Tantangan Membangun Kepercayaan kepada Polri
Tongkat kepemimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia sejak 27 Oktober 2010 di tangan Komisaris Jenderal Timur Pradopo. Namun, baru 12 hari menjabat, dia mendapatkan tantangan pertamanya, yaitu keluarnya tersangka kasus mafia pajak, Gayus HP Tambunan, dari Rumah Tahanan Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Bagaimana Polri akan membangun kepercayaan masyarakat?
Dalam beberapa kesempatan, Timur mengungkapkan akan melanjutkan program yang dilakukan pendahulunya, Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri. Saat ini Polri memiliki strategi besar (grand strategy) 2005-2025 untuk mereformasi birokrasinya. Strategi itu dijabarkan dalam tiga tahapan.
Tahap pertama (2005-2009), membangun kepercayaan (trust building). Tahap kedua (2010-2014), membangun kerja sama yang erat dengan berbagai pihak yang terkait dengan penyelenggaraan fungsi kepolisian (partnership building). Tahap ketiga (2015-2025), antara lain, membangun kemampuan pelayanan publik yang unggul, mewujudkan tata kelola yang baik, dan profesionalisme sumber daya manusia (strive for excellence).
Untuk mendukung pencapaian strategi besar itu, ditetapkan juga misi Polri, yaitu terwujudnya postur Polri yang profesional, bermoral, dan modern sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat yang tepercaya dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum.
Akan tetapi, antara strategi, misi, atau program Polri dan praktik perilaku aparat Polri di lapangan sering kali belum seiring. Perilaku aparat kepolisian yang tidak profesional pada akhirnya dapat merusak citra Polri yang akan dibangun.
Contoh kasus
Banyak contoh kasus yang dapat menunjukkan hal itu. Sebut saja sikap pasif oknum kepolisian terhadap aksi kekerasan dari kelompok massa atau aksi premanisme. Selain itu, sikap oknum aparat Polri yang arogan sehingga memicu kemarahan massa dan berujung pada perusakan kantor polisi.
Dalam penanganan kasus, oknum aparat Polri kadang menunjukkan perilaku yang kurang profesional. Misalnya, kasus yang dialami tersangka Zainal Abidin (45), tukar parkir di Medan. Zainal dituduh membunuh seorang anggota direksi perusahaan swasta. Ia akhirnya diputus bebas oleh pengadilan negeri di Medan. Namun, dengan tuduhan sebagai pembunuh, Zainal sempat ”babak belur”, dianiaya oknum aparat Polri.
Zainal menceritakan, setelah dibawa ke kantor polisi, ia dibawa lagi ke suatu area perkebunan. Di tempat itu, kakinya ditembak sebanyak tiga kali.
Zainal adalah salah satu contoh dari sekian banyak kasus di kepolisian. Tentu, masih ada kasus lain yang lebih besar yang menunjukkan masih ada oknum aparat Polri yang tidak profesional. Bambang Hendarso Danuri saat menyampaikan resensi memori serah terima jabatannya pun mengakui kondisi itu.
Menurut Bambang, pelayanan di bagian reserse paling banyak dikeluhkan masyarakat, yaitu mencapai 75-80 persen. ”Saya ingin menyampaikan permohonan maaf apabila ada yang belum tercapai,” katanya.
Prioritas Timur
Di depan Komisi III DPR yang ”menguji”-nya, Timur menyampaikan 10 program prioritas yang akan dia lakukan. Program itu dibagi dalam penahapan berdasarkan empat periode waktu yang berlanjut dan berkesinambungan. Program itu tentu baik. Namun, pelaksanaan program itu juga harus diikuti dengan pengawasan yang ketat, termasuk terhadap aparat Polri dan institusi Polri di tingkat paling bawah.
Misalnya, terkait program pembenahan reserse melalui program ”keroyok reserse”. Sejauh mana oknum reserse yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana ditindak tegas?
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Novel Ali, mengakui, pemberian sanksi, administratif atau pidana, terhadap oknum polisi yang bersalah sangat penting untuk memberikan efek jera dan membangun kepercayaan publik kepada Polri.
Jika konsisten dengan program ”keroyok reserse” sebagai unit pelayanan yang banyak dikeluhkan masyarakat, Timur tentu perlu membuat sistem yang dapat menindak oknum polisi yang bersalah di tingkatan mana pun. Dengan demikian, kultur kurang baik yang selama ini terbangun sedikit demi sedikit dapat menjadi lebih baik. Hal itu tentu akan berdampak pada pemulihan kepercayaan publik terhadap Polri.
Menurut Bambang, jika ada kasus terkait penanganan anggota polisi yang dikeluhkan masyarakat, tidak berarti Polri tak melakukan perubahan dan perbaikan. ”Perubahan terus dilakukan,” ujarnya. Karena itu, ia pun meminta masyarakat juga mendukung Timur.
Meskipun demikian, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Indria Fernida mengatakan, pekerjaan Timur tidak saja perlu dititikberatkan pada membangun kembali kepercayaan publik terhadap institusi Polri. Namun, ia juga perlu membangun institusi Polri yang independen dan jauh dari intervensi politik. Intervensi politik pada akhirnya dapat membuat upaya penegakan hukum kurang maksimal.
Menurut Indria, sinyalemen intervensi politik atau politisasi itu memang terkesan kental sejak pencalonan Timur. Calon kuat yang sempat mencuat kandas di tengah jalan. Bahkan, uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan anggota DPR juga dinilai tidak bermakna. (Ferry Santoso)
Sumber: Kompas, 10 November 2010