SKPP Bibit Chandra; Pilih Cicak atau Buaya?
Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi kini mendapat ujian terberat. Mereka tidak hanya dituntut menunggu calon pimpinan mendaftar, tetapi juga harus mencari ”cicak” hingga ke sarangnya. Kebanyakan yang mendaftar ternyata para ”buaya” atau setidaknya pembela ”buaya”.
Hingga tiga hari menjelang penutupan pendaftaran calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), panitia seleksi sudah menerima 78 pendaftar yang berkasnya dinyatakan lengkap. Sebagian besar, atau sebanyak 28 pendaftar, adalah pegawai negeri sipil, baik yang masih aktif maupun pensiun.
Yang mengejutkan, peminat terbesar kedua adalah kalangan pengacara, yaitu 22 orang. Bahkan, beberapa pengacara itu selama ini diketahui pernah membela koruptor. Selebihnya adalah kalangan polisi, mantan anggota Dewan, pensiunan TNI, seorang jaksa, bahkan dokter.
Tentu saja tak ada hubungan langsung antara pengacara dan pelaku korupsi. Namun, sejauh ini memang belum ada figur yang memiliki jejak rekam hebat ataupun menjanjikan dalam melawan korupsi yang mendaftarkan diri.
Cicak adalah sebutan untuk mereka yang bergiat dalam gerakan antikorupsi, Cinta Indonesia Cinta KPK. Buaya adalah sebaliknya. Istilah ini mengacu saat berkembang istilah kriminalisasi KPK terkait penetapan Bibit dan Chandra sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang dan upaya pemerasan.
Itu pula yang rupanya mendorong pansel tergerak melakukan jemput bola. Ketua Pansel KPK Patrialis Akbar menyatakan telah mengundang tiga institusi untuk mengirimkan kader terbaiknya, yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, dan penegak hukum.
Namun, sejauh ini baru perguruan tinggi yang menyahuti seruan ini. Dari kalangan LSM belum ada tanda-tanda memunculkan jagoannya. Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid mengusulkan lima akademisi yang dinilai baik dan layak memimpin KPK. Mereka adalah Mahfud MD, Jimly Asshiddiqie, Hikmahanto Juwana, Saldi Isra, dan Busyro Muqoddas.
Menurut Hasrul Halili, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pemilihan calon pimpinan KPK kali ini menjadi pertaruhan besar di tengah kian merosotnya citra KPK karena terpaan berbagai kasus. Kasus yang paling menyita perhatian adalah dugaan penyuapan yang menyeret pengusaha Anggodo Widjojo serta unsur pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
”Kalau pansel gagal menyaring orang baik, sama saja dengan menggali kubur untuk KPK. Lembaga ini akan benar-benar di titik nadir kehancuran,” ujarnya.
Ia mengapresiasi upaya pansel menjemput bola ke perguruan tinggi dengan menyurati Forum Rektor Indonesia. Hal itu merupakan terobosan yang baik yang perlu pula diikuti dengan upaya jemput bola ke jaringan antikorupsi di berbagai daerah.
Namun, ia juga melihat ada fenomena tidak tersistematisnya dorongan pada nama-nama baik yang dilakukan jaringan antikorupsi. Ini berbeda saat proses perekrutan KPK jilid satu dan dua. Jaringan antikorupsi mendorong orang-orang baik untuk mengikuti seleksi.
”Tak ada antusiasme. Mungkin mereka dalam posisi dilematis. Tak punya banyak pilihan atau mungkin ada trauma di kalangan jaringan antikorupsi karena tak ada jaminan seseorang tergolong orang baik,” ujarnya.
Hal ini, menurut dia, harus menjadi kritik bagi jaringan antikorupsi. Setiap pihak harus memastikan orang yang diloloskan pansel merupakan orang baik. Pansel adalah saringan pertama. Pasalnya, ketika proses beralih ke DPR, sangat sulit untuk memastikan anggota Dewan tidak memilih orang-orang yang bersedia ”bekerja sama” mengamankan kepentingan mereka.
”Jadi, kalau pansel gagal meluluskan orang baik ke DPR, gagal pula kerja seleksi itu,” ungkapnya.
Rekam jejak pansel
Persoalannya, jejak rekam Pansel KPK, dan juga pansel lembaga tinggi lainnya, ternyata juga buram. Kisah pahit pimpinan lembaga negara yang dipilih melalui mekanisme panitia seleksi berulang kali terjadi, mulai dari komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), anggota Komisi Yudisial (KY) Irawady Joenoes, anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
M Iqbal, serta terjeratnya anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Myra Diarsi dan I Ktut Sudiharsa dengan dugaan pelanggaran kode etik.
Mereka adalah produk pansel yang mekanisme dan prosedur pemilihannya kini sama dengan yang digunakan Pansel KPK. Pansel kian menjadi pekerjaan rutin. Mekanisme perekrutan terpola, yaitu melalui tahap seleksi administrasi, kualitas, kepribadian, dan integritas.
Direktur Indonesia Legal Roundtable Asep Rahmat Fadjar mengungkapkan, banyaknya deretan pimpinan lembaga negara yang terkena kasus menunjukkan adanya ”sesuatu” yang salah dari proses seleksi yang dilakukan. Hasil dari hajatan yang menghabiskan dana miliaran rupiah itu tidak sebaik yang diharapkan.
”Ini tanda tanya besar bagi kita. Ada yang salah, panselnya ataukah mekanismenya? Yang jelas, keduanya tidak mampu mengukur integritas calon,” ujar Asep yang meminta agar publik dan pemerintah memberikan perhatian besar terkait hal itu.
Hasrul Halili mengungkapkan, pansel perlu mengoptimalisasi pelibatan masyarakat sehingga penelusuran bisa dilakukan maksimal. Pansel harus melibatkan jaringan antikorupsi di berbagai daerah untuk memastikan calon bukanlah kuda troya yang akan menyempurnakan kebinasaan KPK.
Selain mengawasi calon, menurut dia, jaringan antikorupsi pun harus mengawasi kerja pansel secara ketat. Pasalnya, pansel ternyata tak luput dari berbagai titipan kepentingan dan nyatanya pansel memiliki jejak rekam melakukan salah pilih calon. [Oleh Susana Rita dan Ahmad Arif]
Sumber: Kompas, 10 Juni 2010