SKPP Bibit-Chandra; Ramalan yang Menjadi Nyata
Selasa, 1 Desember 2009. Empat unsur pimpinan Komisi III (bidang Hukum) DPR, Benny K Harman, Azis Syamsuddin, Fahri Hamzah, dan Catur Sapto Edi, tiba-tiba menggelar jumpa pers di Gedung DPR, Jakarta.
Dalam kesempatan itu, mereka menyatakan, langkah kejaksaan menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) untuk menghentikan dugaan kasus pemerasan yang dilakukan dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, akan menimbulkan ketidakpastian dan masalah baru.
Hari itu, beberapa jam sebelumnya, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Setia Untung Arimuladi memang menyerahkan SKPP untuk kasus Bibit dan Chandra.
Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, alasan yuridis dan sosiologis menjadi dasar penerbitan SKPP. Namun, jaksa tetap menilai perbuatan Bibit dan Chandra memenuhi delik pidana yang disangkakan dalam Pasal 12 Huruf (e) dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kompas, 2/12/2009).
Saat itu, Benny mengatakan, sesuai Pasal 140 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP), SKPP hanya dapat dikeluarkan jika dalam kasus itu tak ditemukan cukup bukti, kasus yang dimaksud bukan perbuatan pidana, atau demi alasan hukum, yaitu tersangka meninggal, pernah diadili di perkara yang sama, atau kasus sudah kedaluwarsa.
”Saat rapat kerja dengan Komisi III, Jaksa Agung menyatakan berkas perkara Chandra telah lengkap dan siap dilanjutkan ke pengadilan. Karena itu, yang seharusnya dikeluarkan bukan SKPP, namun deponeering atau pengesampingan perkara dengan alasan demi kepentingan umum. SKPP tidak dapat dikeluarkan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap,” kata Azis menambahkan.
Azis menuturkan, masalah SKPP itu dapat lebih rumit jika ada yang menggugatnya. Kemungkinan gugatan dapat dihilangkan jika yang dikeluarkan adalah deponeering.
Senin kemarin, semua kekhawatiran itu terbukti menjadi nyata. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan praperadilan yang dilakukan Anggodo Widjojo, tersangka dalam kasus penyuapan dan menghalangi penyelidikan, terhadap SKPP itu.
Proses hukum seperti banding memang masih dimungkinkan terhadap putusan yang membuat Bibit dan Chandra kembali menjadi tersangka ini.
Namun, putusan itu setidaknya menambah persoalan di dunia hukum dan politik Indonesia, yang belakangan disibukkan oleh sejumlah kasus yang belum juga diusut tuntas, misalnya kasus Bank Century, makelar pajak, dan makelar kasus.
Bahkan, muncul kekhawatiran, seperti dari Sarifuddin Sudding, anggota Komisi III DPR, pembatalan SKPP ini dapat mengurangi konsentrasi KPK mengusut sejumlah kasus, seperti kasus Bank Century. Padahal, KPK dinilai merupakan wasit yang paling netral untuk mengusut kasus itu.
Akhirnya, seperti ditanyakan Catur Sapto Edi, 1 Desember 2009, ”Jadi, keluarnya SKPP ini memang kebetulan atau kesengajaan supaya dapat digugat?”
Sebab, berbagai dugaan konspiratif mulai muncul, seperti SKPP memang disiapkan untuk menyandera KPK jika mereka mulai bertindak ”di luar batas”.
Namun, masyarakat tetap akan membela KPK selama komisi itu terus mengungkap kasus korupsi tanpa memakai ideologi tebang pilih. Karena itu, yang melawan KPK dapat berarti melawan rakyat. (NWO)
Sumber: Kompas, 20 April 2010