Tak Cukup Hanya Keluarkan Aturan

Selama ini pemerintah sering beranggapan, dengan dikeluarkan aturan segala masalah sudah selesai. Hal ini juga berlaku pada pemberantasan korupsi. Pemerintah tampaknya merasa cukup dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

”Inpres dikeluarkan, tetapi tak pernah dievaluasi. Presiden tidak dapat memastikan apakah agenda pemberantasan korupsi dilaksanakan atau tidak,” kata Penggiat Gerakan Antikorupsi, Saldi Isra, Selasa (22/7) di Jakarta.

Seperti diberitakan, korupsi di negeri ini tidak hanya menyebar dan menjerat pemerintah mulai dari Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua, tetapi juga menyebar di instansi pemerintah. Meski sejumlah tersangka pelaku korupsi ditangkap dan diadili, tetapi korupsi baru tetap bermunculan. Tak ada efek jera (Kompas, 21-22/7).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, juga mempersilakan masyarakat mewacanakan hukuman mati untuk pelaku korupsi. Sebenarnya Pasal 2 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi menegaskan, pelaku korupsi bisa dijatuhi hukuman mati. Koruptor yang bisa dijatuhi hukuman mati adalah mereka yang melakukan korupsi saat negara dalam keadaan bahaya, pada waktu terjadi bencana alam nasional, pengulangan, atau saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Menurut Saldi, pemberantasan korupsi harus dimulai dari kejaksaan dan Polri. Sulit berharap ada perkembangan signifikan pemberantasan korupsi bila tak ada pembaruan di kejaksaan. ”Selama ini inpres itu tidak dievaluasi. Lebih memalukan lagi, skandal di kejaksaan terbongkar. Ini membuktikan mereka tak peduli dengan inpres atau agenda presiden,” ujarnya.

Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Hasanuddin Yusuf mengusulkan, kartu tanda penduduk (KTP) pelaku korupsi, yang dipidana dan berkekuatan hukum tetap, diberi kode khusus yang menunjukkan yang bersangkutan eks koruptor (EK). Hal ini untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.

Hasanuddin, di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa, menegaskan, ”Selama ini hukuman mati bagi pelaku korupsi tak pernah dan sulit diterapkan di Indonesia. Sebab itu, anggota KNPI mengusulkan agar memberikan cap EK bagi pelaku korupsi.”

Hasanuddin mengakui, usul itu memang kontroversial dan pemerintah bisa dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM), seperti ketika eks tahanan politik (tapol) diberi cap eks tapol (ET) di KTP-nya. Namun, langkah itu perlu untuk menuntaskan pemberantasan korupsi.

Sikap partai politik

Secara terpisah, di Jakarta, Selasa, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Pramono Anung Wibowo menegaskan niat menjadikan PDI-P sebagai partai antikorupsi. PDI-P sepakat tidak akan memberikan pembelaan kepada kader yang terlibat korupsi dan segera mencopot yang bersangkutan dari jabatannya begitu ditetapkan sebagai tersangka. ”Dalam rapat resmi yang dipimpin Ketua Umum, kami sepakat bila ada kader PDI-P terkena kasus korupsi tidak akan diberikan perlindungan,” kata Pramono Anung.

Ia melanjutkan, sekarang ada beberapa kader PDI-P yang dikeluarkan dari keanggotaan partai karena terlibat korupsi. Mereka juga dilepas dari jabatannya, termasuk sebagai ketua DPRD.

”Pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan hanya dengan retorika. Perlu contoh,” tegasnya.

Terkait biaya politik yang tinggi, yang mendorong politisi melakukan tindakan korupsi, kata Pramono, PDI-P telah membangun tradisi berpolitik dengan biaya yang tidak mahal, dengan gotong royong. ”Mulai dari Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jawa Tengah, dan Bali, tak ada calon dari PDI-P yang dipungut sesen pun. Partai malah keluar untuk bergotong royong. Boleh ditanyakan kepada mereka,” ujarnya.

Namun, pengajar hukum dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Isharyanto, menilai praktik korupsi kian merajalela karena pemerintah dan partai politik tak memiliki komitmen yang tegas dalam memerangi korupsi. ”Sampai saat ini kita bisa melihat banyak anggota DPR tertangkap oleh KPK. Mereka adalah kader partai. Sayangnya, partai terkesan cuci tangan dan tidak ada sikap tegas terhadap kader yang menjadi pelaku korupsi,” ujarnya.

Jika tak cuci tangan, yang dilakukan parpol adalah membela kadernya yang terjerat korupsi. ”Jika ingin berantas korupsi, parpol jangan sekali-kali membela koruptor,” katanya.

Menurut Isharyanto, kehadiran KPK dan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi secara tidak langsung merupakan pengakuan, korupsi di Indonesia saat ini dalam kondisi darurat.

Mentalitas jadi hambatan

Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar mengakui, mentalitas masyarakat yang permisif dan buruknya mentalitas birokrat menjadi salah satu hambatan proses pemberantasan korupsi. Dihubungi Selasa di Jakarta, ia mengatakan, sebagian masyarakat beranggapan, memberi uang terima kasih kepada aparat merupakan hal biasa.

Di sisi lain, pejabat atau aparat pemerintah melihat, melayani atasan adalah pekerjaan utama dan melayani masyarakat adalah pekerjaan tambahan. ”Karena itu, wajar jika memperoleh uang terima kasih dari warga,” katanya.

Ia memisalkan, untuk membuat KTP, warga harus mengeluarkan uang cukup banyak dan waktu yang lama. Selain itu, aparat pemerintah umumnya juga terjebak dalam formalitas saja.

Mereka kerap membuat seminar, studi banding, modul, atau aturan yang harus dilaksanakan hingga ke tingkat bawah. Proses itu tidak hanya membutuhkan waktu yang banyak, tetapi juga dana yang tinggi dan hasilnya kurang bisa dinikmati masyarakat. ”Hasilnya ada, tetapi formalitas saja. Yang dirasakan oleh masyarakat tidak ada,” ujarnya.

Dia mengakui, sejumlah daerah membuat rencana aksi pemberantasan korupsi. Namun, hanya laporan, tanpa tindakan konkret. (jos/sut/son/ana/har)

Sumber: Kompas, 23 Juli 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan