SP-3 Produk Hukum atau Politik? [04/08/04]

Pro kontra munculnya surat perintah penghentian penyidikan (SP-3) terhadap perkara Syamsul Nursalim terkait dengan kasus BLBI oleh Kejaksaan Agung RI cukup menarik untuk dikaji dari perspektif hukum. Kajian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi, agar masyarakat tidak terjebak ke dalam opini yang sengaja atau tidak, berkembang yang dapat memasung diskresi yang telah diberikan oleh produk legislasi kepada institusi berwenang.

Terhadap SP-3 tidak terbatas hanya pada perkara Syamsul Nursalim, surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP), dan keputusan pengadilan (vonis) berupa putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum sebagai produk hukum, bak jauh panggang dari api. Undang-undang pidana formal (yang dikenal dengan hukum acara pidana) sebenarnya memberikan gradasi yang sama kepada ketiga produk hukum tersebut.

Tetapi ironinya, setiap munculnya masing-masing produk hukum tersebut, tidak saja menuai kontroversi, akan tetapi memunculkan juga sorotan tajam dan tudingan miring seolah-olah telah terjadi pembusukan hukum, meskipun institusi yang menerbitkan produk hukum yang diberi payung hukum oleh undang-undang itu, telah berupaya memberikan penjelasan secara panjang lebar alasan terbitnya produk hukum tersebut.

Walaupun gradasinya sama dari perspektif hukum, namun baik SP-3, SKPP, maupun vonis bebas atau lepas dari tuntutan pidana, ada esensi yang berbeda pada subjek dan objeknya. Subjek SP-3 adalah tersangka dan kewenangan ini berada di koridor penyidikan, sedangkan pada SKPP serta vonis adalah terdakwa dan kewenangan ini masing-masing berada pada penuntut umum dan hakim, dalam koridor penuntutan dan pemeriksaan di depan persidangan.

Dalam hal objeknya, pada SP-3 dan SKPP ada tiga faktor yang dijadikan alasan, pertama, karena perkara tersebut tidak terdapat cukup bukti. Kedua, peristiwa tersebut bukan peristiwa tindak pidana. Atau ketiga, ditutup demi hukum antara lain karena terdakwa meninggal dunia, nebis in idem atau daluwarsa. Sedangkan pada vonis, pertama berupa putusan bebas dari tuntutan pidana (vrijspraak) karena tidak terdapat cukup bukti, dan kedua berupa putusan lepas dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolging) karena adanya alasan pemaaf atau pembenar.

SP-3 terhadap perkara Syamsul Nursalim yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung tersebut, dihubungkan dengan Inpres No 2/2002, jika mengacu kepada kriteria yang ditetapkan hukum acara pidana, maka dikualifikasikan bukan sebagai peristiwa pidana karena hakikatnya awal pengguliran BLBI tersebut merupakan peristiwa perdata. Munculnya wanprestasi harus dilihat dari berbagai aspek. Dapat saja dikarenakan faktor di luar kehendak subjek hukum dan tidak dapat dihindari (post majeur).

Jika kemudian akhirnya subjek hukum sebagai debitur mampu menyelesaikan tunggakannya, maka Inpres tersebut hanya melegitimasi penyelesaian peristiwa perdata tersebut.

Terlalu naif kalau suatu perkara di tingkat penyidikan dan penuntutan yang memenuhi kriteria undang-undang dapat dikeluarkan SP-3 atau dikeluarkan SKPP dipaksakan bergulir ke pengadilan karena ingin memuaskan kepentingan pihak-pihak tertentu yang menyuarakan keadilan dan kepastian hukum, tetapi bertolak belakang dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum itu sendiri.

Dapat dibayangkan suatu perkara karena dipaksakan bergulir ke pengadilan melalui proses yang relatif cukup panjang dan melelahkan, akhirnya kandas karena terdakwa dijatuhi vonis bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Tidak saja waktu dan tenaga sia-sia, tetapi menuai juga stigma tidak profesional bagi penuntut umum dan institusinya, meskipun melakukan upaya hukum.

