SeleksiI Hakim Agung; KY Tak Perpanjang Masa Pendaftaran
Komisi Yudisial tidak akan memperpanjang masa pendaftaran calon hakim agung meskipun jumlah pendaftar yang masuk relatif minim. Sehari menjelang penutupan pada Selasa (22/3), KY baru menerima 90 pendaftar.
”Pendaftaran tetap akan ditutup, berapa pun yang kita dapat,” kata Juru Bicara KY Asep Rahmat Fajar. KY akan menutup pendaftaran calon hakim agung pada Rabu (23/3) pukul 17.00.
Saat ini sebanyak 90 nama sudah dikantongi KY. Pendaftar dari kalangan hakim karier sebanyak 48 orang, yaitu 47 dicalonkan Mahkamah Agung dan satu dicalonkan oleh masyarakat. Sebanyak 32 pendaftar yang lain berasal dari nonkarier atau non-hakim, seperti anggota DPR Gayus T Lumbuun, tenaga ahli anggota DPR, akademisi, dan praktisi hukum.
Hingga saat ini KY sudah melakukan seleksi hakim agung enam kali. Dibandingkan dengan seleksi calon hakim agung tiga tahun terakhir, tutur Asep, jumlah pendaftar saat ini tergolong paling tinggi. Pada 2010, misalnya, KY hanya menerima 60 pendaftar. Pada 2009 sebanyak 75 pendaftar dan pada 2008 sebanyak 79 pendaftar.
Menurut Asep, KY tidak akan terpaku pada kuota yang harus dicari. Sebelumnya, MA meminta tambahan 10 hakim agung sehingga KY harus mencari tiga kali lipat dari kebutuhan itu. Calon-calon itu akan diajukan ke DPR untuk dipilih. Terkait dengan kompetensi, KY mencari calon hakim agung yang mumpuni dalam bidang perdata umum (tiga orang), perdata khusus (satu), pidana umum (satu), pidana khusus (satu), agraria (satu), hakim agama (satu), hakim militer (satu), dan ahli perpajakan (satu).
Sementara itu, Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto berpandangan, minimnya pendaftar dalam seleksi calon hakim, baik hakim agung maupun hakim ad hoc tipikor, merupakan gejala kebosanan masyarakat terhadap proses seleksi yang belakangan terlalu sering dilakukan. Selain itu, minat menjadi bagian dari lembaga peradilan juga tak terlampau besar mengingat persepsi negatif atas lembaga tersebut.
Khusus untuk calon hakim agung, Hasril berpendapat, kebanyakan akademisi atau praktisi hukum enggan mengikuti proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Mereka malas karena berbagai pertanyaan, yang bahkan mungkin memalukan, akan dilontarkan dalam uji tersebut.
”Ini harus menjadi evaluasi. Mungkin mekanisme yang perlu diperbaiki. Seleksi di DPR hanya untuk menanyakan arah politik hukum jika menjadi hakim agung, bukan lagi mempertanyakan integritas calon karena soal ini sudah lewat di KY,” kata Hasril. (ANA)
Sumber: Kompas, 23 Maret 2011