Soal Mutasi Hakim Tipikor, KPK Tuntut MA Transparan
Bola panas kontroversi sembilan hakim Pengadilan Tipikor masih bergulir. Kali ini giliran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyoroti proses masuknya hakim baru tersebut. Lembaga yang dipimpin Antasari Azhar itu menuntut sistem rekrutmen yang lebih transparan. Menurut Wakil Ketua KPK M. Jasin, pemilihan hakim seharusnya diselenggarakan secara terbuka.
"Pemilihan hakim itu mestinya didasarkan sistem transparan dan bersih," kata Jasin di gedung KPK kemarin. Mahkamah Agung (MA), katanya, juga harus cermat memilih para hakim yang bakal mengadili para terdakwa koruptor tersebut. "Ini bisa didasarkan rekam jejak yang cermat atas prestasi. Di samping itu, melihat catatan jelek di masa lalu," jelas Jasin.
Langkah ini, kata Jasin, dilakukan untuk membangun kepercayaan terhadap MA. "MA sendiri yang berkewajiban membangun kepercayaan publik," katanya. Ini bisa dilakukan dengan menjaga objektivitas sistem rekrutmen para hakim. "Selanjutnya masyarakat bisa menilai langkah MA itu," terang alumnus Universitas Brawijaya Malang tersebut.
Di pihak lain, Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto mengharapkan para hakim baru tersebut bisa percaya dengan hasil kerja keras anak buahnya dalam memberantas korupsi. Desakan terhadap transparansi rekrutmen hakim Pengadilan Tipikor itu juga datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW).
Kemarin para aktivis tersebut mendatangi gedung KPK untuk berdialog terkait mutasi itu. "Kami sudah mengagendakan pembicaraan dengan para pimpinan KPK," terang Wakil Ketua Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho kemarin. KPK, lanjutnya, bisa mempertanyakan transparansi rekrutmen kepada Mahkamah Agung.
"KPK harus melakukan itu. Saya belum melihat komisi berdialog dengan MA untuk memastikan proses ini," ungkapnya. Dalam pandangan LSM antikorupsi, mutasi para hakim ke Pengadilan Tipikor itu dinilai cacat hukum. Sebab, MA dinilai mengabaikan mekanisme pasal 56 ayat 4 UU KPK. Ketua MA wajib mengumumkan proses rekrutmen para hakim kepada publik. Namun, faktanya, MA membentuk tim rekrutmen sendiri dan menjaring 13 orang yang diseleksi menjadi sembilan orang.
ICW mendesak mahkamah untuk mencabut kembali SK mutasi yang telah diteken. Dalam pandangan ICW, enam hakim dari sembilan hakim baru tersebut juga memiliki catatan yang buruk dalam memberantas korupsi. Mereka rata-rata pernah menghadiahkan putusan bebas kepada terdakwa kasus korupsi.
Hakim Panusunan Harahap dan Retno Listowo pernah membebaskan, kasus dugaan korupsi senilai Rp 5,4 miliar yang menyeret Direktur TVRI Sumita Tobing. Hakim Syarifudin Umar tercatat pernah membebaskan 34 terdakwa korupsi saat menjabat di PN Makassar.
Catatan lain, hakim F.X. Jiwo Santoso pernah menghadiahkan vonis bebas dalam kasus dugaan korupsi Koperasi Tirtayani Utama Jogjakarta dengan terdakwa Amelia Yani. Hakim Subachran saat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Blora juga memvonis bebas empat pimpinan DPRD Blora dari dugaan kasus korupsi dana purnabakti senilai Rp 1,4 miliar.
Hal yang sama dilakukan hakim Jupriyadi. Saat berdinas di Pengadilan Negeri Muara Bulian Jambi. Dia membebaskan enam terdakwa kasus korupsi Disnakertrans dan penjualan tanah negara di Batanghari, Jambi.
Sumber koran ini mempersoalkan metode rekrutmen hakim. Yang pasti, para hakim yang dulu direkrut melalui tim independen melibatkan UNDP, DDI, partnership, dan sejumlah lembaga lain. "Rekrutmen juga diumumkan terbuka kepada publik," jelasnya. Mereka yang terpilih harus menjalani pendidikan empat bulan. Berbeda halnya dengan sembilan hakim baru yang hanya menjalani pendidikan dua minggu. "Mereka juga dipilih oleh tim MA," terangnya.
Pemilihan itu, kata sumber tadi, juga tanpa didasari patokan yang standar. "Seharusnya mereka yang terpilih adalah mereka yang peringkat satu atau dua. Ini tidak," katanya. Dia melihat, rencana itu terkait pelemahan Pengadilan Tipikor.
Hal lain, kata dia, tidak jelas apakah pemindahan sembilan hakim tersebut promosi ataukah bukan. "Kenyataannya, mereka hanya menjadi wakil ketua dan tempatnya jauh-jauh," ujarnya. (git/iro)
Sumber: Jawa Pos, 14 April 2009