Refleksi

Fenomena di atas mungkin menjadi pertimbangan pembuat undang-undang memberikan diskresi kepada masing-masing institusi penegak hukum untuk memayungi produk hukum tersebut sesuai dengan kewenangannya. Jika kewenangan itu digunakan, maka secara yuridis harus dipandang sah karena ketiga produk hukum tersebut, meskipun merupakan rangkaian proses yang mengacu kepada asas peradilan cepat, murah, dan sederhana, tetapi ada sekat di dalam percepatan proses penyidikan (speedy investigation process), penuntutan (speedy prosecution process), atau pemeriksaan di persidangan (speedy trial process) yang masing-masing diberikan diskresi oleh undang-undang berupa SP-3, SKPP, dan vonis bebas atau lepas dari tuntutan pidana.

Tetapi harus diingat, meskipun mengacu kepada keinginan untuk mempercepat suatu proses, seyogianya ketiga produk tersebut merefleksikan aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Ketiga aspek tersebut oleh Arief Sidharta dikatakan sebagai cita hukum bangsa Indonesia sebagaimana telah digariskan oleh Pembukaan UUD 1945, menjadi landasan filosofi undang-undang sebagai subordinatnya termasuk hukum acara pidana.

Pemahaman terhadap SP-3 dan SKPP hendaknya tidak secara parsial tetapi harus dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh, mengingat undang-undang tidak menetapkan harga mati. Pada kasus lain, bila di kemudian hari diperoleh bukti baru, SP-3 dan SKPP tersebut dapat dibuka kembali. Berbeda halnya dengan vonis bebas atau lepas dari tuntutan pidana, undang-undang semula sebenarnya telah membatasi tidak dapat dilakukan upaya hukum, tetapi dengan alasan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, yurisprudensi membuka peluang tersebut dan sampai sekarang berjalan bagaikan air mengalir tanpa adanya keberatan dari pembuat undang-undang atau pihak-pihak yang dirugikan.

Sosialisasi dan transparansi

Semua pencari keadilan yang mengharapkan adanya suatu kepastian hukum, pasti menginginkan adanya speedy investigation process, speedy prosecution process atau speedy trial process, terhadap perkara yang menimpa dirinya atau keluarganya, baik itu menyangkut perkara tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus. Tetapi, sorotan tajam dan tudingan miring terhadap produk hukum itu, jelas akan berpengaruh yang dapat memunculkan kegamangan bagi institusi penegak hukum bersangkutan untuk menetapkan kebijakan terhadap SP-3, SKPP, atau vonis bebas maupun lepas dari segala tuntutan pidana.

Kegamangan tersebut, di satu sisi tidak saja akan berdampak terhadap penyelesaian perkara yang memunculkan tunggakan. Di sisi lain akan juga memunculkan ketidakpastian bagi para pencari keadilan. Di dalam penantian tersebut, tidak menentu status hukum baginya dan keluarganya, sedangkan pihak lain juga menunggu dengan tidak sabar. Hal inilah yang dikatakan Hiroshi Ishikawa sebagai delay of justice is denied of justice, menunda suatu keadilan sama halnya berlaku tidak adil.

Terhadap fenomena yang demikian, peranan sosialisasi dan transparansi menjadi penting artinya pada saat sebelum dan atau sesudah SP-3, SKPP, atau vonis bebas tersebut bergulir, meskipun undang-undang tidak mensyaratkannya. Bagi pendidikan hukum hal tersebut perlu, agar masyarakat tidak terjebak ke dalam pro dan kontra yang tidak mustahil penuh muatan kepentingan dan tidak menutup kemungkinan bernuansa politis di balik suara sumbang tersebut.(Marwan Effendy, Pengamat hukum)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 4 Agustus 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan