Senayan dan Babak Baru Korupsi E-KTP
Mega korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) memasuki babak baru. Setelah ditetapkan dua tersangka, yaitu Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Sugiharto pada April 2014 dan Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman pada September 2016, kasus proyek senilai Rp 5,9 T ini akan disidangkan pada Kamis, 9 Maret 2017.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, korupsi E-KTP tidak hanya melibatkan pejabat Kementerian Dalam Negeri tetapi juga sejumlah politisi senayan. Nama-namanya tercantum dalam dakwaan yang akan dibacakan pada sidang perdana.
Politisi Partai Golkar dan Demokrat periode 2009-2014 disebut-sebut menerima aliran dana terbesar. Nama-nama besar telah disebut, termasuk Setya Novanto dan Anas Urbaningrum, Ketua Fraksi Partai Golkar dan Partai Demokrat pada saat itu. (Sumber; Koran Tempo edisi 8 Maret 2017, “Politikus Golkar dan Demokrat Diduga Terima Dana Terbesar E-KTP)
Tidak hanya Ketua Fraksi Partai, aliran dana proyek yang digadang-gadang akan berfungsi sebagai single identity number yang terintegrasi dengan seluruh sistem layanan publik itu juga diduga mengalir ke pimpinan DPR hingga partai politik. Akibatnya, kasus ini tidak hanya meresahkan publik akibat nilai kerugian negara yang besar, yaitu Rp 2,3 T atau setara 39% dari nilai proyek, tetapi juga partai politik.
Skandal E-KTP ini sekali lagi akan menunjukkan persekongkolan pemerintah dan DPR dalam kasus korupsi tingkat tinggi. Sebelumnya, telah banyak kasus korupsi yang melibatkan kedua belah pihak dengan modus serupa, yaitu mark up anggaran hingga calo informasi ke rekanan.
Dalam kasus E-KTP, nilai proyek menggelembung dari Rp 2,55 T menjadi Rp 5,9T. Penggelembungan sebesar 49% tersebut diduga hasil lobi pemerintah dengan DPR. Selain itu, sejumlah rekanan pelaksana proyek disebut mempunyai afiliasi dengan anggota DPR. Salah satunya adalah Pimpinan PT Quadra Solution, perusahaan yang masuk konsorsium pelaksana proyek, yang disebut mempunyai kedekatan personal dengan Setya Novanto dan mendapatkan informasi penting sebelum tender dimulai. (Sumber: Koran Tempo edisi 2 Maret 2017, “Quadra, Setya Novanto, dan Biomorf)
Penyebab kasus korupsi anggaran yang melibatkan pemerintah dan DPR ini beragam. Pertama, tertutupnya proses pembahasan anggaran sehingga membuka ruang kompromi transaksional. Tawar menawar pada proses ini dapat memicu mark up anggaran dan mekanisme saling kunci antar keduanya. Mekanisme pembahasan anggaran seharusnya dibuat lebih terbuka dan melibatkan KPK, khususnya pada proyek bernilai tinggi. Kedua, kebutuhan finansial politisi dan partai politik, baik akibat ketamakan atau pun biaya politik yang tinggi. Ketiga, tingginya konflik kepentingan antara pihak yang berwenang dengan rekanan akibat minimnya regulasi yang meminimalisir konflik kepentingan.
Diharapkan, pengusutan kasus korupsi E-KTP yang telah memasuki babak baru ini dapat menimbulkan efek jera bagi pihak pemerintah, DPR, dan swasta sehingga kasus korupsi proyek anggaran negara tidak terulang. Efek jera tersebut dapat muncul apabila seluruh pihak yang terlibat, termasuk partai politik, di proses secara hukum dan dikenai sanksi maksimal. (Almas)