Surga bagi Kaum Koruptor
VONIS bebas bagi terdakwa koruptor di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di beberapa daerah sangat mengecewakan publik. Jika hal ini dibiarkan, dikhawatirkan pengadilan tipikor malah menjadi surga bagi koruptor pada tingkat lokal. Senin (10/10/11) Pengadilan Tipikor Kota Semarang menjatuhkan vonis bebas kepada Oei Sindhu Stefanus, Dirut PT Karunia Prima Sedjati, terdakwa kasus korupsi sistem informasi administrasi kependudukan on line tahun anggaran 2006-2007 Pemkab Cilacap.
Sehari kemudian, Pengadilan Tipikor Bandung mengeluarkan putusan yang lebih menyakitkan, membebaskan terdakwa kasus korupsi Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Muhammad. Padahal jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Terkait dengan putusan di Bekasi, KPK mengajukan permohonan kasasi. Jaksa KPK Ketut Sumedana berharap hakim yang memeriksa memori kasasi mereka merupakan sosok kredibel (SM, 18/10/11).
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kurang dari dua tahun, sejak lahirnya UU PengadilanTipikor tahun 2008, sudah 26 terdakwa kasus korupsi divonis bebas pengadilan tipikor. Ke-26 terdakwa korupsi yang menikmati vonis bebas itu terdiri atas 1 orang yang kasusnya diputuskan di Pengadilan Tipikor Jakarta, 1 orang di Semarang, 21 orang di Surabaya, dan 3 lainnya di Pengadilan Tipikor Bandung.
Kecenderungan ‘’banyaknya’’ vonis bebas untuk terdakwa korupsi oleh pengadilan tipikor di daerah lebih dipicu oleh hakim yang integritasnya lemah, termasuk dari sisi ideologi. Kasus vonis bebas untuk Mochtar Muhammad merupakan sejarah karena untuk kali pertama KPK dikalahkan oleh putusan janggal. Sebelumnya, semua kasus korupsi yang ditangani jaksa KPK ke pengadilan tipikor, divonis bersalah.
Vonis bebas di pengadilan tipikor harus segera diakhiri, dengan menjadikan pengadilan antikorupsi itu menjadi tanggung jawab bersama untuk selalu diawasi. Jangan sampai pilot project pembentukan pengadilan tipikor di 5 daerah gagal sehingga menambah pesismisme. Beberapa lembaga perlu diikutsertakan memperbaiki kinerja pengadilan tipikor.
Uji Ulang Kinerja
Komisi Yudisial (KY) sangat berperan dan wajib memeriksa hakim tipikor yang mengeluarkan amar putusan kontroversial, membebaskan terdakwa korupsi, sebagaimana di Semarang, Bandung, dan Surabaya. Termasuk mengeksaminasi semua putusan pengadilan tipikor yang membebaskan terdakwa korupsi. Pada sisi lain, secara intens KY perlu memprioritaskan pengawasan etika dan perilaku hakim tipikor, baik hakim karier maupun adhoc, dalam kedinasan dan di luar dinas.
Lembaga lain yang harus bertanggung jawab adalah Mahkamah Agung (MA), dan untuk memberi efek jera, bisa mencopot hakim yang terbukti bersalah memberikan putusan bebas kepada terdakwa korupsi. Selain itu, perlu menguji ulang kinerja seluruh hakim tipikor di daerah, termasuk mencopot hakim-hakim hitam di pengadilan antikorupsi dan pengadilan negeri.
Terkait dengan putusan bebas di pengadilan tipikor, ke depan perlu strategi baru pemberantasan korupsi. KPK, kepolisian, dan kejaksaan harus bersinergi. Posisi KPK yang selama ini menjadi ujung tombak, perlu didorong menjadi pemberi keseimbangan dalam penegakan hukum antikorupsi. Caranya, komisi itu harus lebih fokus pada ‘’korupsi’’ penegakan hukum (mafia peradilan) dan korupsi politik.
Adapun kepolisian dan kejaksaan diberi kepercayaan menangani kasus korupsi di daerah, dengan supervisi dan berkoordinasi dengan KPK. Dengan begitu sangat ideal, ketika kepolisian dan kejaksaan juga bermasalah dalam menangani kasus korupsi maka kemungkinan KPK-lah yang menangani adanya mafia peradilan itu.
Putusan kontroversial dari pengadilan tipikor di Bandung dan Semarang dikhawatirkan menjadi virus yang bisa menyebar ke pengadilan tipikor lainnya, termasuk di luar Jawa. Apalagi MA menargetkan pembentukan pengadilan tipikor di 33 provinsi. Ke depan, perlu kerja sama antarpenegak hukum dalam mengevaluasi dan menyiapkan pembentukan pengadilan tipikor. Jangan sampai penyakit bawaan ini menyebar dan menjadi malapetaka bagi pengadilan tipikor yang awalnya diharapkan menjadi kuburan bagi koruptor tapi dalam perkembangannya menjadi surga bagi kaum koruptor. (10)
Apung Widadi, anggota Badan Pekerja ICW, mantan aktivis KP2KKN Jawa Tengah
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 19 Oktober 2011