Survei Pilkada; Politik Uang Paling Diminati Rakyat
Hasil Survei Pilkada
Politik uang selalu marak pada setiap pilkada. Apakah itu mengganggu publik? Survei ternyata menunjukkan sebaliknya. Hasil survei yang dilakukan Universitas Paramadina bersama Pride Indonesia menunjukkan bahwa persentase keinginan warga yang paling tinggi adalah agar pasangan calon memberikan uang kepada mereka.
Dalam survei yang mengambil sampel pilkada di Kabupaten Mojokerto tersebut, 14,9 persen warga berharap peserta pilkada itu memberikan uang jika ingin dipilih. "Ini adalah angka yang mengkhawatirkan," kata Abd Rohim Ghazali, peneliti senior Pride, dalam keterangan pers di Gedung Energy, Jakarta, kemarin (10/8).
Warga yang menginginkan calon memberikan sembako mencapai 10,6 persen. Sedangkan warga yang berharap sang calon memberikan modal usaha sebanyak 5,3 persen. Survei tersebut dilakukan 20-25 Mei 2010 dengan melibatkan 400 responden di 18 kecamatan di wilayah Mojokerto.
Menurut Ghazali, hasil survei itu menunjukkan dengan jelas bahwa praktik politik uang bukan hanya direstui, tapi juga diminati masyarakat. Sementara itu, jawaban pertanyaan terkait dengan penegakan idealisme demokrasi oleh pasangan calon sangat rendah. "Jawaban seperti menepati janji, merakyat, memiliki visi-misi, dan jujur kurang diminati publik," papar Ghazali.
Jika data itu tidak cukup, jawaban responden terhadap pertanyaan yang ditujukan ke parpol ternyata juga seragam. Jika parpol ingin dipilih (dalam pemilu legislatif), 11,5 persen responden berharap parpol tersebut memberikan uang. Sebanyak 9,3 persen responden meminta parpol memberikan sembako. Lagi-lagi, persentase jawaban responden yang ingin diberi uang adalah tertinggi jika dibandingkan dengan jawaban lain.
Ghazali menyatakan, hasil itu tentu memprihatinkan. Pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata belum menunjukkan hasil. Keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi hanya bersifat preventif atau pencegahan. "Itu pun kalau ada," kata Ghazali.
Ketua Yayasan Paramadina Didik J. Rachbini menambahkan, praktik politik uang itu bisa terjadi antarpribadi maupun secara kolektif. Namun, pada perkembangan saat ini, politik uang telah bermetamorfosis dalam berbagai bentuk. Seperti jalan, jembatan, sekolah, sembako, obat-obatan, bahkan rumah ibadah. "Politik uang yang sudah bermetamorfosis sulit dibuktikan," kata Didik. Itu bisa sebagai dalih wujud bakti sosial pasangan calon kepada warga.
Didik menyatakan, jawaban warga Mojokerto dalam survei tersebut memang tidak bisa dianggap sebagai representasi seluruh warga Indonesia. Namun, hasil survei itu relevan dengan data bahwa pilkada adalah salah satu penyebab praktik korupsi di Indonesia. "Belum lagi ditambah dengan efek kerusuhan sosial yang juga terjadi di pilkada," kata mantan ketua DPP PAN tersebut. Pilkada Mojokerto tercatat sebagai pilkada yang rusuh. Pada 21 Mei lalu, terjadi kerusuhan dengan perusakan fasilitas daerah oleh mereka yang tak bertanggung jawab.
Berdasar hasil pantauan ICW, sebagaimana disampaikan juga dalam survei itu, setidaknya ada lima incumbent yang sudah menjadi tersangka korupsi, namun mereka masih terpilih kembali pada pilkada periode berikutnya. Mereka adalah Bupati Rembang Mochamad Salim, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur Sartono, Wabup Bangka Selatan Jamro H. Jalil, dan Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamudin.
Apa yang disimpulkan dalam hasil survei itu? Ghazali menambahkan, perlu adanya perubahan aturan dalam tata cara pilkada. Usul agar pilkada dikembalikan ke pola lama, yakni dipilih langsung oleh DPR, bisa dipertimbangkan. Namun, usul agar ada revisi mengenai mekanisme pilkada dalam UU Pemda adalah wacana yang lebih baik. "Persyaratan dan sanksi harus diperketat, perlu juga diatur batasan dana kampanye." (bay/c3/tof)
Sumber: Jawa Pos, 11 Agustus 2010