Sprindik Baru untuk SN
Terhitung sudah empat belas hari sejak (29/9) Hakim Tunggal Cepi Iskandar mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto (SN). Status tersangka SN dalam kasus dugaan korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun telah gugur pasca putusan praperadilan tersebut dibacakan. Kendati demikian, hal tersebut tidak berarti menggugurkan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan sang ketua DPR tersebut.
Putusan praperadilan SN yang dikabulkan hakim telah menjadi pukulan keras bagi pemberantasan korupsi, khususnya dalam penuntasan kasus mega korupsi e-KTP. Tak hanya itu, putusan tersebut juga memunculkan kontroversi dan dinilai telah mencederai sistem peradilan di Indonesia dan tidak mencerminkan keadilan yang berpihak kepada masyarakat, termasuk dalam upaya pemberantasan korupsi.
Dalam sidang praperadilan SN, sejumlah kejanggalan telah terindikasi sebelumnya. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sejak awal paling tidak ada enam kejanggalan hakim Cepi dalam proses persidangan. Pertama, hakim menolak memutar bukti keterlibatan SN dalam korupsi-e-KTP. Kedua, hakim menunda mendengar keterangan ahli dari KPK. Ketiga, hakim menolak eksepsi KPK. Keempat, hakim abaikan permohonan intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar dalam sistem informasi pencatatan perkara. Kelima, hakim bertanya kepada ahli KPK tentang sifat adhoc KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan. Dan yang keenam, laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus Angket dijadikan bukti praperadilan.
Dengan adanya putusan praperadilan yang memenangkan SN, julukan “belut” terhadap dirinya makin kuat.
Namun patut diketahui, kekalahan KPK dalam praperadilan bukanlah akhir dari pengungkapan perkara korupsi e-KTP. Meski putusan itu telah memenangkan Setya Novanto, bukan berarti sang ketua DPR bisa lepas dari jeratan. KPK dapat kembali menjerat Novanto sebagai tersangka dalam dugaan korupsi e-KTP. Hal tersebut dimungkinkan dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 4 Tahun 2016, pasal 2, ayat (3). Ketentuan tersebut jelas mengatakan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak menggugurkan tindak pidana, dan kewenangan penyidik untuk menetapkan kembali seseorang sebagai tersangka dengan sedikitnya dua alat bukti baru.
Selain Perma No 4, belum lama ini lahir putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 42/PUU-XV/2017. Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa aparat penegak hukum bisa menggunakan alat bukti yang pernah dipakai pada perkara sebelumnya, dengan catatan alat bukti tersebut harus disempurnakan.
Hal tersebut setidaknya telah memberikan jalan sekaligus memberikan keuntungan bagi KPK untuk melanjutkan perkara yang sebelumnya menjerat Novanto. Oleh karena itu, KPK harus segera menerbitkan Sprindik baru dan menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka. Mengantisipasi adanya kejadian serupa, yakni praperadilan, KPK hendaknya langsung melakukan pemeriksaan, penahanan dan melimpahkan perkara ke persidangan. Publik masih percaya bahwa KPK akan menuju tahap ini dalam waktu yang tidak terlalu lama. *** (Tibiko/Adnan)