Tak Henti Melawan Korupsi
Bung Hatta Anti-Corruption Award atau BHACA tahun 2008. Inilah perhelatan untuk penobatan tokoh antikorupsi. Memanfaatkan momentum Hari Sumpah Pemuda, mereka yang mendapat penghargaan diharapkan konsisten sepanjang hidupnya melawan setiap bentuk penyimpangan kekuasaan, seperti figur Bung Hatta.
function Big(me) { me.width *= 1.700; me.height *= 1.700; } function Small(me) { me.width /= 1.700; me.height /= 1.700; }
Mereka yang terpilih adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, dan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amien Sunaryadi.
Sri Mulyani Indrawati
Mereformasi birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan (Depkeu) adalah langkah awal yang dilakukannya sejak menjadi Menteri Keuangan pada 2005. Apakah reformasi itu berhasil? Belum.
”Perlu proses lama dan tak mudah mencapai birokrasi yang saya cita-citakan. Penuh onak dan duri, serta pengorbanan,” ujar istri dari Tonny Sumartono dan ibu tiga anak, Dewinta Illinia Sumartono, Adwin Haryo Indrawan Sumartono, serta Luqman Indra Pambudi Sumartono ini.
Meski sudah tiga tahun, reformasi birokrasi masih menyisakan sederet daftar birokrat yang ideal. Birokrasi yang kapabel, kompeten, berintegritas, dan berdedikasi tinggi. Birokrasi juga harus menjadi pengayom, tak mengkhianati sumpah jabatan, tak mencederai kepercayaan publik, dan menjaga martabat jabatan. Untuk mencapainya, birokrat harus dibekali pendidikan yang baik, intelektualitas cukup tinggi, serta kepercayaan diri.
Dengan bekal itu, aparat berani menentukan kebijakan terbaik bagi rakyat dan negara, meski diiringi risiko, konsekuensi berat, dan tak populer. Di sinilah letak pengorbanan. Sebab, bagi Ani, panggilannya, Indonesia harus dijaga dengan serius.
Langkah untuk membersihkan birokrasi di Depkeu dipraktikkan perempuan pertama di Indonesia yang menjadi Menkeu ini. Pada 30 Mei 2008, ia mempersilakan KPK membongkar praktik suap dalam layanan kepabeanan di Kantor Pelayanan Utama (KPU) Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Priok. Hasilnya, ditemukan uang suap Rp 500 juta.
Temuan ini dianggapnya keterlaluan karena sebelum pemeriksaan KPK ia telah mengupayakan perbaikan penghasilan pegawai Depkeu. Khusus untuk pegawai Ditjen Bea dan Cukai KPU Tanjung Priok, mereka diberi tunjangan khusus.
Bagi perempuan kelahiran Bandar Lampung, 26 Agustus 1962, ini, kondisi itu menunjukkan banyak tantangan yang belum terselesaikan. Tantangan paling sulit adalah hambatan kultural dan nilai-nilai yang menghambat tercapainya cita-cita birokrasi ideal.
Malas dan skeptis terhadap perubahan dan perbaikan yang menjadi prinsip dasar reformasi birokrasi merupakan penghambat utama. Ada lagi kebiasaan buruk di lingkungan birokrasi, pertemanan dan ketidakpahaman untuk membedakan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik.
”Pejabat yang belum paham asas konflik kepentingan dan pentingnya etika jabatan publik sering menimbulkan suasana tak nyaman dalam menjalankan prinsip jabatan publik. Bahkan, sering menimbulkan benturan di tingkat operasional. Jangan sampai kondisi ini menurunkan semangat perbaikan,” harap wanita paling berpengaruh ke-23 di dunia versi Forbes dan penerima penghargaan sebagai Finance Minister of the Year tahun 2008 untuk kawasan Asia dari harian Emerging Markets ini.
Busyro Muqoddas
Busyro teringat surat dari Perkumpulan Bung Hatta beberapa waktu lalu. Perkumpulan ini memintanya mengusulkan nama untuk calon penerima Bung Hatta Award bidang pemberantasan korupsi. Surat itu ia kembalikan, tanpa mengusulkan siapa pun. ”Takut salah informasi. Saya juga mempertimbangkan lembaga pemberi award-nya.”
Selang beberapa bulan, lelaki kelahiran Yogyakarta 56 tahun lalu ini didatangi seorang ibu berusia lanjut. Ibu ”sepuh” itu berkata, Busyro dinominasikan sebagai penerima penghargaan. Ternyata, Perkumpulan Bung Hatta mengumpulkan berbagai informasi mengenai Ketua Komisi Yudisial ini.
”Saya memahami penghargaan ini sebagai award untuk institusi Komisi Yudisial (KY). Saya ini bagian tak terpisahkan dari KY,” katanya.
