Syahril Sabirin Mungkin Bebas?
Itulah jawaban Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan menjawab Firdaus yang mengharapkan pemerintah menyuntikkan dana baru untuk Bank Century karena likuiditas bank itu nyaris mendekati nol. Jawaban tertulis Menkeu terdapat dalam notula rapat KSSK pada 24 November 2008.
Pada bagian lain notula itu, Sri Mulyani menjawab lagi peserta rapat lain, ”Mau dari langit, mau dari sumur, terserah. Sampai LPS habis sumsumnya. baru datang ke saya. Jangan sedikit-sedikit membagi pusing ke saya....”
Apa makna penggalan jawaban Sri Mulyani itu? Apalagi kini muncul kontroversi uang negara atau bukan atas dana yang digelontorkan ke Bank Century senilai Rp 6,76 triliun melalui LPS itu.
Keuangan negara
Laporan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjelang akhir tahun terhadap Bank Century tidak tegas menyimpulkan pada sembilan temuannya terkait proses merger, penyehatan melalui fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) oleh Bank Indonesia (BI) atau penyertaan modal sementara (PMS) oleh negara melalui LPS sebagai uang negara.
Persoalan muncul setelah Ketua BPK Hadi Purnomo menjawab pertanyaan anggota Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century soal dana Rp 6,76 triliun. Ia menjawab lugas, itu adalah uang negara.
Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang LPS menjelaskan, laporan keuangan LPS diaudit BPK. Artinya, kata Hadi, dana di LPS adalah uang negara. BPK memeriksa keuangan negara.
Apalagi, kata Hadi, modal awal LPS senilai Rp 4 triliun dari APBN. Pemerintah pun memfasilitasi operasional LPS karena tugasnya memberikan jaminan kepada nasabah semua perbankan nasional.
Namun, Kementerian Keuangan menolak kalau dana penyertaan itu dinilai sebagai uang negara. Di depan Pansus Century, Sri Mulyani menegaskan, uang negara tak dipakai untuk Bank Century. Uang negara, sebagai modal awal di LPS, masih ada. Dana LPS adalah kekayaan negara yang dipisahkan sehingga dana itu bukan uang negara.
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Hekinus Manao kepada Kompas, Rabu (27/1) di Jakarta, menjelaskan, keuangan negara dan uang negara harus dibedakan. Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang disebut keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Keuangan negara meliputi hak negara memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, melakukan pinjaman, menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara, dan membayar tagihan pihak ketiga, selain juga penerimaan dan pengeluaran negara, serta penerimaan dan pengeluaran daerah serta surat berharga, seperti piutang, kekayaan yang dipisahkan, kekayaan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah, dan kekayaan pihak lain di mana fasilitas negara digunakan.
”Adapun uang negara adalah uang yang dipisahkan bendahara umum negara. Ini sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah. Tidak semua keuangan negara itu adalah uang negara,” ujarnya.
Menurut Hekinus, dana penyertaan pemerintah lewat LPS di Bank Century bukan uang negara meski termasuk keuangan negara. Alasannya, meski modal awal masuk, itu bukan lagi uang negara, melainkan kekayaan negara yang dipisahkan. Sebab, sudah bercampur dengan premi asuransi yang disetorkan semua bank di Indonesia.
”Dana itu tidak lagi dikelola bendahara umum negara dan bendahara umum negara tidak bisa mengambil lagi dana itu. Dana di LPS bukan lagi uang negara, tetapi kekayaan yang dipisahkan. Penggunaan dana itu tunduk pada rezim hukum atau aturan UU LPS, bukan pada UU APBN,” kata Hekinus.
Ia membedakan dengan dana pencari keadilan yang dititipkan di pengadilan sampai di Mahkamah Agung (MA). ”MA pernah menyatakan, uang titipan itu bukan uang negara. BPK menilai itu uang negara. BPK benar karena uang itu dikelola bendahara umum di pengadilan atau di MA. Dana itu masuk kategori uang negara,” katanya.
Masalah uang negara atau bukan dalam kasus Bank Century menjadi penting karena bakal menentukan nasib Pansus. Apabila dana bail out Bank Century diputuskan bukan uang negara, selesailah kasus itu. Bail out itu bukan urusan publik, tetapi privat. Bukan ranah hukum pidana, melainkan perdata. Kasus itu menjadi urusan antara LPS sebagai badan usaha dan PT Bank Century.
Apabila diterapkan kasus Bank Century menjadi urusan perdata, bukan pidana, kasus seperti pengalihan hak tagih piutang (cessie) Bank Bali di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) senilai Rp 546 miliar dan kasus dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) milik BI dalam kasus diseminasi DPR, masuk ranah hukum privat atau perdata pula. Dengan demikian, mantan Gubernur BI Syahril Sabirin dan Direktur Utama PT Era Giat Prima Cs Djoko S Tjandra, beserta Burhanuddin Abdullah, jajaran Dewan Gubernur BI lainnya, dan beberapa anggota Komisi IX DPR, yang divonis penjara dan dikuatkan oleh MA, harus dibebaskan. Mereka jelas tidak terbukti merugikan uang negara. Pasalnya, pengalihan dana cessie Bank Bali dan dana yang dikucurkan YPPI bukanlah uang negara.
Jika piutang Bank Bali di BDNI, yang sudah disuntik dana oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bukan uang negara, melainkan uang Bank Bali, Syahril Sabirin dan kawan-kawan pun tidak boleh menjalani hukuman.
Demikian juga apabila dana yang dikucurkan BI untuk kepentingan DPR dinilai bukan berasal dari uang negara, melainkan uang pegawai BI yang dikelola yayasan, akibatnya tidak ada unsur merugikan uang negara. Konsekuensinya, Burhanuddin Abdullah, jajaran Dewan Gubernur BI lainnya, dan mantan anggota DPR pun harus bebas.
Keuangan negara ala KPK
Kini, bail out Bank Century kian semakin menjadi kontroversial. Apalagi setelah dua pakar hukum diundang ke Pansus Century, baru-baru ini, dan berbeda pendapat. Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Erman Rajagukguk, menyatakan, uang di badan hukum adalah milik badan hukum itu. Meski berasal dari APBN, dana Rp 4 triliun sudah menjadi modal LPS sehingga bukan lagi uang negara.
Namun, mantan hakim konstitusi, HAS Natabaya, melihat dana LPS adalah kekayaan negara. Karena itu, BPK berhak memeriksa laporan keuangan LPS.
Mantan Gubernur BI Boediono, saat ditanya Pansus Century, ”tidak bisa” menjawab soal uang negara atau bukan dalam kasus Bank Century itu. Adapun mantan Deputi Gubernur Senior BI Anwar Nasution mengatakan, dana LPS diambil dari uang negara di APBN. Hal itu juga diperkuat mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menegaskan, dana bail out adalah bagian dari keuangan negara.
Namun, selama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjalankan fungsi penegakan hukumnya tanpa membedakan uang negara dan keuangan negara. Contoh, kasus diseminasi BI dan bantuan hukum untuk mantan pimpinan BI, yang memakai dana YPPI, tetap diseret ke pengadilan. Mereka yang diduga bertanggung jawab pun tetap dipidana.
KPK hanya mengenal keuangan negara. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keuangan negara adalah semua kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan. Keuangan negara juga termasuk segala bagian kekayaan negara serta segala hak dan kewajiban yang timbul karena adanya penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara di pusat dan daerah.
Makna keuangan negara juga termasuk hak dan kewajiban yang berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN dan BUMD, yayasan, badan hukum atau perusahaan bilamana menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. [suhartono]
Sumber: Kompas, 2 Februari 2010