Sikap Pemuda atas Korupsi Dibenci, tetapi Disukai

MENARIK untuk dicatat bahwa pada Kamis (27/10), Media Indonesia mengadakan diskusi untuk memperingati 77 tahun Sumpah Pemuda dengan tema utama Sikap antikorupsi di kalangan kaum muda.

Tentu saja, rekan-rekan dari Media melakukan itu karena adanya sikap keprihatinan, bahkan mungkin, rasa khawatir terhadap situasi, yang tampak bagaikan virus kanker metastatis , yang menjalar ke semua bagian tubuh bangsa-negara merdeka yang telah berusia 60 tahun.

Tulisan ini akan meraba sikap pemuda. Meraba, digunakan di sini, karena memang bukan hasil penelitian, melainkan hanya merupakan 'penglihatan selintas' tentang sikap pemuda terhadap korupsi itu. Dan usaha untuk melihat bagaimana sikap pemuda terhadap korupsi, tentu saja mempunyai arti, kalau tidak strategis, paling tidak mempunyai arti pada batas tertentu, penting.

Karena warga yang dikategorikan pemuda, diharapkan memiliki sikap yang dinamis, lebih jujur, lebih berani di dalam penghadapannya dengan situasi krisis yang dihadapi. Mengharapkan pemuda untuk mengambil posisi sebagai kelompok 'antikorupsi' justru menempatkannya pada situasi dilematis.

Situasi dilematis pemuda untuk tampil bersikap antikorupsi tentu berkaitan dengan situasi masyarakat dan lingkungan birokrasi yang melingkarinya. Ambil sebagai contoh, masyarakat pada umumnya juga bersikap acuh tak acuh dan/atau bersikap pasrah terhadap situasi korupsi yang terjadi di lingkungan mereka.

Demikian pula, pemuda (dan sebagian di antara birokrat itu dapat dikategorikan sebagai pemuda) tidak dapat memberikan input untuk menghadapi 'kebobrokan' birokratis.

Yang lebih menyulitkan posisi pemuda untuk mengambil sikap antikorupsi, juga tidak dapat dilepaskan oleh karena penyebaran virus kanker metastatis, yaitu - sebagaimana yang dijelaskan oleh SH Alatas: ''Proses ini adalah pemindahan penyakit dari salah satu organ atau bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya, yang tidak secara langsung bertautan dengannya. Karena itu, kanker metastatis menunjuk bahwa penyebaran tumor berbahaya ke bagian-bagian tubuh lainnya. Sifat proses yang membahayakan ini memberi pelajaran kepada kita tentang korupsi.

Virus kanker metastatis itu dikaitkan dengan terjadi dan proses korupsi di (Indonesia), tampak pasti menjalar, menjangkit ke lingkungan kelompok pemuda, baik secara individual maupun secara kelompok, juga tak tertutup kemungkinan menjangkiti organisasi-organisasi pemuda. Pada sisi inilah, juga korupsi dikaitkan dengan pemuda, maka terdapat situasi yang kontradiktif, di satu pihak ia dibenci, tetapi pada pihak lain, ia disenangi!; dan karena itu dibiarkan berlangsung!

Menjalarnya kanker korupsi yang bersifat metastatis itu tampak berlangsung secara mudah dan cepat. Dalam periode 60 tahun Indonesia merdeka, segera pula tampak (gejala) terjadinya korupsi. Pada awal tahun 1950-an, ada Sekjen Menteri Luar Negeri yang ditangkap oleh KSAD, juga ada Menteri Agama yang diduga korupsi, tetapi kemudian diselesaikan dengan wibawa dan kekuasaan Presiden Soekarno.

Demikian pula, perlu dicatat bahwa sejak dalam periode kampanyenya sebagai calon presiden/wakil presiden, SBY/JK telah mencanangkan program untuk menangani usaha pemberantasan korupsi itu. Dan tentu saja langkah untuk melakukan pemberantasan korupsi merupakan bagian dari kehendak untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik, sebagaimana mungkin diidealkan oleh generasi perumus bangsa pada 77 tahun yang lalu.

Hampir setiap hari kita mendengar pembicaraan tentang (desakan) untuk melakukan pemberantasan korupsi itu secara lebih pasti dan berlanjut. Tetapi, di tengah-tengah suasana sibuk dan suasana verbalistik yang ramai, maka tampil juga kenyataan adanya tindakan korupsi yang tetap berlangsung, bahkan secara lebih terbuka. Korupsi sekarang demikian kata sejumlah orang, termasuk rakyat kecil tidak lagi di bawah meja!

Dalam tahun 1950-an, kita tidak menemukan adanya kekuatan terbuka untuk menentang sikap Presiden Soekarno yang menghempang efektivitas pemberantasan korupsi itu. Demikian pula, tidak ada kekuatan pemuda, baik individu, maupun yang terorganisasi itu.

Tidak ada kekuatan pemuda, baik individu maupun yang terorganisir sepanjang yang saya ketahui--berusaha untuk menentang kebijaksanaan Presiden Soekarno yang justru menyelamatkan posisi para koruptor itu. Kenyataan itu juga terjadi pada masa demokrasi terpimpin pada periode 1959-1965.

Virus kanker metastatis makin berkembang dan agresif selama perjalanan pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Dan memang presiden sendirilah yang membuat peluang untuk melakukan korupsi besar-besar dengan membentuk kekuatan ekonomi pada lingkaran keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Dan dalam konteks waktu itu, tidak sedikit pemimpin-pemimpin muda dan pemuda yang berada di dalam lingkaran kekuasaan Presiden Soeharto. Dengan sendirinya mereka ikut di dalam kejahatan kriminal korupsi yang dilakukan oleh pimpinannya, yang justru seharusnya memberantas korupsi yang jahat itu.

Anhar Gonggong, Pengajar di Universitas Atma Jaya, Jakarta

Tulisan ini disalin dari Media Indonesia, 31 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan