SBY Diminta Kembalikan Citra Polisi dengan Mengambil Tindakan Luar Biasa
Sejumlah Tokoh Galang Petisi Reformasi Polisi
Kesabaran sejumlah tokoh dan gabungan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mulai habis dengan semakin tercorengnya citra Polri. Hal itu disampaikan melalui petisi penyelamatan korps yang dipimpin Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri (BHD) tersebut di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin sore (22/8).
Dalam petisi itu, mereka meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengembalikan citra polisi dengan mengambil tindakan luar biasa yang berani dan tegas serta menyentuh akar persoalan. Yakni, mencopot petinggi kepolisian yang terlibat dalam praktik mafia peradilan dan rekayasa proses hukum. Juga, membenahi struktur Polri agar Indonesia memiliki polisi yang jujur dan profesional serta bertanggung jawab.
Dalam waktu lima hari hingga Kamis (26/8), mereka menargetkan sejuta orang mendukung petisi tersebut untuk diserahkan kepada SBY. Kemarin sekitar 75 orang memadati halaman depan MK. Antara lain, Taufik Basari yang merupakan advokat Bibit-Chandra sekaligus inisiator petisi itu, Alexander Lay, dan eks Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Rijana Hardjapamekas.
Sejumlah aktivis dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Indonesia Corruption Watch (ICW), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga hadir dalam kegiatan itu.
Taufik mengatakan, hingga kemarin petisi sudah didukung 540 orang. Dukungan tersebut datang dari berbagai kalangan. Antara lain, mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi'i Maarif, penulis perempuan Djenar Maesa Ayu, eks Panglima TNI Endriartono Sutarto, ekonom Faisal Basri, sutradara Hanung Bramantyo, wartawan senior Goenawan Mohamad, dan Rais Syuriah PB NU Masdar F. Mas'udi.
Jumlah itu, papar dia, akan terus bertambah. Sebab, para aktivis bakal menggalang dukungan serupa di daerah-daerah. Sejumlah situs jejaring sosial, seperti Twitter dan Facebook, juga akan dimanfaatkan untuk menampung dukungan masyarakat. "Kami targetkan sejuta orang mendukung petisi tersebut. Sebab, kami peduli terhadap Polri," kata lelaki yang karib dipanggil Tobas itu.
Kamis (26/8), jelas Tobas, pihaknya akan menghitung semua nama yang masuk. Petisi berikut nama para pendukung tersebut lantas disampaikan kepada SBY. Tujuannya, sang pemimpin negeri ini tidak ragu mengambil tindakan. "Kami nanti lihat, apakah SBY bertindak selayaknya presiden yang melindungi rakyat. Jika tidak? Ya lihat saja nanti. Kami tidak bisa membayangkan bagaimana rakyat akan memandang hukum," ungkap dia.
Tobas menjelaskan, petisi sejatinya hendak dibacakan di Istana Negara. Namun, karena tak mungkin menggelar aksi di istana, mereka akhirnya mengalihkan tujuan ke gedung MK.
Sebelum membacakan petisi sekitar pukul 15.45, para aktivis meletakkan sebuah tiruan tanaman dari plastik yang berukuran kecil dalam pot mungil. Di antara dahan dan ranting tanaman tersebut, sejumlah kertas berisi pesan keprihatinan masyarakat ditempelkan.
Beberapa pesan berbunyi Polisi cegat di rambu, jangan cegat di belakang rambu; Tugas polisi menertibkan, bukan memeras; Polisi manusia setengah tuyul; serta To polisi: maem yang kenyang, cincang koruptor, dan jangan bikin bete masyarakat, plis dong ah.
Sekitar pukul 16.15 mereka berbaris di tangga depan sembilan pilar gedung MK untuk berorasi secara bergantian. Anggota Dewan Etik ICW Dadang Trisasongko menyampaikan prihatin dengan performa Polri. Lembaga penegak hukum pimpinan Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri (BHD) itu tidak transparan dan kredibel. Itu terbukti dalam penyelesaian kasus rekening gendut yang terkesan dipetieskan. ''Kita harus ambil bagian terhadap penyelamatan Polri,'' katanya.
Hal senada juga diungkapkan pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Bambang Widodo Umar. Menurut dia, Polri bermasalah secara profesionalitas dan institusi. Dari sisi profesi, Polri telah berbohong dengan menyatakan memiliki rekaman pembicaraan antara Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja dan Ari Muladi (tersangka suap). Sejumlah kasus juga dibiarkan menggantung. Yakni, pengusutan rekening gendut para jenderal polisi dan mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan.
