Super-Gayus...
Gayus HP Tambunan, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang dilahirkan di Jakarta, 9 Mei 1979, kembali membuat berita. Jumat (5/11) malam, orang yang diduga dirinya diketahui menonton pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions 2010 di Bali. Bahkan, sosok itu sudah tertangkap video sehari sebelumnya. Padahal, seharusnya dia mendekam di sel di Rumah Tahanan Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Kemarin, ia pun mengakui berada di Bali.
Keberadaan Gayus di Bali menjadi babak baru dari drama kasus pajak yang telah menjadikannya sebagai terdakwa. Drama itu dimulai pada Maret lalu saat mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji menyatakan ada dugaan makelar kasus terkait dana Rp 25 miliar di Markas Besar Polri.
Drama kasus Gayus yang sempat pergi ke Singapura sebelum ditahan itu semakin membuat publik bertanya ketika dalam persidangan dia menjelaskan asal uang Rp 100 miliar miliknya. Uang itu, menurut Gayus, berasal dari wajib pajak seperti PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin, dan PT Bumi Resources. Sebagian saham perusahaan itu dimiliki keluarga Bakrie.
Apa yang dilakukan Gayus belakangan ini menjadi lebih menarik jika dibandingkan dengan latar belakangnya yang sebenarnya bukan siapa-siapa. Dia baru berusia 31 tahun dan sebelumnya hanya pegawai negeri dengan golongan IIIA.
Andai Gayus lulusan Akademi Militer atau Akademi Kepolisian, pangkatnya saat ini mungkin baru kapten atau ajun komisaris. Dengan pangkat itu, jabatan yang dapat dia raih hanya kepala kepolisian sektor (polsek), yang berkuasa untuk wilayah kecamatan. Itu pun untuk kepala polsek di luar wilayah DKI Jakarta karena di Jakarta sudah dijabat oleh komisaris atau setingkat mayor.
Dengan statusnya sebagai pegawai golongan IIIA, gajinya dari Kementerian Keuangan juga hanya sekitar Rp 12,1 juta setiap bulan atau Rp 145,2 juta setahun.
Insentif
Namun, nyatanya, Gayus bisa mendapat insentif hingga Rp 100 miliar atau, jika dihitung dengan gajinya terakhir sebagai pegawai negeri sipil, setara dengan gajinya selama 688,7 tahun. Sulit membayangkan jasa apa yang telah dilakukan Gayus atau berapa keuntungan wajib pajak akibat ulah Gayus sehingga mereka bersedia memberikan insentif sebesar itu?
Lebih sulit lagi membayangkan insentif apa yang akan diterima pegawai pajak yang posisinya di atas Gayus jika mereka juga melakukan kegiatan seperti Gayus. Padahal, sebagai pegawai golongan IIIA, Gayus tidak punya cukup wewenang untuk mengambil keputusan. Dengan demikian, hal yang wajar jika dalam perkara ini diduga kuat ada pihak lain yang lebih memiliki kuasa ikut terlibat.
Jika Gayus yang bukan ”siapa-siapa” ini ternyata mendapat jalan keluar dari tahanannya dan diduga bahkan sampai berjalan-jalan hingga ke Bali, lalu bagaimana dengan tahanan yang punya latar belakang ”lebih” dari dia, baik lebih kaya maupun lebih memiliki kekuasaan? Perlakuan istimewa apa yang diperoleh, misalnya, oleh anggota DPR, mantan menteri, atau kerabat dekat penguasa yang kebetulan sedang berurusan dengan hukum?
Akhirnya, jika kasus Gayus ini tidak dapat terungkap tuntas, lalu kasus apa yang dapat diungkap tuntas di negara ini? Sebab, Gayus memang super, tetapi pastinya masih ada yang jauh lebih super (berkuasa) daripada dia. (M Hernowo)
Sumber: Kompas, 16 November 2010