Sejak Agustus 2005, Busyro aktif di KY dan memimpin lembaga penjaga kehormatan dan keluhuran hakim ini hingga kini. Di awal usianya, KY melakukan sejumlah tindakan progresif yang memunculkan reaksi para hakim, termasuk hakim agung. Perselisihan itu berakhir di Mahkamah Konstitusi.
Busyro sudah lama berkecimpung di dunia peradilan. Sebelum menjadi anggota KY, ia adalah pengacara di Yogyakarta.
Menurut dia, pemberantasan korupsi belum maksimal dan masih mengalami berbagai hambatan dari segi suprastruktur maupun infrastruktur.
Dari suprastruktur, ia melihat pemberantasan korupsi belum dilakukan secara sistemik dan sungguh-sungguh. Ia tak melihat komitmen, sinergi, keterbukaan, dan transparansi dari semua lembaga. Korupsi belum dibuktikan sebagai common enemy secara sungguh-sungguh.
”Pemberantasan korupsi belum menjadi mesin, belum menjadi gerakan penegakan hukum terhadap korupsi secara sistemik,” ujarnya.
Dari segi infrastruktur, gerakan pemberantasan korupsi belum matang. Pendidikan antikorupsi masih rendah sehingga sedikit yang menyadari korupsi adalah musuh bersama.
Terkait permasalahan korupsi, ia menilai, lembaga tempatnya berkiprah empat tahun terakhir punya peran strategis. Mengikis korupsi di peradilan adalah upaya strategis, mengingat hakim berada di garda terdepan gerakan ini. Maka, perlawanan terhadap mafia peradilan tetap dia lakukan. Ia berjanji meningkatkan dosisnya. ”Harus dilipatgandakan,” katanya.
Bapak tiga anak ini juga mau meningkatkan gerakan edukatif dan kultural untuk para hakim karena dia yakin masih banyak hakim yang jujur.
Amien Sunaryadi
Gundah melihat korupsi merajalela di hampir semua institusi, pada 2003 Amien meninggalkan pekerjaan di PricewaterhouseCoopers. Ia mendaftar sebagai pimpinan KPK.
Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 23 Januari 1960, ini bercerita, 1996-1999 ia bermimpi upaya pemberantasan korupsi bisa efektif, sebagaimana teori yang ada dalam strategi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Ia pernah menjadi pegawai BPKP pada 1982-2000.
”Melihat KPK, saya merasa sebagian mimpi sudah terealisasi. Periode lalu saya membangun capacity building KPK dengan fokus korupsi yang dihantam suap-menyuap. Saya senang, meski pimpinan KPK berganti, jalannya smooth, tak ada gejolak. KPK sebagai organisasi bisa berdiri, sistem organisasi, bisnis proses, dan standard operation procedure sudah berjalan,” ungkapnya.
Selepas dari KPK, ia pernah menjadi staf ahli Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pernah melakukan riset soal korupsi, dan sekarang bekerja di Bank Dunia.
Namun, Amien tetap gundah. Ia menilai pemberantasan korupsi masih tahap permulaan. ”Political will dari Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, dan lain-lain sudah ada, tapi kita belum masuk dalam pemberantasan korupsi sesungguhnya.”
Menurut dia, ada lima hal yang harus dilakukan, yaitu DPR diperkuat, MA diperkuat, strategi pemberantasan korupsi disepakati, dibentuk KPK, dan menangkap ”big fish”.
”Sekarang baru dibentuk KPK, menangkap big fish, dan MA berusaha diperkuat. Sedangkan DPR dan strategi pemberantasan korupsi belum disepakati. Ibarat orkestra, pemberantasan korupsi tak ada patitur dan konduktornya,” katanya.
Seharusnya konduktor itu menurut UU adalah KPK. ”Pemberantasan korupsi tak punya efek jera karena kalah cepat dengan aksi koruptor. Kalau seminggu bisa dua kali ada orang yang ditangkap, pasti orang takut. Namun, yang tertangkap tiga bulan baru sekali, jadinya orang berpikir yang tertangkap itu apes saja.”
Ia membayangkan KPK menjadi organisasi besar dengan sumber daya manusia 5.000 hingga 10.000 orang profesional. ”Tapi terbentur perdebatan lama, penyidik KPK hanya dari polisi dan jaksa. Padahal, polisi dan jaksa saja kekurangan orang.”
Ia menaruh perhatian pada penguatan DPR, sebab perannya besar, sebagai pembuat legislasi, kewenangan menentukan anggaran, dan pengawasan kinerja eksekutif.
Meski tak lagi di KPK, mimpi Amien tak berhenti: Indonesia yang bebas korupsi. (ORIN BASUKI/ SUSANA RITA/ VINCENTIA HANNI)
Sumber: Kompas, 29 Oktober 2008