Secara institusi, kata Bambang, Polri juga bermasalah. ''Institusi yang tak lepas dari presiden. Kalau presiden membiarkan persoalan polisi, rakyat yang akan menjadi korban. Apabila hukum dipakai alat kejahatan, rusaklah republik ini,'' kecamnya.
Wakil Koordinator Kontras Haris Azhar menambahkan, Polri justru lebih banyak terjebak kasus-kasus hak asasi manusia (HAM). Dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan masyarakat miskin, Polri lebih gampang mengedepankan kekerasan yang cenderung militeristis. Karena itu, tak heran bila kasus pelanggaran HAM didominasi aparat kepolisian.
Polri, kata Haris, juga kerap ingkar janji. Dalam kasus pembunuhan aktivis Kontras Munir, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri pernah menyatakan ada bukti baru. Namun, hingga sekarang, bukti baru itu tak pernah dibuka. ''Sulit mereformasi Polri dengan tulus,'' katanya.
Kasus yang belum tuntas di kepolisian era BHD memang masih berjibun. Yang sangat kentara adalah terkatung-katungnya penuntasan jaringan sindikasi mafia pajak Gayus Tambunan cs.
Meskipun sudah masuk ke pengadilan, belum ada satu pun perwira tinggi yang menjadi tersangka. Padahal, semua terdakwa yang dihadirkan di sidang menyebut sejumlah nama oknum jenderal. Misalnya, kesaksian Kompol Arafat Enanie dan AKP Sri Sumartini yang menyebutkan ada bagi-bagi uang di ruangan kerja Brigjen Pol Radja Erizman. Radja sendiri sekarang menjabat staf ahli Kapolri.
Selain kasus mafia pajak, publik menunggu-nunggu penyelesaian penyelidikan 23 rekening pejabat Polri yang selama ini diklaim tuntas. Padahal, beberapa transaksi terindikasi adanya tindak pidana.
Kasus penyelidikan rekening itu juga berkaitan dengan pembacokan aktivis ICW Tama Satrya Langkun dan pelemparan bom molotov di kantor Tempo. Hingga kini, dua kasus itu juga belum terungkap, bahkan belum ada satu pun tersangkanya.
Secara terpisah, Erry Riyana Hardjapemekas juga meminta Kapolri Bambang Hendarso Danuri jujur dan mengakui kesalahannya. Permintaan Erry itu terkait fakta bahwa polisi ternyata tidak memiliki rekaman percakapan pejabat KPK Ade Rahardja dengan Ary Muladi. ''Kalau tidak punya, ya mengaku saja, kan selesai masalahnya,'' ujar Erry kemarin (22/8).
Setelah sesi pembacaan petisi ''Kembalikan Negara Hukum, Selamatkan Polri'' di MK, Erry menyatakan bahwa dengan pengakuan tersebut, Kapolri tidak perlu lagi melakukan kebohongan-kebohongan lainnya. ''Kalau sudah mengaku, kan tidak perlu kebohongan lain untuk menyembunyikan kebohongan yang ada,'' ujarnya.
Dia menambahkan, pengakuan itu juga akan mencitrakan Kapolri sebagai orang yang memiliki kebesaran jiwa dan kejujuran. ''Memang untuk mengaku itu dibutuhkan jiwa yang besar. Kalau Kapolri adalah orang yang berjiwa besar, pasti dia akan mengaku,'' ucap Erry.
Kontroversi keberadaan rekaman pembicaraan antara Ade Rahardja dan Ary Muladi saat ini memasuki babak baru. Sebelumnya, keberadaan rekaman itu dijadikan alasan kuat oleh polisi untuk menjerat pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. Namun, setelah kasus itu masuk persidangan, terungkap kenyataan bahwa rekaman pembicaraan tersebut tidak ada.
Polisi berdalih tidak pernah mengatakan memiliki rekaman itu. Polisi hanya menyatakan memiliki call data record (CDR). Demikian juga, Kejaksaan Agung mengaku tidak pernah menyatakan memiliki barang bukti rekaman itu.
Di bagian lain, Mabes Polri menerima kritik dan saran kalangan LSM dengan tangan terbuka. ''Kritik adalah bagian dari perbaikan Polri. Tentu kami akan menerima dengan senang hati,'' ujar Kadivhumas Polri Brigjen Iskandar Hasan.
Polri tidak akan bereaksi berlebihan terhadap petisi para tokoh yang mengatasnamakan masyarakat itu. ''Prinsipnya, polisi adalah milik rakyat. Jadi, masukan dari warga atau LSM tentu akan direspons dengan baik oleh pimpinan,'' kata mantan Kapolda Bangka Belitung itu. (aga/rdl/c11/c4/iro)
Sumber: Jawa Pos, 23 Agustus 2010