ini, lanjut dia, izin pemeriksaan tersebut sering menjadi ''pelindung'' kepala daerah untuk di­sentuh hukum. Penyidik juga ''ber­lindung'' dengan alasan belum ada izin. ''Akibatnya, pelaku yang dijerat cenderung bukan aktor utama (master mind),'' kata Febri.

Berdasar data ICW, pada 2008, aktor korupsi yang dijerat di sembilan daerah justru banyak di level menengah seperti Kabag dan Kasi. Jumlahnya mencapai 70,8 persen. Di level atas (top level)/kepala daerah hanya 3,5 persen. (fal/kum)

Sumber: Jawa Pos, 15 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan