Spirit Antikorupsi Anak Muda

APA yang dapat dilakukan oleh pemuda dalam pemberantasan korupsi? Pertanyaan ini dibicarakan dalam sesi mencari spirit dan praksis antikorupsi, dengan pembicara Anhar Gonggong, Romo Benny Susetyo, dan Refly Harun. Moderatornya, M Alfan Alfian M, Direktur Riset Akbar Tandjung Institute, Jakarta, yang sekaligus melaporkannya dalam tulisan ini.

Setelah meninjaunya dari perspektif sejarah, khususnya setelah kemerdekaan hingga masa kini, sejarawan Anhar Gonggong pesimis. ''Pemuda tidak memiliki posisi strategis dalam pemberantasan korupsi,'' katanya. Anhar beralasan, selama ini tidak pernah ada gerakan antikorupsi yang secara kontinu dari kalangan pemuda (juga kalangan agamawan).

Kepesimisan Anhar bertambah tatkala ia melihat figur-figur muda masa kini tidak mampu tampil sebagai alternatif. Anhar mengeluhkan sikap politikus muda di parlemen yang tidak berhasil menunjukkan daya kritisnya. Dalam kasus kenaikan tunjangan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Anhar melihat para politikus muda itu gagal menunjukkan empatinya terhadap penderitaan rakyat.

Romo Benny Susetyo mencatat sesungguhnya kaum muda di Tanah Air sudah kehilangan harapan pada negara dalam pemberantasan korupsi. Romo Benny mencatat puluhan item sikap kritis kaum muda terhadap peran-peran negara yang lemah, namun sepertinya pemuda amat tidak berdaya. ''Pemuda memiliki tingkat ketergantungan dan ketidakmandirian yang tinggi,'' tuturnya. Karena itu, pemuda lebih banyak terjebak pada sikap pragmatis dan hedonis.

Dalam spektrum yang lebih luas, Romo Benny Susetyo melihat mentalitas demikian disebabkan oleh berkembangnya kultur yang soft, semacam kultur Mataram-agraris, yang kurang suka bekerja keras. Kultur ini menumbuhkan sikap yang pasif dan permisif terhadap perilaku korupsi dalam masyarakat. Kultur patron-klien dan neofeodal yang masih demikian kental di tengah-tengah masyarakat, mempersubur ketidakmandirian kalangan pemuda, dan meniadakan sensitivitas antikorupsi.

Sementara itu, Refly Harun, intelektual muda dari Mahkamah Konstitusi (MK), menambahkan merebaknya korupsi, antara lain karena kebanyakan pejabat dan tokoh masyarakat suka mencampurkan antara domain privat dan domain publik. Dalam perspektif sosiologis dan kultural, katanya, sesungguhnya masyarakat sepakat keharusan pemberantasan korupsi. Tetapi ironisnya, setelah dibawa ke meja hukum, tidak pernah ada kesepakatan yang pasti tentang korupsi. Karena itu dapat dipahami mengapa banyak kasus korupsi yang mentok ketika diselesaikan secara hukum.

***

Korupsi di masa kini memang sudah berkembang kompleks, dengan banyak variasi, baik hard corruption maupun soft coruption. Karenanya, menurut Refly, pemberantasan korupsi harus berpijak pada pilihan, strategi, dan pembagian tugas yang jelas.

Dalam hal ini apa yang dapat diperankan oleh pemuda? Refly sepakat dengan Anhar, bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi oleh kalangan (gerakan) pemuda adalah sesuatu yang bersifat ahistoris. ''Tetapi, kita harus memulainya, justru dari hal yang kecil-kecil,'' katanya. Refly cenderung lebih optimis bahwa pemuda memiliki potensi antikorupsi yang dapat dikembangkan. ''Yang penting kita harus membangun sosok-sosok independen dan kritis di unitnya masing-masing,'' tuturnya.

Pendapat Refly tentang keharusan independen sejalan dengan Romo Benny. Selain mengajak pemuda untuk memperkuat poros warga dalam kaitannya dengan poros negara dan poros pasar, serta perselingkuhan poros negara dan pasar, Romo Beny menekankan pentingnya sikap independen di kalangan pemuda.

''Organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan harus mampu bersikap independen terhadap kakak-kakak mereka,'' katanya. Tanpa mampu bersikap independen dalam arti yang sebenarnya, pemuda akan selalu tergantung dan tidak pernah mandiri.

Suatu otokritik muncul dari Marbawi dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), betapa organisasi kepemudaan susah untuk melakukan counter culture, sebagaimana diharapkan Romo Benny, justru karena 'jenis kelamin' mereka 'tidak jelas', apakah civil society, negara atau pasar. Kenyataan ini tentu menyulitkan kalangan pemuda dalam memperkuat poros warga.

Sementara itu, Wiwin dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), menambahkan bahwa sesungguhnya ada kultur kerja keras (dan hal itu ditunjukkan oleh para petani kita), tetapi karena sistem yang ada koruptif, kerja keras itu sia-sia.

Realitasnya, banyak hal yang membuat kita pesimis melihat mengguritanya korupsi di Indonesia. Pesimis pula pada peran pemuda. Tetapi, begitu pun, masih terdapat celah-celah optimisme: justru dimulai dari tempat masing-masing berkiprah.

Sumber: Media Indoensia, 31 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan